Rabu, 12 Agustus 2009

Terorisme Belum Mati


dimuat di Radar Banten, 12 Agustus 2009

                      
            Tidak sampai satu bulan setelah peledakan Bom di Mega Kuningan (17/7), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) berhasil meringkus jaringan teroris pimpinan Noordin M. Top di Bekasi Jawa Barat dan Temanggung Jawa Tengah (8/8). Noordin (ahli rekrutmen) bersama Azahari (ahli pembuat bom) merupakan gembong terorisme berkebangsaan Malaysia yang telah lebih dari enam tahun buron menebar teror di Indonesia. Tahun 2005, Azahari telah dinyatakan tewas dalam penyergapan rumah di Batu Jawa Timur (11/11/).
Kini jasad hasil penyergapan 18 jam di Temanggung sedang diselidiki Polri untuk memastikan identitasnya, apakah ia adalah Noordin atau bukan. Jika jasad tersebut adalah Noordin berarti gembong terorisme yang paling dicari di Republik Indonesia tidak lagi menjadi ancaman. Akan tetapi, apakah aksi terorisme serta merta berakhir dengan tewasnya Noordin? Apakah pemburuan terorisme seperti yang dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri efektif untuk membasmi terorisme di Tanah Air?

Azahari Husin (ki), Noordin M. Top (ka)


Terorisme
Terorisme berbeda dengan tindakan kejahatan dan kekerasan biasa, karena memiliki karakteristik khusus. Pertama, terorisme adalah kejahatan berideologi. Kekuatan utama terorisme bukan terletak pada senjata, kemampuan menggunakan senjata, jumlah anggota, jaringan yang luas, atau kekuatan finansial yang dimilikinya, tetapi pada ideologi. Terorisme hanya dikerjakan oleh sedikit orang dengan keyakinan yang sangat kuat atas aksi mereka dan mengorbankan apa saja untuk sesuatu yang diyakininya, termasuk nyawa mereka sendiri.
Kedua, terorisme memiliki tujuan yang berbeda dengan kejahatan biasa. Menurut Leonard Weinberg (Global Terrorism: A Beginner Guide) tujuan dari terorisme adalah tekanan psikologis yang dirasakan oleh semua orang, berbeda dengan kejahatan biasa yang memiliki target kekerasan fisik yang spesifik.
Ketiga, terorisme memiliki pesan dan tujuan politik. Louise Richardson (What Terrorist Want: Understanding the Enemy Containing the Threat) mengatakan terorisme adalah kekerasan yang sengaja dilakukan terhadap warga sipil untuk mencapai tujuan politik. Dalam perspektif ini, kekerasan bisa diartikan sebagai media komunikasi simbolik. Jika komunikasi simbolik tersebut diamini oleh masyarakat dan diabaikan oleh pemerintah, maka benih-benih terorisme akan terus bermekaran.
Keempat, inti permasalahan terorisme bukan berada di ranah hukum. Penindakan hukum represif tidak akan menyentuh akar gerakan terorisme, tetapi hanya menyentuh akibat, bukan penyebab dari aksi teror. Akar permasalahan yang sesungguhnya berada di luar aspek hukum dan terkait dengan aspek keadilan, ekonomi, dan politik.

Belum mati
Melihat karakteristik khusus tersebut, terorisme tidak ikut tewas bersama tewasnya Noordin. Jaringan yang selama ini dibina oleh Noordin tetap mengakar dan hidup di tengah-tengah masyarkaat. Polri telah berhasil menangkap banyak kaum radikal dan melemahkan jaringan yang selama ini banyak disebut-sebut sebagai penyokong aksi terorisme di kawasan Asia Tenggara. Namun, tenaga-tenaga muda binaan Noordin terus bermunculan, di antaranya anak-anak yang baru lulus SMA. Semangat dan keyakinan Noordin sudah tertanam pada pengikutnya.
Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, jaringan Noordin kembali memanfaatkan mantan narapidana terorisme yang masih memendam semangat dan keyakinan ideologi mereka. Hal itu terindikasi dari keterlibatan Air Setiyawan, yang juga pernah ditangkap tahun 2004 terkait pengeboman Kedutaan Besar Australia. Selain itu, kelihaian Noordin untuk merekrut anggota baru juga telah terwariskan ke pengikutnya.
Terorisme adalah fenomena gunung es. Penindakan hukum represif hanya menyentuh pucuk terorisme, tetapi akar masalah masih belum tersentuh. Ketika terorisme dipandang hanya sebagai kejahatan biasa dan dipahami dengan logika keamanan semata, maka makna terorisme telah tereduksi. Jika upaya pembasmian hanya berfokus pada pemburuan teroris tetapi tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya, dikhawatirkan aksi terorisme bukan semakin berkurang justru semakin marak dan mencari model-model serangan baru yang lebih berbahaya dari aksi-aksi sebelumnya. Pembasmian terorisme memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan mendalam dari sekedar pendekatan represif ala Densus 88.

Tanggung jawab masyarakat
Mantan anggota JI, Al Chaidar (8/8) mengatakan habitat yang paling nyaman bagi Noordin dan penyemaian benih terorisme di Indonesia meliputi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten. Hal tersebut dipertegas oleh Kepala Desk Koordinasi Pembasmian Teroris Menko Polhukkam Ansyaad Mbai (28/7) mengatakan sebagian kelompok masyarakat kita yang sangat permisif terhadap para teroris dan ideologi mereka. Akibatnya para teroris itu bisa mendapatkan tempat berlindung yang nyaman. Noordin yang buron bisa menikah dengan wanita Indonesia. Perlindungan yang paling aman adalah keluarga.
Sikap permisif tersebut tidak terjadi di negara lain, seperti Malaysia tempat Azahari dan Noordin berasal. Ketika Azahari ditetapkan sebagai buronan, keluarganya tidak diterima lingkungan setempat sehingga harus hidup berpindah-pindah. Di Arab Saudi, pemerintah, ulama, aparat keamanan, pakar dan masyarakat merangkul pelaku teror untuk hidup benar, menjauhi militansi dengan memperhatikan penghidupannya dan meyakinkan bahwa visi keagamaan mereka keliru, bahwa agama dan jihad tak ada kaitannya dengan kekerasan terorisme, termasuk bom bunuh diri.
Masyarakat paling bertanggung jawab membasmi benih dan kultur ekstrimisme di lingkungannya. Ulama, tokoh masyarakat, dan masyarakat Banten yang dikenal religius wajib memberikan penyadaran kepada anggota masyarakatnya terutama dari kalangan pemuda tentang ajaran Islam yang lurus, seimbang, dan menjadi rahmat bagi semua alam semesta, tanpa terkecuali.
Akhirnya, terorisme belum mati dengan tewasnya Noordin. Pembasmian terorisme dengan pendekatan represif perlu dibarengi dengan pendekatan preventif yang persuasif dan akomodatif terhadap kepentingan berbagai kelompok yang merasa termarginalisasikan berbagai kebijakan selama ini. Termasuk penerapan kebijakan yang merangkul dan rekonsiliatif antara pemerintah dengan masyarakat dan diantara masyarakat itu sendiri. Pendekantan preventif dan rekonsiliasi seperti itu akan lebih efektif menyentuh inti dari masalah terorisme dibandingkan penerapan kebijakan represif dan konfrontatif. Dengan cara itu, dalam jangka panjang, gerakan terorisme di Tanah Air akan dapat diselesaikan. Semoga.***

Rabu, 22 Juli 2009

Terorisme Mengancam Dunia



dimuat di Radar Banten, 22 Juli 2009

Indonesia kembali menjadi buah bibir Dunia. Kali ini bukan sebagai negara paling demokratis ketiga di dunia, tetapi karena ledakan dua bom berkekuatan tinggi (high explosive) meledak berurutan di Hotel JW Marriot dan Ritz Carlton Jumat (17/7). Ledakan bom pertama setelah lima tahun ini setidaknya menewaskan sembilan orang dan puluhan lain luka-luka.

Bom Marriot 2009 (sumber: detik.com)
Selain akrab dengan bencana, Negeri ini lekat dengan terorisme. Selama sembilan tahun terakhir tercatat 26 kali ledakan bom yang tersebar di Tanah Air. Ini kali kedua ledakan bom di JW Marriot setelah ledakan pertama 5 Agustus 2003 yang menewaskan empat belas orang. Negeri yang luas dan terbuka, pengamanan yang lembek, dan rakyat miskin dengan mentalitas kompromistis adalah syarat bagi penyemaian benih terorisme. Ditambah lagi dengan sistem kependudukan yang amburadul dan data pengguna ponsel yang berantakan membuat nyaman aktivitas terorisme di Tanah Air.
Rangkaian aksi teror di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari jaringan terorisme internasional. Pada era Perang Dingin, kepentingan Amerika Serikat dan mujahidin bertemu di Afghanistan dalam “universitas jihad” Afghanistan melawan musuh yang sama (common enemy), yakni Uni Soviet. Uni Soviet dalam perspektif AS dipandang sebagai negara komunis (communist state), sementara bagi mujahidin dipandang sebagai negara atheis (atheist state). Akan tetapi, pasca-Perang Dingin, “universitas jihad” hancur lebur dan banyak anggota jaringan—yang sebagian berasal dari Indonesia—balik kandang. Teroris dari negara tetangga Malaysia seperti Azahari dan Noerdin M. Top yang ahli bom juga masuk ke Indonesia karena merasa lebih nyaman.
Taliban di Afghanistan (sumber: indianmuslimobserver.com)

Melihat modus operandi peledakan JW Marriot dan Ritz Carlton sebagai dua simbol identitas Amerika Serikat sangat mirip dengan aksi jaringan Azahari dan Nurdin M. Top maka dapat ditafsirkan aksi terorisme ini merupakan bagian dari perang global terorisme melawan Washington. Akan tetapi bagi Indonesia, bom yang meledak di Tanah Air, tidak peduli dimana lokasi peledakan adalah guncangan terhadap kredibilitas pemerintah dan bangsa ini.
Sejatinya, serangan terorisme terhadap satu negara berarti juga menyerang seluruh negara di dunia. Bukan hanya serangan bagi Jakarta atau Indonesia, tetapi juga serangan bagi manusia dan seluruh penduduk dunia. Penumpasan jaringan terorisme internasional hingga akar-akarnya tidak dapat dilakukan oleh satu negara saja, tetapi sangat membutuhkan kerjasama dan solidaritas komunitas internasional.
Komentar dan kutukan mengalir dari berbagai tokoh dalam dan luar negeri. Presiden RI mengutuk keras aksi terorisme, kemudian dengan cepat mengaitkan aksi terorisme ini dengan pemilihan presiden, rencana revolusi, dan “Iranisasi” Indonesia. Apakah motif terorisme ini adalah politik domestik atau politik internasional, biarkan penyidik yang mengungkapnya.

Manchester United
Selain penyerangan terhadap simbol AS, peledakan bom di dua hotel berkaitan erat dengan kedatangan tim sepak bola Manchester United (MU) yang dijadwalkan akan bertanding dengan tim nasional Indonesia pada Senin (20/7). Ritz Carlton direncanakan tempat menginap rombongan MU selama empat hari di Tanah Air. Sementara JW Marriot merupakan tempat menginap tim nasional Indonesia. Bahkan saat kejadian, tim nasional sedang berlatih di Gelora Bung Karno. Hanya sehari sebelumnya “tim setan merah” membatalkan kedatangannya ke Tanah Air mengakibatkan kekecewaan luar biasa dari penyelenggara, penggemar yang sudah lama menanti, dan membeli tiket hingga puluhan juga rupiah. Kerugian dari pihak penyelenggara diperkirakan mencapai Rp 30 Miliar.

Asia Tour 2009 Manchester United
Mengingat terorisme adalah serangan bagi seluruh manusia di dunia, menurut penulis, Manchester United dapat menuati simpati dan menunjukan solidaritas kemanusiaan dengan tetap datang dan bertanding di Tanah Air. Aksi terorisme mungkin terjadi di mana saja dan kapan saja di seluruh dunia. Sejarah mencatat, negara sebesar Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis tidak luput dari aksi terorisme ini.
Semua orang mengutuk dan menyesalkan aksi teror kembali mengguncang Indonesia. Yang perlu diingat, kemanusiaan yang diciderai dan korban yang berjatuhan akibat aksi terorisme lebih mengkhawatirkan dibandingkan kebatalan kedatangan MU yang hanya efek samping. Ada efek-efek lain yang lebih mengkhawatirkan seperti stabilitas keamanan, citra Indonesia di mata dunia, hilangnya kepercayaan investor asing, anjloknya indeks harga saham, dan guncangan lain di berbagai aspek kehidupan.

Dampak bagi Banten
Warga Banten tidak asing dengan terorisme karena tokoh peledakan Bom Bali I berasal dari Kota Serang dan ditangkap di Pelabuhan Merak. Apakah pelaku peledakan Bom Kuningan ini juga berasal dari jaringan yang berkaitan dengan warga Banten? Kita belum tahu. Namun pengamanan dan kewaspadaan wajib ditingkatkan di Banten mengingat Propinsi Banten merupakan daerah penyangga (buffer area) dan akses menuju ibukota melalui tol Merak-Jakarta dan pelabuhan Merak. Terdapat kemungkinan pelaku melarikan diri ke Sumatera, mengingat tahun lalu sebuah jaringan teroris dibekuk di Palembang. Selain itu, kewaspadaan masyarakat juga perlu terlibat aktif dan konstruktif dalam upaya pengamanan di lingkungannya. Teroris mendapat ladang penyemaian benih di Indonesia karena masyarakat tidak menganggap mereka berbahaya dan tidak dilaporkan ke petugas.
Akhirnya, aksi dan jaringan terorisme internasional adalah ancaman bagi kemanusiaan dan komunitas seluruh dunia, bukan hanya satu negara. Barang siapa yang seorang manusia seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya (QS. Al Maidah: 32). Maka dari itu, pendiri bangsa merumuskan “ikut melaksanakan ketertiban dunia” sebagai salah satu tujuan pendirian negara. Memang, nasionalisme tidak lengkap tanpa internasionalisme.***

Kamis, 11 Juni 2009

Banten dalam Pilpres 2009


dimuat di Radar Banten, 11 Juni 2009


Jika persiapan lancar, maka pada tanggal 8 Juli 2009, sejarah Republik Indonesia akan dibentuk bersama-sama oleh 176.367.056 pemilih. Jumlah tersebut adalah jumlah pemilih pada daftar pemilih tetap (DPT) Pilpres yang dirilis KPU akhir Mei lalu. Jumlah tersebut telah mengalami peningkatan sekitar lima juta pemilih dari jumlah DPT Pemilu legislatif 9 April.
Pada hari yang bersejarah itu, setiap suara adalah setetes tinta emas dari pena demokrasi pada lembar sejarah Indonesia. Rakyat yang selama lima tahun diatasnamakan pada rapat-rapat di gedung dewan, dilihat hanya sebatas deret-deret angka pada APBN, daftar kemiskinan, dan BLT; kini menyeruak, berkuasa, dan berkendak untuk memutuskan nasib pasangan capres-cawapres di ujung pena demokrasi.
Dibandingkan dengan pilpres 2004, pilpres 2009 diprediksi lebih seru dan menarik. Pertama, figur dan karakter pasangan capres cawapres yang kuat. Megawati-Prabowo adalah gabungan gaya kepemimpinan ketegaran dan kerakyatan. Megawati yang berkarakter ketegaran, datang dari keluarga pejuang, dan ditempa dalam pengalaman politik sebagai yang terpinggirkan bergabung dengan Prabowo yang berkarakter pendobrak dengan memadukan konsep ekonomi dan strategi militer. Pasangan SBY-Boediono adalah kepemimpinan yang menekankan daya pukau pencitraan. Menampilkan figur SBY yang penuh pesona, datang dari keluarga priyayi, dan gaya yang tertata berpadu dengan Boediono yang expertise dan halus budi. JK-Wiranto adalah kombinasi karakter dengan titik tekan kenyataan, kemandirian, dan ketegasan. JK berkarakter etos pedagang yang menuntut keberanian beresiko dan bertindak cepat bertemu dengan Wiranto yang berkarakter disiplin militer, ketegasan, dan kesantunan.

Mega-Prabowo (sumber: Tempo)
Kedua, polarisasi ideologi dan perdebatan platform dalam pilpres. Pasangan bernomor urut 1 mengusung ideologi kedaulatan dan ekonomi kerakyatan. Deklarasi Mega-Prabowo di TPA Terpadu Bantar Gebang mengaktulisasikan platform kerakyatan pasangan ini. No 2, harus menerima cap neoliberalisme dengan memilih cawapres Boediono yang dikenal dekat dan menerapkan praktek ekonomi neoliberalisme. Sementara no 3, mengusung kemandirian ekonomi dan menawarkan percepatan penyelesaian masalah-masalah bangsa. Jika SBY-Boedi adalah “kanan”, Mega-Prabowo adalah “kiri”, maka JK-Wiranto adalah “tengah”.

SBY-Boediono (sumber: SBYPresidenku.com)
Ketiga peran konsultan politik menjadi signifikan. Lembaga Survey Indonesia, Lingkaran Survey Indonesia, Indo Barometer, Lembaga Survei Nasional, Lembaga Riset Informasi, Puskaptis, dan Fox Indonesia menjadi bisnis politik baru yang laris manis di negara yang setiap tahun menyelenggarakan pemilihan ini.
Keempat, strategi dan komunikasi politik yang berbeda-beda. Berbeda dengan pilpres 2004 dengan strategi dan komunikasi yang mirip antarcalon, pada pilpres 2009 terdapat perbedaan yang tegas. Mega-Prabowo memilih komunikasi politik yang menyapa petani, nelayan, buruh, dan rakyat miskin. Iklan politik Mega-Prabowo cenderung membenturkan antarkelas ekonomi. SBY-Boedi dengan komunikasi yang penampilkan citra SBY yang “sempurna” sebagai presiden dan berkampanye lewat teknologi internet dengan serius. Dibanding pasangan lain, JK-Wiranto lebih sering “bersilaturahmi” dan merapat ke kantong-kantong agama dan menampilkan foto istri JK dan Wiranto yang berjilbab rapi.

JK-Wiranto (sumber: Kompas)
            Kelima, pemilih mengambang (swing voters). Meskipun dalam berbagai survey menempatkan SBY berada di atas kandidat lainnya, tetapi segalanya masih mungkin dalam politik (the arts of possibility). Pilpres 2009 diprediksi akan banyak diwarnai dengan gelombang swing voters yang cukup massif. Gejala ini mulai terlihat dari banyak elit parpol yang mendukung pasangan yang bersebrangan parpolnya. Elit parpol tersebut “lompat pagar” tidak sendiri, tetapi membawa serta atau minimal dipertimbangkan oleh pendukungnya. Elit PAN muali terbelah setelah SBY menampik Hatta Radjasa dan memilih Boediono. Kader PKS cenderung tergoda melihat penampilan keluarga JK-Win yang Islami. Mencari kader setia saja sulit, apalagi pemilih setia. Dengan kata lain, hasil pemilu legislatif tidak bisa serta merta menjadi jaminan atas hasil pilpres 2009.

Debat calon Presiden RI (sumber: Tempo)
Banten
Dibandingkan dengan propinsi lain di Tanah Air, Banten memiliki nilai strategis dalam ajang kontestasi dan konstelasi pilpres 2009. Pertama, dari segi demografis, Banten merupakan propinsi dengan jumlah pemilih terbesar ke-6 dari 33 propinsi di Indonesia berdasarkan DPT pileg 2009. Setelah Jawa Timur (29.294.127), Jawa Barat (29.030.012), Jawa Tengah (26.220.227), Sumatera Utara (9.132.184), dan DKI Jakarta (7.010.526). Menurut data yang dirilis oleh KPU, sebanyak 6.567.658 terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Propinsi Banten pada pemilu legislative 9 April 2009 dan bertambah menjadi 7.151.500 pemilih.
Secara geografis, bersama dengan Jawa Barat, Banten merupakan daerah penyangga ibu kota (buffer zone). Kemenangan pilpres pada buffer zone sangat penting bagi stabilitas pemerintahan dan pembangunan selama kabinet memimpin. Kemungkinan besar, Banten kembali akan menjadi ajang “Perang Bintang” pada pilpres kali ini.

Peta Kampanye Pilpres 11 Juni 2009 (sumber: Kompas)
Akhirnya, setiap pasangan capres cawapres selalu menawarkan janji-janji terbaiknya bagi bangsa ini. Akan tetapi, sejarah membuktikan, tidak ada pemimpin yang cocok untuk semua musim. Pada masa yang salah, pemimpin yang baik belum tentu menjadi pemimpin yang tepat. Lima tahun lalu, rakyat memberikan mandatnya pada kombinasi kepemimpinan tertata ala SBY dan kepemimpinan bergerak cepat ala JK. Manakah di antara ketiga kombinasi karakter kepemimpinan yang kita perlukan menyelesaikan permasalahan hari ini? Kepada Anda semua jawaban itu berpulang.***

Rabu, 20 Mei 2009

Pembusukan Demokrasi


 [dimuat di Radar Banten, 20 Mei 2009]

Pasca pengumuman hasil pemilu legislatif 2009, politik dinasti terasa semakin menguat di Tanah Banten. Beberapa nama terpilih sebagai anggota legislatif (aleg) baik tingkat daerah hingga pusat masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan para pejabat di Banten.
Keluarga Gubernur Rt. Atut Chosiyah paling yang banyak terpilih sebagai aleg, yakni Hikmat Tomet (suami, DPR RI, Golkar), Andika Hazrumy (putra, DPD), Ade Rossi Khaerunisa (menantu, DPRD Kota Serang, Golkar), Ratna Komalasari (ibu tiri, DPRD Kota Serang, Golkar), Heryani (ibu tiri, DPRD Pandeglang, Golkar), Rt. Tatu Chasanah (adik, DPRD Prop. Banten, Golkar), Aden Abdul Cholik (adik ipar, DPRD Prop. Banten, Golkar).
Selain dari keluarga Gubernur, aleg terpilih memiliki hubungan kekeluargaan dengan para kepala daerah di Banten, seperti Tb Iman Aryadi (putra walikota Cilegon, DPR RI, Golkar), Ahmed Zeki (putra Bupati Tangerang, DPR RI, Golkar), Iti Octavia Jayabaya (putri Bupati Lebak, DPR RI, Partai Demokrat), Diana Jayabaya (anak Bupati Lebak, DPRD Prop Banten, PDI P), Mulyanah (adik Bupati Lebak, DPRD Lebak, PDI P), Agus R Wisas (adik ipar Bupati Lebak, DPRD Banten, PDI P), dan Irna Narulita (istri Bupati Pandeglang, DPR RI, PPP).
Ternyata tidak hanya terjadi di Banten, Senayan pasca-pemilu legislatif 2009 banyak diisi oleh keluarga pejabat daerah, seperti Vanda Sarundajang (putri Gubernur Sulut, PDI P), Aditya Moha (putra Bupati Bolaang Mongondow-Sulut, Golkar), Dodi Reza Noerdin (putra Gubernur Sumsel, Golkar), Ratu Munawaroh (istri Gubernur Jambi, PAN), Aryodhia Febriansa SZP (anak Gubernur Lampung, DPD), Asdy Narang (keponakan Gubernur Kalteng, PDI P), Awang Ferdian Hidayat (putra Gubernur Kaltim, DPD), Karolin Margret Natasa (putri Gubernur Kalbar, PDI P), dan HM Aditya Mufti Ariffin (putra Gubernur Kalimantan Selatan, PPP). Daftar nama tersebut belum termasuk aleg yang berkerabat dengan pejabat, mantan pejabat, dan para petinggi partai.

Politik Dinasti dan Pembusukan Demokrasi
Terpilihnya aleg yang memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh masyarakat tidak lantas menjadi dinasti politik. Untuk menjadi sebuah dinasti politik, potensi aleg harus disertai dengan ambisi, kaderisasi, dan prestasi kepemimpinan. Politik dinasti bukan hal baru di Indonesia. Dalam dunia perpolitikan Tanah Air dikenal beberapa dinasti politik, seperti Wahid dan Soekarno.
Di negara lain dikenal dinasti Nehru-Gandhi (India), Butto (Pakistan), Aquino (Filipina), Kennedy dan Bush (AS) yang turun-temurun duduk di parlemen hingga menjadi presiden. Di negara maju, kapasitas, pematangan, reputasi, dan rekam jejak yang baik menjadi syarat politik dinasti.
Di Indonesia, seiring dengan arus otonomi daerah, “raja-raja” di daerah yang selama ini berkuasa pada sektor formal dan informal mulai melakukan penetrasi, ekstensifikasi, dan intensifikasi pada lembaga politik formal. Kekuasaan (power) pada sektor formal memungkinkan sebuah dinasti mensuplai agen-agennya untuk “mengamankan” kekuasaan sebuah dinasti. Ini adalah strategi yang sangat cerdas dan hanya bisa dilakukan oleh “sutradara” yang memiliki ambisi dan visioner hingga sebuah keluarga berubah menjadi dinasti politik.
Masyarakat yang cenderung feodalistik memosisikan atau mengistimewakan keluarga-keluarga tertentu dalam pentas politik. Selain itu, jika proses kemunculan elit melewati kaderisasi alamiah dan prosedural, politik dinasti berdampak positif terhadap pewarisan ideologi yang jelas dan penyuplai elit-elit politik yang berkualitas.
Sebaliknya, politik dinasti sangat rawan terjerumus pada pembusukan demokrasi dari dalam. Politik dinasti berpotensi besar terjebak pada neo-feodalisme yang merupakan antithesis demokrasi. Di tengah sistem dan lembaga politik yang korup sering sekali elit politik memanfaatkan mesin birokasi bekerja untuk kepentingan dinasti. Pengaruh wibawa elit politik tersebut mengganggu objektivitas birokrasi dan calon pemilih.
Ditambah lagi dengan sistem dan kaderisasi partai politik yang lemah menjangkiti parpol sebagai pilar demokrasi dengan penyakit neo-feodalisme. Pada posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Kemudian muncul calon-calon instan politik dinasti yang tidak melewati proses kaderisasi. Parpol yang mengidap penyakit neo-feodalisme tidak akan lagi berfungsi sebagai pilar demokrasi, tetapi malah melakukan pembusukan demokrasi dari dalam. Selain mempersempit kesempatan warga negara lain di luar dinasti, politik dinasti juga menyulitkan objektivitas dalam mengontrol kekuasaan antarlembaga pemerintahan.

Vox populi, vox dei
Terpilihnya aleg yang memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh politik adalah sah (legitimate) secara prosedur demokrasi. Toh, menjadi aleg adalah hak politik mereka sebagai warga negara. Pertanyaan yang tertinggal pasca-pemilu legislatif adalah mana yang lebih baik: memilih kucing dalam karung atau memilih maling secara langsung? Apakah para legislator tersebut akan menjadi wakil rakyat yang membawa aspirasi rakyat atau malah menjadi wakil keluarga di parlemen? Akhirnya, dengan sistem pemilu langsung, siapapun bisa dipilih menjadi aleg, entah dia rocker atau pemabuk, yang penting rakyat memilihnya: Vox populi, vox dei (suara rakyat, suara tuhan).

Silsilah politik keluarga besar Ratu Atut (sumber: Kompas)


Sabtu, 17 Januari 2009

Obama Tidak Bisa Diharapkan


 [dimuat di Radar Banten, 17 Januari 2009]

Tidak pernah penduduk dunia demikian antusias menyambut pelantikan Presiden Amerika Serikat, selain pelantikan Barack Hussein Obama sebagai Presiden AS ke-44. Antusiasme pelantikan Presiden AS pertama keturunan Afrika tersebut tidak hanya semarak di dalam negeri tetapi juga bermekaran di seluruh penjuru dunia, seolah Obama bukan hanya Presiden AS, tapi juga Presiden Dunia. Penduduk dunia berharap, perubahan yang dilakukan oleh Obama di negerinya mampu membawa perubahan di dunia. Obama diharapkan akan mampu menghadirkan perdamaian di Timur Tengah, terutama Krisis di Gaza yang telah menelan korban ribuan orang.

Pelantikan Barack Husein Obama sebagai Presiden Amerika Serikat ke-44

Bombadir Israel ke Gaza tiada henti selama 22 hari terakhir mendemonstrasikan kebrutalan Israel, pelanggaran terhadap pada hukum internasional, ketidakpatuhan pada resolusi PBB, dan ketidakpedulian pada kecaman internasional. Benarkah Obama dapat menghadirkan perdamaian di Timur Tengah, terutama Palestina? Dalam tulisan ini terdapat tiga level analisis yang akan digunakan untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Bombardir Israel ke Gaza (sumber: BBC)
Pertama, level aktor rasional. Barrack Hussein Obama memang memiliki kedekatan emosional dengan dunia muslim dan Arab dibandingkan dengan Presiden AS sebelumnya. Namun belum tentu hal tersebut mewujud dalam kebijakan politik luar negerinya. Bagaimana pun Obama adalah Presiden AS maka prioritas yang harus dikejar dalam kebijakan luar negeri AS adalah kepentingan nasionalnya (national interest). Ketika Obama mengkritik kebijakan Bush tentang Irak, bukan berarti Obama cenderung membela rakyat Irak yang menderita karena kebijakan luar negeri Bush. Bagi Obama, kebijakan Bush di Irak akan membahayakan keamanan dan kepentingan nasional AS di Timur Tengah.
Dalam memandang konflik Israel-Palestina, kebijakan Obama tidak jauh berbeda dibandingkan Bush. Sehari setelah ditetapkan menjadi calon presiden dari Partai Demokrat awal Juni 2008, Obama berpidato di AIPAC (American Israel Public Affairs Committee) mengatakan, "Kita harus mengisolasi Hamas hingga mereka meninggalkan terorisme... Tidak ada tempat di meja perundingan bagi organisasi teroris. Karena itu saya menolak kemenangan Hamas pada Pemilu 2006." Obama sama dengan Bush menggunakan standar ganda dalam memandang kemenangan Hamas pada pemilu demokratis Palestina 2006. Demokrasi adalah baik jika sesuai dengan kepentingan AS. Jika tidak sesuai dengan kepentingan AS, maka demokrasi ditolak. Sebulan setelah itu, Obama merealiasasikan dukungannya dengan mengunjungi Negara Israel.

AIPAC merupakan organisasi lobi Israel di Amerika Serikat yang sangat berpengaruh

Ketika kebrutalan Israel merenggut ribuan korban anak-anak Palestina, komentar Obama dinanti-nanti. Namun Obama menolak berkomentar dengan alasan belum dilantik sebagai presiden. Padahal ketika aksi terorisme menguasai Hotel Taj Mahal di Mumbai India akhir tahun lalu, Obama mengeluarkan statemen yang sangat keras. Obama tidak kunjung berkomentar tentang Krisis Gaza, bahkan pada pidato pelantikannya tidak sepatah kata pun tentang Gaza keluar dari mulut Obama. Sementara itu, Israel menghadiahkan gencatan senjata dan menarik pasukan pada hari pelantikan Obama. Karena itu, Presiden Iran Ahmadinejad menuding Obama berada dibalik serangan Israel ke Gaza.
Kedua, level analisis negara, Obama hanyalah bagian dari sistem politik AS, bukanlah aktor tunggal dalam menentukan kebijakan luar negeri AS. Kebijakan luar negeri sebuah negara adalah produk dari politik domestiknya. Penentuan kebijakan luar negeri tidak keluar dari garis kepentingan nasional. Walau bagaimanapun Obama tetaplah Presiden AS yang akan memprioritaskan kepentingan domestiknya, terutama di tengah ancaman krisis finansinal global.
Selain itu, Kongres dikuasai oleh Partai Demokrat yang merupakan partai pendukung Obama. Partai Demokrat didirikan oleh Thomas Jefferson dan hingga kini dikenal sebagai penyalur aspirasi dari kelompok minoritas, seperti kulit hitam, Yahudi, kalangan liberal, pemilih beragama Katolik, aktivis lingkungan hidup, aktivis wanita, dan LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender). Kongres yang dikuasai oleh Partai Demokrat daripada Partai Republik memiliki tarikan yang sangat kuat pada kepentingan Israel. Kelompok lobi Yahudi pro-Israel akan lebih leluasa menekan dan meloloskan kepentingannya pada pemerintahan Obama. Walau memang, siapapun yang menjadi presiden, lobi Israel tidak bisa dihindari.

Lambang Partai Demokrat di AS
yang dikenal sebagai partai penyalur aspirasi kelompok minoritas

Ketiga, level analisis sistem internasional, terlepas dari siapapun presidennya, AS dihadapkan pada sistem internasional yang “memaksa” untuk terus mendukung eksistensi Israel dan menghabisi lawan Israel. Di Timur Tengah, AS dihadapkan pada poros Iran, Suriah, Hizbullah (Lebanon Selatan), dan Hamas (Palestina) yang tidak mengenal kompromi dengan Israel dan AS. Sebaliknya AS mengecap mereka dengan sebagai teroris, ekstrimis, fundamentalis, dan garis keras. Sementara keamanan dan stabilitas di Afghanistan dan Irak belum kunjung terwujud karena ulah AS sendiri. Di sisi lain, Mesir dan Arab Saudi sebagai negara Arab sekutu dekat AS dijangkiti penyakit korupsi dan otoritarianisme kronik yang berkebalikan dengan demokrasi yang selalu dikampanyekan AS. Satu-satunya pilihan rasional untuk mengamankan kepentingan nasional AS di Timur Tengah adalah terus mendukung eksistensi Israel sebagai penyeimbang kekuatan-kekuatan Arab yang terpecah-belah dan menahan bangkitnya kekuatan-kekuatan baru pasca-Saddam Hussein di Timur Tengah.
Akhirnya, bukan kepada Obama dan AS kita harus menggantungkan harapan untuk Krisis Gaza dan perdamaian Palestina. Akan tetapi, tuntutan penyelesaian konflik dan perdamaian Palestina menjadi tanggung jawab utama bangsa Arab dan umat manusia secara keseluruhan. Dunia memang membutuhkan sistem internasional yang lebih berkeadilan untuk menjamin perdamaian bagi seluruh penduduk dunia tanpa terkecuali.***