Setelah
Dewan Keamanan (DK) PBB gagal mengeluarkan resolusi (4/2), kini giliran Majelis
Umum (MU) PBB berhasil melahirkan resolusi mengutuk pelanggaran HAM berat serta
menuntut penghentian kekerasan di Suriah (17/2). Voting MU PBB dimenangkan
telak dengan 137 memilih "ya", 12 "tidak", dan 17 abstain. Meskipun
tidak mengikat seperti resolusi DK PBB, resolusi MU PBB ini merupakan simbol suara
masyarakat internasional bahwa kekerasan rezim Presiden Bashar al-Assad di
Suriah terhadap rakyatnya harus segera dihentikan.
Sama
seperti yang terjadi di Dewan Keamanan (DK) PBB, Rusia dan China—sekutu lawas
Suriah—menentang mati-matian resolusi MU PBB tersebut. Bahkan Rusia dan China
sudah dua kali memveto draf resolusi DK PBB terhadap Suriah, yakni pada Oktober
2011 dan Feburari 2012. Sebelumnya, Liga
Arab telah menarik tim pemantau dari Suriah (28/1) dan gagal menekan Presiden Assad
untuk mundur. AS, Inggris, Perancis, dan Tunisia telah menarik duta besarnya di
Damaskus dan mencabut pengakuannya terhadap rezim Assad (6/2). Sementara, Tunisia
memulai prosedur pengusiran Duta Besar Suriah dan menyerukan agar menggusur
Dubes-dubes Suriah dari negara-negara Arab.
![]() |
Presiden Palestina, Mahmoud Abbas |
Geopolitik Suriah
Berbeda
dengan intervensi militer terhadap Libya, tindakan Rusia dan China menggunakan
hak vetonya di DK PBB dan menentang resolusi MU PBB bukan disebabkan oleh faktor
ekonomi. Suriah bukan negara minyak dan tidak memiliki aset miliaran dollar AS di
luar negeri. Bahkan menurut Atawan (2012), Rusia dan China tidak membela rezim
Assad, tetapi lebih ingin membangun etika politik agar tidak terjadi
kesewenang-wenangan di kancah internasional, seperti resolusi terhadap Libya
pada Maret 2011 yang membuat NATO turun tangan membantu pemberontak guna
menggulingkan Qadafi. Rusia dan China berupaya menghentikan hegemoni Barat dan
ingin membangun peta kekuatan baru yang lebih berimbang di pentas
internasional, sekaligus ingin mengamankan kepentingannya pada posisi
geopolitik Suriah yang sangat strategis.
Politik
luar negeri Suriah dibentuk oleh geopolitik strategis yang dikenal dengan
"Visi Lima Lautan", sebuah strategi yang diluncurkan Presiden Assad pada
2004 dengan memaksimalkan posisi strategis Suriah sebagai pusat jaringan energi
dan perdagangan yang menghubungkan Laut Kaspia, Laut Hitam, Laut Tengah, Laut
Merah, dan Teluk Arab. Kebijakan ini memproyeksikan sebuah jaringan operasi
melalui Suriah untuk transfer minyak dan gas, barang, tenaga kerja, dan ide
yang menghubungkan Kaukasus di utara dengan Teluk Arab di selatan, Iran di
timur, dan Eropa di barat.
Sejak
2004, Assad mengembangkan “Visi Lima Lautan” dengan berkeliling ke
negara-negara yang concern terhadap
lima lautan, seperti Azerbaijan (Laut Kaspia); Rumania, Bulgaria, dan Ukraina (Laut
Hitam); Siprus, Yunani, dan negara lainnya (Laut Tengah); dan terus menarik investasi
Eropa. Dengan demikian, akan sulit bagi Barat atau NATO untuk mengisolasi
Suriah, dikarenakan setiap kerusakan akan menimbulkan efek domino di Turki,
Irak, Rumania, Azerbaijan, Ukraina dan negara-negara yang terhubung melalui
Suriah.
Strategi
yang serupa juga pernah digunakan oleh Dinasti Umayah (661—750 M) dalam
mengontrol rute perdagangan hingga mencapai India, Cina, Afrika Utara, dan
Spanyol. Umayah dikenal sebagai imperium muslim pertama yang dikenal unggul dalam
perdagangan daripada sebagai penakluk militer. Suriah, sebagai anak kandung dinasti
Umayah, melihat sangat mungkin untuk menghubungkan kembali lautan strategis
tersebut.
Suriah dalam peta dunia |
Melihat
fakta yang ada, nampaknya akan sulit bagi Rusia-China untuk melepaskan pelukan
eratnya kepada Suriah, mengingat nilai tawar geopolitik Suriah yang sangat tinggi
dan menghitung cost ekonomi yang akan ditanggung. Dengan demikian,
krisis Suriah diperkirakan akan semakin panjang dan rumit serta berdampak besar
bagi keamanan kawasan, khususnya Palestina.
Arab Spring dan Palestina
Suriah
selama ini mengklaim sebagai satu-satunya negara Arab yang masih menaruh
perhatian besar kepada Palestina berdasarkan Pan-Arabisme. Perang Gaza 2006
dipandang sebagai kemenangan Damaskus dimana Suriah mendukung koalisi
Hamas-Hizbullah, sementara Mesir malah membantu Israel mengepung Gaza dan
negara Arab lainnya memilih bungkam. Suriah juga merupakan sponsor utama Hamas,
di mana markas besar Hamas berada di Damaskus, meskipun dikabarkan akan pindah
karena gejolak konflik yang berkepanjangan.
Krisis Suriah yang merupakan seri dari rangkaian Arab Spring dapat dipandang sebagai runtuhnya rezim-rezim representasi dari visi tua Pan-Arabisme yang diwakili oleh Ben Ali (Tunisia), Mubarak (Mesir), dan Qadafi (Libya). Setelah tumbangnya rezim Qadafi di Libya, bisa dikatakan bahwa Suriah merupakan satu-satunya negara pengusung Pan-Arabisme yang tersisa.
Krisis Suriah yang merupakan seri dari rangkaian Arab Spring dapat dipandang sebagai runtuhnya rezim-rezim representasi dari visi tua Pan-Arabisme yang diwakili oleh Ben Ali (Tunisia), Mubarak (Mesir), dan Qadafi (Libya). Setelah tumbangnya rezim Qadafi di Libya, bisa dikatakan bahwa Suriah merupakan satu-satunya negara pengusung Pan-Arabisme yang tersisa.
![]() |
Presiden Suriah, Bashar Al-Assad |
Namun
sayangnya, Fatah di Palestina juga merupakan bagian dari kelompok yang tengah
bangkrut ini. Fatah yang lahir dari euforia ideologi Pan-Arabisme memandang
Palestina sebagai negara-bangsa Arab bagian dari dunia Arab sekuler. Dengan
kata lain, jika kita berbicara tentang gerakan nasionalisme Palestina sebagai
gerakan sekuler, maka secara tidak langsung sedang mengisolasi Palestina dari
tren yang lebih luas di kawasan; dimana meningkatnya gejala
religiositas-politik dan secara bersamaan tumbuhnya mistrust terhadap
rezim penguasa sekuler (Friedman, 2011).
Menyadari
realita tersebut, Fatah kembali mengumumkan rekonsiliasi dengan kelompok
Islamis Hamas di Doha (6/2/12) dan kedua faksi sepakat untuk membentuk
pemerintahan bersatu di Tepi Barat dan Gaza yang akan dipimpin sementara oleh
Presiden Mahmoud Abbas hingga terselenggara pemilu legislatif dan Presiden. Rekonsiliasi
ini merupakan terobosan di tengah kebuntuan perundingan Palestina-Israel setahun
terakhir dan pasca penolakan proposal keanggotaan Palestina di PBB.
Akhirnya,
baik Fatah maupun Hamas menyadari betul bahwa solusi konflik Palestina-Israel
ditentukan oleh kekuatan Palestina sendiri, bukan oleh Suriah atau bangsa lain.
Sementara, krisis Suriah dengan jelas mempertontonkan kejatuhan benteng
terakhir Pan-Arabisme, sekaligus remuk redamnya persatuan Arab untuk kesekian
kalinya. Ke depan diperkirakan, negara-negara Arab akan semakin inward-looking di tengah berkecamuknya
gejolak Arab Spring yang serba tidak
terduga ini.