Immanuel Kant (1724--1804) |
"Segala tindakan yang menyangkut hak orang-orang lain yang maksimnya tak sesuai dengan kepublikan adalah tak adil." - Immanuel Kant -
Ibnu Taimiyah (661--728) |
”Tuhan membantu negara yang adil meskipun kafir,
dan tidak membantu negara yang zalim meskipun beriman.”
- Ibnu Taimiyah –
Membicarakan tentang pemikiran politik Barat dan Islam seperti membicarakan kakak-beradik yang telah lama terpisah jauh. Pada awalnya mereka berasal dari rahim yang sama, kemudian berkembang dalam lingkungan dan tradisi yang berbeda, dan berakhir dengan perjumpaan yang hangat dan saling merindukan.
Kedua budaya ini—Barat dan Islam—sama-sama mempunyai ide-ide tertentu, yang kadang-kadang dikemukakan dalam bahasa yang sungguh serupaya, lantaran warisan yang sama dari monoteisme Ibrahimi dan filsafat Yunani. Tetapi, keduanya diekspresikan dalam konteks sosial dan intelektual yang sama sekali berbeda, dan dengan makna yang sangat berbeda. Islam sama sekali tidak mengenal tradisi politik Romawi, sementara Eropa sama sekali tidak mengenal tradisi politik Indo-Iran.[1]
Dunia Islam
melahirkan banyak pemikiran
yang orisinal dan
tajam. Sejarah pemikiran politik
Islam memperlihatkan kepada kita sebuah tradisi intelektual yang unik. Apa yang
kita saksikan adalah hubungan antara agama dan politik. Islam muncul sebagai
sebuah agama yang bertekad untuk menundukan dan mengubah dunia.
Di
sisi lain, dunia
Barat selalu mengagung-agungkan rasionalitas
dan akal. Pemikiran politik
Barat praktis mendominasi
semenjak keruntuhan kekuatan
gereja Katholik dengan sebuah
endorsement perjanjian Westphalia
1648 yang meletakkan kekuatan negara-bangsa
sebagai sandaran loyalitas
utama suatu masyarakat.
Sejarah membawa Barat menuju
sekularisasi besar-besaran; secara
gradual agama kemudian melangkah menjauh dari ranah
politik.
Kini dalam paper ini, pemikiran
politik dari kedua dunia kembali berjumpa dalam sebuah dialog pemikiran politik. Immanuel Kant (1724—1804)
merupakan salah satu tokoh pencerahan Eropa pada abad ke-18. Kontribusinya pada
pergerakan politik masih bisa ditemukan sampai dewasa ini. Kant berangkat dengan
memperkenalkan secara filosofis martabat manusia (human dignity) atau hak sebagai manusia yang menjadi dasar dari hak
asasi lainnya. Hak sebagai manusia berarti kebebasan individu dan kesetaraan.
Prof. Dr. Matthias Lutz Bachmann dari Universitat Frankfurt Am Main, Jerman, mengungkapkan:
"Dengan gagasan
filosofisnya, yakni bentuk republik, federasi negara-negara merdeka, dan
keramahtamahan universal (cosmopolitan
right), tujuan politik Kant adalah membuat kedamaian abadi antara individu
dan antarnegara,"[2]
Sementara, Ibnu Taimiyah (1263—1328)
menjelaskan dengan sangat gamblang ide-ide tertentu yang mungkin secara logis
dianggap sebagai inti pemikiran politik Islam. Dialah adalah satu-satunya teoritisi politik dari wilayah bulan sabit
untuk waktu yang sangat lama.[3]
Ibnu
Taimiyah mendapatkan banyak
pengikut di kalangan rakyat jelata. Kecaman-kecamannya menggoyahkan
stabilitas publik, sehingga ia harus berkali-kali hidup di balik terali besi.
Meski demikian, ia pernah diangkat menjadi juru khutbah dalam sebuah
peperangan, yang di dalamnya ia secara pribadi mengorbankan perlawanan terhadap
invasi Mongol di Suriah (1300—1301). Dia menghabiskan dua tahun terakhirnya di
penjara (1326—1328). Kesempatan itu ia gunakan untuk menulis, sehingga sipir
penjara merampas pena dan kertasnya.[4] Karya utama Ibnu Taimiyah dalam politik adalah
al-kitab al-siyasah al-syar’iyyah
(buku tentang Politik Berdasarkan Syariat, ditulis pada 1311—1315).
Perbandingan pemikiran politik ini
tidak hanya bertujuan untuk menarik garis perbedaan menjadi semakin lebar, tapi
lebih dari itu mencari persamaan-persamaan dari kedua pemikiran
dari kedua ”kakak-beradik” yang
sudah sudah lama
berpisah ini.
Perbandingan yang dimaksud
didasarkan pada esai yang ditulis Kant tahun 1784, “Idea for a Universal History from
a Cosmopolitan Point of View”[5]
yang menyebutkan sembilan prinsip kosmopolitanisme.
Meminjam pendapat
Antony Black, kita
tidak mengerti bagaimana
mungkin seseorang mengklaim telah
memahami sejarah pemikiran yang berkembang di suatu budaya padahal ia
tidak meneliti apa yang sedang terjadi di lingkungan budaya lain.
”Tidak seorang
pun bisa menjelaskan
suatu fenomena apa
pun tanpa merujuk
pada berbagai hal yang terjadi di luar fenomena itu”.[6]
Ringkas kata, paper ini merupakan
awalan dari usaha untuk memandang lebih jernih teori ilmu politik dari kedua
mata, Islam dan Barat.
Pemikiran Kosmopolitanisme
Immanuel Kant
Immanuel Kant terkenal dengan gagasan
kosmopolitanisme yang berusaha menjawab permasalahan yang timbul dari kekacauan
dunia yang bersekat dan distribusi sumber daya yang mandek di perbatasan Negara.
Definisi sederhana kosmopolitanisme adalah kepemilikan bersama atas permukaan
bumi berdasarkan prinsip-prinsip imperatif universal.
Secara umum kosmopolitanisme dapat
diartikan sebagai kesetaraan nilai moral pada seluruh manusia dan tanggung jawab moral yang tidak
terbatas hanya pada garis perbatasan Negara;
perlindungan terhadap hak asasi manusia; distribusi sumber daya alam
secara global, dan mewujudkan
kosmopolitan demokrasi yang dianggap sebagai demokrasi yang otentik.[7]
Kosmopolitanisme Kant dapat
tergambar melalui esainya yang berjudul Idea
for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View. Pada esainya
yang terkenal ini, Kant berusaha menjelaskan kosmopolitanisme sebagai akhir
dari perjalanan sejarah umat manusia dalam sembilan poin.
Pertama, semua kapasitas alam
diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi akhir alam itu sendiri.
Kedua, semua kapasitas alam digunakan oleh manusia sesuai dengan
akalnya untuk dikembangkan
hanya dalam kelompok
bangsa (race), tidak oleh
perseorangan (individual).
Dalam mewujudkan gagasan kosmopolitanismenya, Kant masih tetap menyandarkan
proyeknya pada peran Negara, tetapi dengan komitmen yang kuat untuk mewujudkan
nilai-nilai kosmopolit. Menurut Ian Adams, Kant adalah salah seorang filsuf
Jerman yang terpengaruh oleh revolusi Perancis. Ia terinspirasi oleh
harapan-harapan tinggi revolusi, sementara takut dengan perjalanan peristiwanya.[8]
Kosmopolitanisme Kant lebih
menekankan pada kesesuaian
antara tindakan dengan hukum.
Kant menilai tidak perlu merombak struktur institusi Negara yang sudah ada
sekarang, tapi lebih menitikberatkan pada kosmopolitanisme
moral. Dengan kata lain, Kant memandang
penting peran Negara-negara dalam pengelolaan kapasitas alam dan memilih
untuk memperbaiki ruh
dari Negara-negara agar
lebih mengedepankan komitmen pada
perlindungan hak asasi dan jaminan keamanan manusia.
Ketiga, Alam mengharuskan manusia memproduksi berdasarkan insting kebinatangannya
yang diciptakan sesuai dengan akal. Alam tidak melakukan semuanya dengan kesia-siaan. Dia memberikan kepada manusia
akal dan kebebasan berkehendak untuk mencermati tanda-tanda dari kehendak Alam
itu sendiri.
Keempat, manusia dalam mengembangkan
kapasitas alam melahirkan “antagonisme”. Maksudnya adalah manusia pada satu
sisi merasa menjadi bagian dari kelompok itu,
sementara pada sisi lain berhasrat ingin memiliki semua kapasitas alam
menjadi milik pribadinya. Sikap seperti
ini pada akhirnya, mengharuskan masyarakat yang menjunjung tinggi hukum sesama.
Kelima, permasalahan terbesar
manusia adalah mencapai
masyarakat madani secara universal
(universal civic society) dimana hukum mengatur
mereka.
Keenam, masalah di atas paling sulit
dan akan menjadi yang terakhir diselesaikan oleh umat manusia. Kehendak alam
yang paling puncak adalah masyarakat universal yang hanya bisa dicapai oleh
umat manusia dengan mengorbankan semua kapasitas dan hanya bisa dicapai melalui
masyaakat yang menjunjung tinggi kebebasan. Pada prinsip kelima dan keenam ini
gagasan kosmopolitanisme Kant mulai
nyata. Ia berpendapat mewujudkan masyarakat kosmpolit yang universal
adalah tugas purna sejarah manusia.
Ketujuh, masalah di atas sangat
tergantung pada masalah hukum hubungan di antara Negara-negara dan tidak akan
bisa diselesaikan tanpa solusi dari permasalahan tersebut. Kedelapan, Negara
yang memiliki konsititusi sempurna adalah kondisi dimana kapasitas umat manusia
dapat sepenuhnya dikembangkan dan mendorong hubungan eksternal antarnegara
sampai pada akhirnya. Kesembilan, usaha filosofis harus ditempuh untuk
mewujudkan sejarah universal umat manusia sesuai dengan kehendak Alam.
Kant
percaya bahwa esensi
kebebasan terletak pada
otonomi moral, pada kemampuan rakyat untuk hidup menurut
aturan yang mereka buat sendiri. Maka untuk benar-benar bebas, tidaklah sekedar mengejar kepentingannya sendiri,
tetapi bertindak menurut kewajiban moral
yang didefinisikannya
sendiri, meskipun ia
juga memiliki kepentingan
pribadi.
Kant menyandarkan upaya mewujudkan
sejarah universal kosmopolit pada ide. Ide menjadi satu-satunya pijakan dalam
mengetahui bagaimana Alam bekerja, jika mata manusia terlalu buta untuk
mengetahui bagaimana sistem Alam ini bekerja. Upaya-upaya perubahan menuju
kosmopolitan harus ditempuh
dengan cara-cara filosofis
yang mengandalkan pemikiran atau ide. Sehingga semakin hari, manusia
akan semakin dekat menuju cita-cita yang diidamkan dan semakin jelas mengungkap
rahasia Alam, yaitu sejarah manusia yang
universal. Kant selalu mengedepankan pendekatan filosofis dalam setiap pemikirannya,
pun dalam proyek kosmopolitan ini.
Secara ringkas, pemikiran Kant dalam
sembilan poin Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View
berusaha membantu umat manusia dalam mengenali rahasia Alam yang paling purna
dan Alam menisbatkan itu sebagai tujuan akhir sejarah umat manusia, yaitu
masyarakat universal (universal civic society). Dalam mencapai tujuan akhir
itu, menurut Kant, manusia hanya bisa mencapainya melalui negara-negara yang
menjunjung tinggi nilai-nilai kosmopolitanisme, seperti keadilan, kebebasan,
HAM, dan jaminan keamanan manusia.
Kosmopolitanisme
Taimiyah
Dalam setiap
pemikirannya, Taimiyah selalu
menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan utama berpikir, pun dalam kosmopolitanisme. Untuk gagasan kosmopolitanisme, Taimiyah kembali berpatokan pada ayat
Al-Quran (Al-Anbiya: 107) bahwa Islam sebagai kebenaran haruslah menjadi
kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil
alamin).
Dalam pemerintahan syariat yang
dicita-citakan oleh Taimiyah, nilai terpenting yang harus dijaga adalah keadilan dan mempromoskan
kebaikan-mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi
munkar). Dalam aspek
politik dan kenegaraan,
secara radikal, Taimiyah lebih
memenangkan gagasan keadilan yang
universal dibandingkan segala- galanya, termasuk keimanan agama seseorang.
Pendapat Taimiyah yang terkenal adalah
”lebih baik
dipimpin oleh pemimpin
yang kafir yang
adil, daripada dipimpin
oleh pemimpin muslim yang dzalim.”[9]
Jelas sekali
pendapat Taimiyah ini
sangat kosmopolit dengan
memandang manusia sebagai individu yang merdeka terlepas dari agama,
ideologi, asal negara, dan ikatan-ikatan tradisional lainnya.
Bermula dari
pendapat mengutamakan pemimpin
yang adil dibandingkan keimanan ini, Taimiyah melanjutkan lebih jauh tentang
peranan Negara dalam proyek kosmopolitanisme.
Taimiyah mengemukakan tugas
utama Negara adalah
tegaknya syariat yang tidak lain demi tegaknya keadilan universal.
Pemikiran Ibnu
Taimiyah tentang Institusi
Negara
Dalam memandang pentingnya
berkelompok dalam mengelola kapasitas alam, Kant dan
Taimiyah bertemu pada
titik yang sama.
Kant dan Taimiyah
sama-sama menganggap pentingnya
kelompok dalam pengelolaan kapasitas alam. Lebih jauh lagi, pengelolaan
sumber daya alam harus melalui kelompok yang kemudian akan melahirkan institusi
negara. Taimiyah terkenal dengan gagasan organis dalam memandang institusi. Ia
menekankan dengan sangat keras pentingnya institusi dalam pengelolaan
masyarakat untuk mencapai keadilan.
”Manusia pada
dasarnya berwatak madaniy (suka membangun). Itulah sebabnya jika mereka
berkumpul, pastilah mereka mengembangkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan
untuk mewujudkan kemaslahatan
dan mengatasai persoalan.
Untuk kepentingan itu, diperlukan kerja
sama yang padu antara
pemerintah (ruler) dan anggota
masyarakat (ruled). Tentu saja
diperlukan ketentuan-ketentuan yang defenitif yang mengatur tugas dan
ruang gerak masing-masing.”[10]
Hanya saja, Taimiyah meneruskan
pendapatnya itu dengan mewajibkan lembaga di bawah kontrol negara untuk
menegakkan keadilan. Lembaga yang dimaksud oleh Taimiyah adalah lembaga Hisbah
yang menjadi salah satu ciri khas pemerintahan Islam dalam mengelola distribusi
perekonomian dan pasar. Lembaga Hisbah
adalah lembaga negara yang memiliki wewenang yang sangat luas dalam bidang
perekonomian dan pasar dan bertugas mempromosikan apa yang baik dan mencegah
apa yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar).
Taimiyah menekankan prinsip keadilan sebagai penopang lembaga Hisbah dalam pemerintahan
Islam. Keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat datangnya pertolongan
Tuhan.[11]
Untuk mencegah antagonisme yang
berujung pada ketidakadilan sebagaimana yang Kant maksudkan, Taimiyah berpendapat, hukum harus
ditegakkan dengan keras oleh Negara. “Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah
dan hal ini berlaku baik untuk delik meninggalkan kewajiban maupun delik
mengerjakan larangan.”[12]
Selanjutnya, Taimiyah juga berbicara
tentang hukum keadilan yang terintegrasi dalam pemerintahan. Menurutnya
pemerintahan sebagai syarat mutlak dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat
untuk menegakkan keadilan. Tujuan Taimiyah adalah membangun pemerintahan
berdasarkan syariat (siyasah syari’iyyah). Syariat
dalam pemerintahan ditopang oleh dua pilar—yang juga sering disebut
sebagai inti pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan mempromosikan
kebaikan dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).
Pemimpin menurut Taimiyah
Dalam Islam apa yang kita sebut
sebagai jabatan dan aktivitas politik termasuk dalam kategori
“amanat” dan “tugas
publik (waliyat)” seperti yang dipahami
dalam syariat. Karena itu,
seorang penguasa politik
wajib “menyampaikan amanat
kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi secara adil” (QS. An-Nisa [4]: 61—62). Tujuan
semua tugas publik (waliyat) adalah
mewujudkan kesejahteraan material dan
spiritual manusia.
Dengan demikian, kita dapat
mengatakan bahwa posisi kepemimpinan politik (sultan, mulk, amir) dan
syariat saling melengkapi satu sama lain untuk membentuk sebuah pemerintahan
yang berdasarkan syariat. Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak dapat
diamalkan tanpa kekuasaan
politik. Tugas agama
untuk memerintahkan kebaikan dan
mencegah kemungkaran benar-benar
tidak dapat dicapai
“kecuali kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam).” Pendapatnya yang
terkenal adalah “agama tanpa kekuasaan,
jihad, dan harta, sama buruknya dengan kekuasaan, harta, dan perang tanpa
agama.”[13]
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah,
tegaknya keadilan tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya kerjasama. Manusia
berkumpul dan membentuk sebuah komunitas politik, kemudian menunjuk
salah seorang sebagai
pemimpin untuk mengorganisir
untuk mewujudkan keadilan dan kebermanfaatan bersama.
Seorang pemimpin tidak menetapkan
tujuan mereka sendiri, melainkan memiliki otoritas untuk bertindak dan
dipatuhi, karena mereka tengah (atau semestinya) berusaha mewujudkan
tujuan-tujuan Islam.
Doktrin pemimpin dalam Islam adalah
tidak lain merupakan wali, wakil, dan agen otoritas, sama sekali bukan pemilik.
Inilah maksud bahwa pemimpin adalah penggembala, yang tidak memiliki hewan
gembalaannya; kedudukannya seperti wali bagi anak yatim. Di sini, citra raja
absolut Timur Tengah dan Iran kuno benar-benar diislamkan. Otoritas pemimpin,
sesungguhnya berasal dari Tuhan; namun hal ini berarti bahwa kepentingan-kepentingan yang
wajib ia upayakan
sesungguhnya merupakan kepentingan-kepentingan
rakyatnya.
Ibnu Taimiyah dengan tegas
menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara atau raja hanya
merupakan mandat dari
Tuhan yang diberikan
kepada hamba-hamba pilihanNya.
Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menganggap bahwa penguasa-penguasa yang korup
adalah yang paling tidak bermoral dan karena itu tidak ada kewajiban untuk
patuh pada mereka, dan ia juga menyalahkan para ulama dan cerdikcendikia yang
mendukung penguasa-penguasa yang tidak mengindahkan agama dan melakukan
penyelewengan dan membuat syari’at tidak mampu menjawab tuntutan kemanusiaan.
Mereka telah dianggap mengingkari prinsip-prinsip syari’ah. Tapi di lain sisi
Ibnu Taimiyah menemukan dilema ketika
dihadapkan tentang ada
dan tidak adanya pemimpin
dalam sebuah negara. Menurut Ibn Taimiyah, sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan
kesejahteraan bersama, adanya seorang
kepala negara merupakan
sesuatu yang niscaya
dan tidak terelakkan. Pendapatnya
yang kontroversial dalam buku As-Siyasah Asy-Syariah adalah “Lebih baik 60
tahun diperintah oleh pemimpin yang dzalim dibandingkan hidup satu hari tanpa
pemerintahan.”[14]
Bentuk negara
menurut Taimiyah
Cukup menarik, sekalipun Ibnu
Taimiyah selalu menekankan kekuasaan politik, negara, dan
pemerintahan dalam kehidupan
masyarakat, tetapi Taimiyah
meragukan validitas pendapat bahwa
kekhalifahan berasal dari sumber agama (Al-Quran dan As- Sunnah). Suatu
pemikiran ekstrim yang menentang arus
pemikiran teori kekhalifahan yang sangat sakral pada masa itu.
Ibnu Taimiyah juga mengkritik Sunni
dan Syiah. Menurut pandangannya, tidak ada dasar dalam
Al-Quran dan As-Sunnah tentang
teori kekhalifahan tradisional ala Sunni
dan tidak ada teori imamah Syiah yang mutlak. Ia melihat Islam sebagai suatu
tata sosial yang mempunyai hukum tertinggi:
hukum Allah. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak tertarik pada negara
dan formasinya. Meskipun menerima negara itu sebagai suatu kebutuhan agama (a
religious necessity). Artinya, negara Islam yang diangap memenuhi syarat adalah
suatu pemerintahan yang
mendasarkan pada syariat
sebagai penguasa tertinggi dan
tidak memandang apakah negara itu berbentuk khalifahan, monarki, ataupun republik.
Ia lebih memilih meletakkan keadilan pada setiap pemerintahan sebagai esensi
kekuasaan, tinimbang meributkan bentuk negara.
Teori politik
Ibnu Taimiyah (w.
1328) memiliki kemiripan yang
lebih dekat kepada konsep pemerintahan modern. Dalam asal-usul
negara, ia bermaksud menawarkan interpretasi sosiologis berdasarkan pada
hakikat manusia yang bebas dari penjelaan agama. Sikap tersebut tidak ditemukan pada teori
klasik yang menegaskan bahwa asal-usul kekuasaan hanya berasal dari sumber
agama. Dari sini kita bisa melihat pemikiran Ibnu Taimiyah ”melampaui”
tradisi berpikir para filsuf Islam
tentang teori kekuasaan.15 (Jindan, 1995: 124)
Pembaharuan
pemikiran oleh Taimiyah
Taimiyah melakukan
pembaharuan dengan membuka
kembali pintu akal, daripada hanya mengikuti pola yang sudah baku. Kepercayaan
terhadap kemungkinan dan nilai pengetahuan syariah yang independen mempunyai pengaruh yang kuat
pada doktrin Ibnu Taimiyah dan merupakan
pendukung semua langkah pembaruannya yang kontroversial.
Perubahan paling penting yang
menyangkut dengan metode itu adalah adanya rehabilitasi peranan ijtihad yang sering diartikan dengan
ungkapan seseorang terhadap kecakapan dan kemampuan pribadinya untuk mencapai pengetahuan.
Ijtihad dimaksudkan untuk menggantikan metode taklid yang amat membeo dan kaku.
Taklid sendiri berarti mengadopsi segala keputusan yang ditetapkan oleh para
penguasa.
Ia tidak mendukung tafsir teks suci
yang benar-benar harfiah, tetapi menggunakan analogi dan silogisme sebagai alat
untuk menghubungkan contoh-contoh tertentu dengan norma-norma legal
melalui argument rasional.
Dia mendukung penalaran
individual (ijtihad) yang dilakukan oleh seorang mujtahid yang memenuhi syarat sebagai bantuan untuk
memahami konsensus (ijmak) umat Islam. Satu
hal yang paling mengejutkan, ia mendukung “jalan tengah” (wasath)—atau
rekonsiliasi—antara nalar (metode
teologi), riwayat (metode ahli hadits), dan kehendak bebas (metode sufi).
Selain itu, prinsip-prinsip dan nilai-nilai fundamental syariah harus mempertimbangkan
keadaan-keadaan baru. Menurutnya, syariat
saat ini mungkin membutuhkan banyak adaptasi. Syariat dapat memberikan
bimbingan yang benar untuk setiap masalah hanya jika manusia menggunakan seluruh
upayanya (berijtihad). Ibnu Taimiyah
membolehkan penguasa untuk menerapkan hukuman terhadap sesuatu urusan yang
belum ditetapkan oleh syariat, misalnya hukuman untuk kesalahan administrasi,
malpraktik, dan penyuapan.
Cakrawala Ibnu
Taimiyah semakin terbuka
ketika Kekhalifahan Abbasiyah tumbang, karena
peristiwa itu membuka jalan bagi solusi yang lebih radikal terhadap
problem-problem yang sekian lama menghantui masyarakat.
Ibnu
Taimiyah menghargai peranan
akal dan membuka
pintu ijtihad seluas- luasnya, tetapi kedudukannya harus
berada di bawah wahyu. Akal yang benar adalah akal yang beroperasi di bawah
bimbingan Al-Quran dan petunjuk Nabi (As-Sunnah).
Persamaan dan
Perbedaan antara Kant dan Taimiyah
Dalam memandang kosmopolitanisme
sebagai akhir dari sejarah umat manusia, Kant
meletakkan beberapa faktor
sebagai modal, yakni
memahami kehendak Alam; institusi negara sebagai jalan; upaya negara-negara dalam mewujudkan
kosmopolitanisme; dan usaha-usaha filosofis manusia untuk mencapai
kosmopolitanisme.
Sementara Taimiyah
memiliki pendapat yang
serupa dengan mengedepankan peranan negara
dalam pengelolaan sumber
daya alam dan
menegakkan keadilan; memandang
dengan kacamata kosmopolit dengan
mementingkan asas keadilan di atas keimanan;
dan penyegaran pemikiran
dengan mengemukakan usaha
filosofis dalam mencari
kebenaran.
Dari pemikiran kedua filsuf berbeda
zaman dan dunia ini, kita sedikit banyak dapat menemukan benang merah. Mereka
sama-sama berbicara kosmopolitanisme; keadilan, distribusi
sumber daya secara
global, dan pencapaiannya
melalui institusi negara, namun
dengan warna yang berbeda.
Menariknya, pendapat Taimiyah yang
kosmopolit ini dikemukakan lima abad sebelum Kant dan dari dunia yang berbeda
dari dunia tempat Kant hidup. Dengan kata lain, pendapat Taimiyah ini
”melompati zamannya” dan menembus ruang dimana ia tinggal. Karena keteguhannya memegang pendapat-pendapatnya yang
”melompati zaman” ini, pemikir besar Islam ini harus membayar mahal
dengan merasakan tiga kali dinginnya ruangan penjara, bahkan harus menutup usia
dalam penjara.
Selanjutnya perbedaan di antara
keduanya. Dalam setiap kesempatan, karya Kant selalu mempermasalahkan Tuhan
yang sebelumnya dianggap
tidak bisa dibicarakan karena tidak tergolong dalam kategori-kategori dan
mengagung-agungkan rasionalitas. Sebagai
gantinya, Kant lebih
mempercayai hukum Alam
(dalam “a” besar)
yang mengatur kehidupan manusia dan menetapkan tujuan-tujuan sejarah
manusia.
Sebaliknya, Ibnu Taimiyah dengan
tegas selalu berpegang teguh pada hukum agama Islam dalam setiap pemikirannya. Taimiyah menghargai
akal, tetapi akal yang terbimbing oleh agama. Kekuasaan, menurut Taimiyah,
adalah kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba
pilihanNya. Taimiyah dikenal sebagai salah satu pemikir kosmopolitanisme Islam
yang meletakkan pondasi keadilan dalam pemerintahan melebihi agama; membuka
keran pemikiran Islam seluas-luasnya; distribusi sumber daya secara
global; dan pencapaian keadilan melalui institusi negara. Meskipun demikian, ia
tetap dikenal sebagai seorang ulama Islam yang berpengaruh dan mengkaji
ilmu-ilmu agama secara mendalam.
Selain itu
pula, perbedaan yang
jelas antara Kant
dan Taimiyah dalam
hal memandang progresivitas sejarah. Kant memandang Alam berkendak agar manusia
berusaha mewujudkan sejarah universal manusia yang kosmopolit. Kant menilai
inilah puncak sejarah manusia
yang sempurna dan
menjadi tugas terakhir
yang harus direalisasikan sebelum
Alam berakhir. Pemikiran Kant senada dengan pemikir Barat lainnya yang selalu
merefleksikan progresivitas sejarah ke arah masa depan.
Akan
tetapi, Taimiyah berpendapat
puncak sejarah manusia
yang sempurna adalah pada zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya
hidup. Setiap pemikir Islam, termasuk Taimiyah, mempercayai bahwa pencapaian
sejarah manusia yang paling puncak adalah pada masa dimana Rasulullah hidup. Sehingga
setiap pemikir Islam
selalu merefleksikan tujuan ideal
ke belakang dalam
proses filosofisnya. Pendapat ini
didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “Zaman terbaik adalah zamanku, kemudian sesudahnya,
dan sesudahnya lagi.”***
DAFTAR PUSTAKA
Adams,
Ian, (2003). ”Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya”,
Yogyakarta: Qalam
Black,
Antony, (2001).“Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini”, Jakarta:
Serambi
Brock,
Gillian, (2002). World Citizenship: David Miller versus the New Cosmopolitans, 2002,
diktat “Kosmopolitanisme” mata kuliah Teori Politik Internasional Fisipol Universitas
Gadjah Mada
Jindan,
Khalid Ibrahim, (1995).”Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah
tentang Pemerintahan Islam”, Surabaya: Risalah Gusti Kant, Immanuel, (1784)
Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View, dalam diktat
“Immanuel Kant-Perpetual Peace” mata kuliah Teori Politik Internasional Fisipol
Universitas Gadjah Mada
Kompas,
20 Desember 2004
Kurniawan,
Budi, (2004). “Pandangan Ibnu Taimiyah tentang Negara dan Perannya dalam
Pasar”, Yogyakarta: skripsi pada program sarjana jurusan Ilmu Pemerintahan
Fisipol Universitas Gadjah Mada
Strathern,
Paul, (2001).“90 Menit Bersama Kant”, Jakarta: Erlangga
Surwandono,
(2001).“Pemikiran Politik Islam”, Yogyakarta: LPPI UMY
Taimiyah,
Ibnu, (1985). Public Duties in Islam, The Institution of the Hisba, London:
Taimiyah, Ibnu, (2004).“Tugas Negara Menurut Islam”, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
[1] Anthony
Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, 2001, Jakarta:
Serambi
[2] Kompas,
20 Desember 2004
[3] Anthony
Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, 2001, Jakarta:
Serambi, halaman 297
[4] Ibid
[5] Immanuel
Kant, Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View, 1784,
dalam diktat
“Immanuel Kant-Perpetual Peace” mata kuliah Teori
Politik Internasional.
[6] Antony
Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, 2001, Jakarta:
Serambi, halaman 24
[7] Gillian
Brock, World Citizenship: David Miller versus the New Cosmopolitans, 2002,
diktat
“Kosmopolitanisme” mata kuliah Teori Politik
Internasional, halaman 2
[8] Ian
Adams, Ideologi Politik Mutakhir Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya,
2004, Yogyakarta: Qalam, halaman 27
[9] Surwandono,
“Pemikiran Politik Islam”, 2001, Yogyakarta: LPPI UMY
[10] Ibnu
Taimiyah, Tugas Negara menurut Islam, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[11] Ibnu
Taimiyah, Public Duties in Islam, The Institution of the Hisba,1985, London
[12] Ibnu
Taimiyah, Tugas Negara Menurut Islam, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[13] Antony
Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, 2001, Jakarta:
Serambi
[14] Khalid
Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang
Pemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar