[dimuat di Radar Banten, 20 Mei 2009]
Pasca pengumuman hasil
pemilu legislatif 2009, politik dinasti terasa semakin menguat di Tanah Banten.
Beberapa nama terpilih sebagai anggota legislatif (aleg) baik tingkat daerah
hingga pusat masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan para pejabat di
Banten.
Keluarga Gubernur Rt.
Atut Chosiyah paling yang banyak terpilih sebagai aleg, yakni Hikmat Tomet (suami,
DPR RI, Golkar), Andika Hazrumy (putra, DPD), Ade Rossi Khaerunisa (menantu,
DPRD Kota Serang, Golkar), Ratna Komalasari (ibu tiri, DPRD Kota Serang,
Golkar), Heryani (ibu tiri, DPRD Pandeglang, Golkar), Rt. Tatu Chasanah (adik,
DPRD Prop. Banten, Golkar), Aden Abdul Cholik (adik ipar, DPRD Prop. Banten,
Golkar).
Selain dari keluarga
Gubernur, aleg terpilih memiliki hubungan kekeluargaan dengan para kepala
daerah di Banten, seperti Tb
Iman Aryadi (putra walikota Cilegon, DPR RI, Golkar), Ahmed Zeki (putra Bupati
Tangerang, DPR RI, Golkar), Iti Octavia Jayabaya (putri Bupati Lebak, DPR RI,
Partai Demokrat), Diana Jayabaya (anak Bupati Lebak, DPRD Prop Banten, PDI P), Mulyanah
(adik Bupati Lebak, DPRD Lebak, PDI P), Agus R Wisas (adik ipar Bupati Lebak,
DPRD Banten, PDI P), dan Irna Narulita (istri Bupati Pandeglang, DPR RI, PPP).
Ternyata tidak hanya
terjadi di Banten, Senayan pasca-pemilu legislatif 2009 banyak diisi oleh
keluarga pejabat daerah, seperti Vanda Sarundajang (putri Gubernur Sulut,
PDI P), Aditya Moha (putra Bupati Bolaang Mongondow-Sulut, Golkar), Dodi Reza
Noerdin (putra Gubernur Sumsel, Golkar), Ratu Munawaroh (istri Gubernur Jambi, PAN),
Aryodhia Febriansa SZP (anak Gubernur Lampung, DPD), Asdy Narang (keponakan Gubernur
Kalteng, PDI P), Awang Ferdian Hidayat (putra Gubernur Kaltim, DPD), Karolin
Margret Natasa (putri Gubernur Kalbar, PDI P), dan HM Aditya Mufti Ariffin
(putra Gubernur Kalimantan Selatan, PPP). Daftar nama tersebut belum termasuk aleg
yang berkerabat dengan pejabat, mantan pejabat, dan para petinggi partai.
Politik Dinasti dan Pembusukan
Demokrasi
Terpilihnya aleg yang memiliki hubungan kekerabatan dengan
tokoh masyarakat tidak lantas menjadi dinasti politik. Untuk menjadi sebuah
dinasti politik, potensi aleg harus disertai dengan ambisi, kaderisasi, dan
prestasi kepemimpinan. Politik dinasti bukan hal baru di Indonesia. Dalam dunia
perpolitikan Tanah Air dikenal beberapa dinasti politik, seperti Wahid dan
Soekarno.
Di negara lain dikenal dinasti Nehru-Gandhi (India), Butto
(Pakistan), Aquino (Filipina), Kennedy dan Bush (AS) yang turun-temurun duduk
di parlemen hingga menjadi presiden. Di negara maju,
kapasitas, pematangan, reputasi, dan rekam jejak yang baik menjadi syarat
politik dinasti.
Di Indonesia, seiring dengan arus otonomi daerah,
“raja-raja” di daerah yang selama ini berkuasa pada sektor formal dan informal
mulai melakukan penetrasi, ekstensifikasi, dan intensifikasi pada lembaga
politik formal. Kekuasaan (power)
pada sektor formal memungkinkan sebuah dinasti mensuplai agen-agennya untuk
“mengamankan” kekuasaan sebuah dinasti. Ini adalah strategi yang sangat cerdas
dan hanya bisa dilakukan oleh “sutradara” yang memiliki ambisi dan visioner
hingga sebuah keluarga berubah menjadi dinasti politik.
Masyarakat yang cenderung feodalistik memosisikan atau
mengistimewakan keluarga-keluarga tertentu dalam pentas politik. Selain itu,
jika proses kemunculan elit melewati kaderisasi alamiah dan prosedural, politik
dinasti berdampak positif terhadap pewarisan ideologi yang jelas dan penyuplai
elit-elit politik yang berkualitas.
Sebaliknya, politik dinasti sangat rawan terjerumus pada pembusukan
demokrasi dari dalam. Politik dinasti berpotensi besar terjebak pada neo-feodalisme
yang merupakan antithesis demokrasi. Di tengah sistem dan lembaga politik yang korup
sering sekali elit politik memanfaatkan mesin birokasi bekerja untuk kepentingan
dinasti. Pengaruh wibawa elit politik tersebut mengganggu objektivitas
birokrasi dan calon pemilih.
Ditambah lagi dengan sistem dan kaderisasi partai politik
yang lemah menjangkiti parpol sebagai pilar demokrasi dengan penyakit neo-feodalisme.
Pada posisi ini, rekruitmen partai lebih didasarkan pada popularitas dan
kekayaan caleg untuk meraih kemenangan. Kemudian muncul calon-calon instan
politik dinasti yang tidak melewati proses kaderisasi. Parpol yang mengidap
penyakit neo-feodalisme tidak akan lagi berfungsi sebagai pilar demokrasi,
tetapi malah melakukan pembusukan demokrasi dari dalam. Selain mempersempit
kesempatan warga negara lain di luar dinasti, politik dinasti juga menyulitkan
objektivitas dalam mengontrol kekuasaan antarlembaga pemerintahan.
Vox
populi, vox dei
Terpilihnya aleg yang
memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh politik adalah sah (legitimate) secara prosedur demokrasi. Toh,
menjadi aleg adalah hak politik mereka sebagai warga negara. Pertanyaan yang tertinggal
pasca-pemilu legislatif adalah mana yang lebih baik: memilih kucing dalam
karung atau memilih maling secara langsung? Apakah para legislator tersebut
akan menjadi wakil rakyat yang membawa aspirasi rakyat atau malah menjadi wakil
keluarga di parlemen? Akhirnya, dengan sistem pemilu langsung, siapapun bisa
dipilih menjadi aleg, entah dia rocker atau
pemabuk, yang penting rakyat memilihnya: Vox populi, vox dei (suara rakyat, suara tuhan).
Silsilah politik keluarga besar Ratu Atut (sumber: Kompas) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar