Jumat, 23 September 2011

Palestina di Tengah Arab Spring

dimuat di Republika, 23 September 2011


Negara Palestina merdeka yang telah lama dicita-citakan tidak lama lagi akan berdiri. Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-66 pada 20 September 2011 akan menyelenggarakan pemungutan suara tentang pengakuan Palestina sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat dengan hak-hak penuh sebagai anggota PBB. Hampir bisa dipastikan setiap anggota PBB akan memberikan suara ya pada voting ini. Dalam peringatan 50 tahun Gerakan Non-Blok (GNB) di Bali (27/5) dan Beograde (6/9), sebanyak 118 negara anggota GNB menyatakan siap mendukung permohonan keanggotaan Palestina sebagai negara ke-194 dalam PBB sekaligus deklarasi kemerdekaan Palestina sesuai dengan perbatasan yang telah ditetapkan pada 4 Juni 1967 dan Baitul Maqdis (Yerusalem) Timur sebagai ibu kotanya. Meskipun menentang, Amerika Serikat tidak dapat membatalkan resolusi tersebut karena hak vetonya hanya berlaku untuk keputusan Dewan Keamanan PBB.
Di sisi lain, Israel saat ini tengah menghadapi kemelut diplomatik dan meningkatnya sentimen anti-Israel di kawasan, seperti pengusiran Dubes Israel oleh Turki (2/9) dan penyerangan Kedubes Israel di Kairo (9/9) yang berakhir dengan evakuasi Dubes dan para diplomat Israel di Mesir.


Penyerbuan Kedutaaan Besar Israel di Kairo


Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak (2/4) mengatakan “kami tengah menghadapi tsunami diplomasi-politik sementara mayoritas publik tidak sadar dan ini akan mencapai puncaknya pada September”. Pengamat politik Israel, Ari Shavit, membandingkan antara rencana voting pada 2011 ini dengan kekalahan militer Israel terburuk sepanjang sejarah pada 1973. Menurutnya “2011 akan menjadi 1973-nya Israel dalam bidang diplomasi dimana setiap pangkalan militer Israel di Tepi Barat akan dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan sebuah negara merdeka anggota PBB. Sebuah pengepungan diplomatik dari luar dan pemberontakan sipil dari dalam akan mencengkram Israel sekaligus (Haaretz, 31/3).
Jika voting SMU PBB membuahkan hasil positif, maka kini pertanyaannya adalah bagaimana nasib “bayi” negara Palestina sebagai negeri yang terbelah lahir di tengah-tengah gejolak Arab Spring?


Presiden Abbas menunjukan Proposal Palestina kepada SMU PBB
  
Negeri yang Terbelah
Berbicara tentang kemerdekaannya, maka kita juga mahfum bahwa secara geografis dan modalitas politik, Palestina merupakan negeri yang terbelah: Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Gaza. Selain merepotkan dari aspek administrasi pemerintahan, keterbelahan ini berakar dari pertanyaan mendasar tentang identitas bangsa dan berdampak pada kelanggengan negara Palestina ini.


Wilayah Palestina dari masa ke masa



Fatah yang lahir dari ideologi Pan-Arabisme memandang Palestina sebagai negara-bangsa Arab bagian dari dunia Arab sekuler yang defensif dan telah menerima Israel sebagai sebuah negara serta menyesuaikan diri dengan realitas tersebut. Sedangkan Hamas merupakan kekuatan Islamis yang melihat Palestina merdeka sebagai bagian dari kebangkitan Islam di seluruh wilayah muslim serta dengan tegas menolak mengakui negara Israel.


Delegasi Palestina untuk PBB dipimpin Presiden Abbas


Dari segi dukungan internasional, Fatah menikmati dukungan jauh lebih besar dari Hamas. Eropa dan AS melihat Fatah sebagai kawan baik untuk kepentingan mereka dan kurang memusuhi Israel. Sementara, Saudi dan negara Arab lainnya telah kehilangan kepercayaan terhadap Fatah karena pengalaman masa lalu, tetapi pada akhirnya mereka lebih khawatir terhadap Islam radikal dan kebangkitan Iran sehingga tetap memerlukan dukungan AS. Sementara Hamas menggunakan realitas tersebut untuk menggambarkan Fatah sebagai pihak yang berkolusi dengan Israel di tengah konfrontasi rakyat Palestina dengan Israel. Di sisi lain, Hamas memiliki dukungan dari kelompok Islamis di kawasan, termasuk Iran dan Turki. Namun lebih dari apapun, Hamas harus mengakhiri permusuhannya dengan Mesir yang pernah memblokade Gaza melalui perjanjian dengan Israel.
Pertemuan rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas di Kairo pada Mei 2011 adalah oase di tengah gurun konflik berkepanjangan antara kedua faksi Palestina. Akan tetapi, pengalaman menunjukan bahwa kedua belah faksi ini dengan cepat kembali berkonflik setelah berdamai, karena keterbelahan antara keduanya yang teramat dalam.

Abbas (ki) dan Haniyeh (ka) saat rekonsiliasi Fatah-Hamas di Kairo, Mei 2011


Arab Spring dan “bayi” Palestina
            “Bayi” Palestina yang telah lama diidam-idamkan oleh bangsa-bangsa Arab, kini justru terlahir tanpa kehadiran penuh saudara-saudara tuanya. Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang tengah dilanda Arab Spring memaksa bangsa-bangsa Arab disibukan dengan urusan internal negaranya masing-masing dan defensif terhadap perubahan, apalagi terhadap kemunculan rezim baru di kawasan.
Mesir sebagai kekuatan terkemuka bangsa Arab tengah dilanda pergolakan internal pasca Mubarak. Bercermin dari pengalaman buruk dengan rezim Mubarak, Hamas mengharapkan perubahan sejati rezim Mesir, tetapi bukan rezim sebuah demokrasi liberal yang diharapkan, melainkan kekuatan Islam yang mendukung Hamas, yakni Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, pada saat ini, hal tersebut hampir mustahil terjadi, mengingat penguasa militer Mesir mempertahankan tingkat kontrol yang luar biasa terhadap kelompok oposisi yang terbagi atas unsur sekuler dan agama. Sementara unsur agama tersebut juga terbagi akibat rezim Mesir yang telah membuat mereka berkonflik sesamanya selama bertahun-tahun. Perubahan di Mesir hampir tidak mungkin menguntungkan Hamas. Oleh karenanya, Hamas perlu untuk mendefinisikan situasi politik di Mesir untuk mengubah musuh menjadi teman yang kuat.


Demonstrasi di Lapangan Tahrir, Kairo


Sementara itu, rezim Suriah kini sedang berjuang untuk hidup melawan penduduknya yang mayoritas Sunni. Iran dan Hizbullah di Lebanon merupakan pihak yang paling khawatir dengan jatuhnya rezim Suriah. Suriah merupakan sekutu strategis bagi Iran untuk meningkatkan pengaruhnya di Mediterania. Kejatuhan rezim Suriah akan menjadi kemunduran bagi Iran pada saat Teheran sedang berusaha meningkatkan posisinya berkaitan dengan penarikan tentara AS dari Irak. Kejatuhan Suriah akan meninggalkan Hizbullah yang sangat tergantung pada rezim Suriah dan sebagian besar kebijakan Suriah di Lebanon bergantung pada Iran. Iran tanpa Suriah akan sangat jauh dari Hizbullah. Sebagaimana Teheran, Hizbullah juga ingin rezim Suriah bertahan.
Konfrontasi militer antara koalisi Hamas dan Hizbullah yang didukung oleh Suriah melawan Israel pada 2006 dipandang sebagai kemenangan bagi Damaskus, karena Suriah menunjukkan kepada dunia Islam bahwa ia adalah satu-satunya negara-bangsa yang mendukung perlawanan efektif ke Israel. Hal ini juga menunjukkan kepada Israel dan AS bahwa Suriah bisa mengendalikan Hizbullah, sehingga memaksa Suriah keluar dari Lebanon adalah kesalahan besar bagi Israel dan AS. Sementara, bagi Saudi, kepentingannya adalah melihat rezim Suriah yang didukung Syiah Iran runtuh dan tidak ingin rezim radikal muncul di Mesir. Di atas semua itu, Saudi tidak ingin posisi Iran menguat di kawasan.


Pemimpin Hizbullah Nasrullah (ki) dan Presiden Iran Ahmadinejad (ka)


Arab Spring yang tengah melanda Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini dapat dipahami sebagai pembusukan rezim yang berkuasa pada 1960-an dan 1970-an yang diwakili oleh Mubarak (Mesir), Qadafi (Libya), dan Assad (Suriah) sebagai representasi dari visi tua Pan-Arabisme. Sayangnya, Fatah merupakan bagian dari kelompok ini. Sehingga ketika kita berbicara tentang gerakan nasionalisme Palestina sebagai gerakan sekuler, maka secara tidak langsung sedang mengisolasi Palestina dari tren yang lebih luas di wilayah tersebut; dimana meningkatnya gejala religiositas-politik dan secara bersamaan tumbuhnya mistrust terhadap rezim penguasa sekuler (Friedman, 2011). Pasca voting SMU PBB, Otorita Palestina yang didominasi Fatah akan mengklaim kekuasaan di negara Palestina merdeka, tetapi Hamas, pada sisi lain, merupakan perwakilan yang sangat populer saat ini di dunia Islam dan memperoleh dukungan signifikan pada tingkat akar rumput.
Hingga kini, perdebatan tentang siapa yang harus memimpin bangsa Palestina masing berlangsung. Namun, siapa pun akhirnya yang mengontrol negara dan mendefinisikan Palestina, deklarasi kemerdekaan Palestina pada SMU PBB justru akan mendorong krisis Palestina semakin dalam, jika konflik internal tidak segera diselesaikan.

Penutup
Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara tidak akan sama lagi setelah kemerdekaan Palestina. Resolusi PBB tentang kemerdekaan Palestina tersebut jelas memiliki konsekuensi dan implikasi sangat signifikan yang tidak dapat ditangani dengan cara-cara diplomatik biasa, baik bagi bangsa Palestina maupun bagi kawasan.
Implikasi paling nyata dari resolusi PBB ini adalah ujian bagi kemandirian “bayi” Palestina sebagai negeri yang terbelah secara geo-politik dalam menghadapi reaksi Israel yang keras kepala, sementara gejolak di seluruh Timur Tengah yang tidak terduga membuat negara-negara Arab sibuk menghadapi konflik internal sehingga tidak akan mudah menghadapi rezim yang baru terbentuk ini. Dengan kata lain, Palestina akan merdeka tanpa kehadiran penuh bangsa-bangsa Arab atau bisa jadi kemerdekaan Palestina justru dapat mendorong eskalasi krisis kawasan yang tengah memanas akibat Arab Spring. Wallahu ‘alam***


Palestina Merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar