![]() |
dimuat di Republika, 6 Februari 2012 |
Sejak digelindingkan setahun yang lalu oleh para pemuda di lapangan Tahrir, gelombang perubahan di Mesir telah menuai hasil yang berarti. Pengunduran diri Presiden Mubarak (11/2/11), pengadilan Mubarak dan anak-anaknya, pembebasan tahanan-tahanan politik, dan penyelenggaraan pemilu legislatif (Majelis Shaab) yang bebas dan transparan, dan pencabutan “status darurat” yang berlaku sejak 1981 oleh Dewan Militer. Meskipun demikian, pada peringatan setahun revolusi 25 Januari, rakyat kembali berkumpul dan menyerukan pengalihan kekuasaan dari militer ke sipil. Namun, Dewan Militer Mesir masih menunda penyerahan kekuasaan ke pemerintahan sipil hingga pemilihan presiden pada Juni mendatang.
![]() |
demonstrasi di Tahrir (sumber: wikipedia) |
Mencermati revolusi Mesir,
sifat dari krisis politik tersebut memiliki kemiripan dengan krisis politik
yang melanda Indonesia pada tahun 1997—1998. Diawali dengan tumbangnya
pemerintahan Orde Baru, gerakan reformasi terjaga momentumnya dengan menjamin
kebebasan pers, pembebasan tahanan-tahanan politik, penyelenggaraan pemilu 1999,
serangkaian amandemen UUD 1945, otonomi daerah, serta berbagai perbaikan kebijakan
dan regulasi.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dan berpenduduk Muslim terbesar di dunia, pengalaman Indonesia dalam dasawarsa pertama reformasinya telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai suatu keberhasilan dalam mentransformasikan diri dari negara otoritarian menjadi negara full-fledged democracy. Oleh karena itu, Indonesia kiranya dapat berbagi pengalaman dalam pengelolaan proses transisi politik kepada Mesir dan negara-negara yang dilanda Arab Spring, agar guliran transisi politik berujung demokratis serta lekas memulihkan keamanan dan perdamaian.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dan berpenduduk Muslim terbesar di dunia, pengalaman Indonesia dalam dasawarsa pertama reformasinya telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai suatu keberhasilan dalam mentransformasikan diri dari negara otoritarian menjadi negara full-fledged democracy. Oleh karena itu, Indonesia kiranya dapat berbagi pengalaman dalam pengelolaan proses transisi politik kepada Mesir dan negara-negara yang dilanda Arab Spring, agar guliran transisi politik berujung demokratis serta lekas memulihkan keamanan dan perdamaian.
Intermestik dan Pelajaran bagi Indonesia
Sementara di sisi lain, penyelenggaraan
diplomasi dan hubungan luar negeri bukan hanya ditujukan untuk memproyeksikan
kepentingan kita ke luar negeri, tetapi juga untuk mengkomunikasikan berbagai
perkembangan di dunia internasional kepada masyarakat di dalam negeri (intermestic) (Putnam, 1998). Oleh
karena itu, terdapat kepentingan yang menonjol untuk memahami perubahan di
Mesir dan kawasan yang dilanda Arab
Spring dalam menghadapi berbagai isu domestik dan demikian pula sebaliknya.
Dengan memperhatikan secara seksama dimensi intermestik, terdapat beberapa
pelajaran yang dapat dipetik Indonesia dari revolusi Mesir.
Pertama, mengutamakan
konstitusi sebagai motor dari setiap perubahan (constitutional engineering). Sengkarut krisis politik di Mesir
semakin rumit karena perpindahan kekuasaan (transfer of power) berlangsung tidak sejalan dengan Konstitusi 1971. Menurut
Konstitusi 1971, transfer of power
seharusnya diberikan dari
Presiden kepada Wapres atau Ketua Mahkamah Agung yang bertanggung jawab untuk
menyelenggarakan pemilu dalam 60 hari. Namun yang terjadi, kini
kekuasaan di Mesir dipegang oleh Panglima
Militer Marsekal Husein Tantawi. Dengan
kata lain, Dewan Militer berkuasa
di Mesir tidak berbekal legitimasi politik dari konstitusi, melainkan dari jalanan.
![]() |
Tantawi berpidato dalam memperingati setahun revolusi 25 Januari (sumber: http://www.yourmiddleeast.com) |
Sementara,
perkembangan model sistem hukum abad ke-21 di berbagai belahan dunia menunjukan
bahwa sistem hukum dunia bergerak menuju supremasi konstitusi. Proses reformasi
Indonesia yang terus mengutamakan supremasi konstitusi dan constitutional engineering berhasil
mengantarkan Indonesia membangun dan
mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil hingga hari ini. UUD 1945,
sebagai salah satu pilar NKRI, harus terus dipertahankan sebagai landasan dari
semua perubahan dan aktivitas kenegaraan di Indonesia.
Kedua, merevitalisasi
pendidikan kewarganegaraan (civic
education) melalui media sosial. Terinspirasi dari revolusi Jasmine di
Tunisia, revolusi 25 Januari di Mesir pun “dirancang” dan digerakan melalui
jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Bukan hanya memberikan “ruang” sarana ekspresi, komunikasi, dan koordinasi di antara para demonstran di dalam negeri, jejaring sosial juga
menjadi sarana bertukar informasi
dengan para simpatisan di luar negeri. Tidak terelakan bahwa gerakan “youth-led” dan “technology-enabled” telah menjadi gebrakan politik paling dramatis
setelah runtuhnya Tembok Berlin.
![]() |
jejaring sosial |
Lebih jauh lagi, media
sosial merupakan salah satu fenomena
globalisasi yang telah membangun jembatan dialog antar-manusia, dengan tanpa mengenal strata dan kelas dalam
masyarakat, serta melintas batas negara dan wilayah. Jembatan dialog tersebut
secara langsung dan tidak langsung telah pula mengembangkan demokrasi dan “civic education”, dimana nilai-nilai (values) dan kebajikan-kebajikan (virtues) saling dipersamakan, diselaraskan,
dan juga diperbedakan.
Di Indonesia, gerakan
berbasis jejaring sosial juga telah menunjukan pengaruhnya yang signifikan,
seperti pada kasus Prita dan Bibit-Chandra. Sebagai negara dengan pengguna facebook terbesar kedua dan twitter terbesar ketiga, pemuda
Indonesia dapat dikatakan paling terhubung (most
connected) di dunia. Maka dari itu, fenomena Arab Spring menyadarkan bahwa Indonesia sangat berpeluang besar
untuk menjadikan teknologi informasi sebagai wahana revitalisasi civic education, yakni sosialisasi,
diseminasi, dan aktualisasi nilai demokrasi serta pendidikan tentang hak dan
kewajiban warganegara.
Ketiga, mempertegas gelombang kedua reformasi. Era reformasi yang dimulai pada 1998 telah mengubah secara fundamental peradaban Indonesia dan mencapai “point of no return.” Revolusi di Mesir mengingatkan kita bahwa perubahan (reform) tidak boleh terhenti bahkan harus dipertegas dalam reformasi gelombang kedua.
Ketiga, mempertegas gelombang kedua reformasi. Era reformasi yang dimulai pada 1998 telah mengubah secara fundamental peradaban Indonesia dan mencapai “point of no return.” Revolusi di Mesir mengingatkan kita bahwa perubahan (reform) tidak boleh terhenti bahkan harus dipertegas dalam reformasi gelombang kedua.
Reformasi gelombang kedua dapat dimaknai
bahwa Indonesia terus menerus berada pada proses perbaikan dan upaya penguatan hakikat
demokrasi, konsolidasi demokrasi (consolidated democracy) guna memastikan demokrasi yang menyejahterakan rakyat (democracy that delivers). Meminjam istilah Presiden SBY, gelombang
kedua reformasi menekankan bagaimana
menjadikan demokrasi sebagai
bagian dari sistem nilai, bukan hanya sekedar bagian dari sistem politik, yang
berdasarkan pilar kesejahteraan, demokrasi, dan keadilan.
Penutup
Bercermin dari revolusi Mesir dan Arab Spring, Indonesia dapat mengambil pelajaran untuk mengukuhkan constitutional engineering, merevitalisasi civic education, dan memastikan demokrasi yang menyejahterakan. Mencermati kemiripan antara krisis politik Mesir (2011) dengan Indonesia (1998), peringatan setahun revolusi Mesir sesungguhnya dapat dijadikan momentum untuk menyegarkan kembali ingatan masyarakat Indonesia akan tuntutan dan tujuan reformasi, serta memacu reformasi pada gelombang berikutnya. Bukankah perbaikan (reform) adalah proses sepanjang hayat dan seumur bangsa?***
Penutup
Bercermin dari revolusi Mesir dan Arab Spring, Indonesia dapat mengambil pelajaran untuk mengukuhkan constitutional engineering, merevitalisasi civic education, dan memastikan demokrasi yang menyejahterakan. Mencermati kemiripan antara krisis politik Mesir (2011) dengan Indonesia (1998), peringatan setahun revolusi Mesir sesungguhnya dapat dijadikan momentum untuk menyegarkan kembali ingatan masyarakat Indonesia akan tuntutan dan tujuan reformasi, serta memacu reformasi pada gelombang berikutnya. Bukankah perbaikan (reform) adalah proses sepanjang hayat dan seumur bangsa?***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar