Jumat, 30 Desember 2011

"Islamist Spring"

dimuat di Radar Banten, 30 Desember 2011
Setahun yang lalu, sejak dimulai pada akhir tahun 2010, gelombang perubahan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (Arab Spring) telah menuai hasil. Rezim otoritarian di Tunisia, Mesir, dan Libya bertumbangan. Disusul oleh suksesnya penyelenggaraan pemilu di Tunisia dan Maroko, serta pemilu di Mesir yang masih berlangsung. Sementara gejolak politik (political unrest) terus berkecamuk di Suriah, Yaman, dan beberapa negara lain di kawasan dalam derajat dan penanganan yang berbeda-beda.

Hasil pemilu di Tunisia, Maroko, dan Mesir (sementara) menunjukan fenomena menarik di negara-negara yang dilanda Arab Spring, yakni kebangkitan kelompok Islamis di negara-negara tersebut. Pemilu di Tunisia, negara asal Arab Spring, pasca tumbangnya Presiden Ben Ali (23/10) dimenangkan oleh Partai Islamis an-Nahda (40%). Sementara, sesuai referendum Juli 2011, Maroko menyelenggarakan pemilu dan dimenangkan juga oleh kelompok Islamis Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD). Raja Maroko Muhammad VI menunjuk pemimpin PJD, Abdelilah Benkirane, sebagai perdana menteri.

seseorang mengacungkan kitab Al-Quran di tengah kerumunan massa di Mesir


Di Mesir, hasil sementara pemilu legislatif menunjukan dua partai Islamis keluar sebagai pemenangnya. Adalah Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), sayap politik Ikhwanul Muslimin (IM), organisasi pergerakan dakwah dan sosial yang selama puluhan tahun dilarang di Mesir dan ditekan rezim Nasser, Sadat, dan Mubarak, meraup setidaknya 40% suara. Pasca jatuhnya Mubarak, IM telah mengakhiri alienasinya dengan sistem demokrasi dan bergabung dengan barisan Islamis di kawasan, yaitu AKP di Turki, an-Nahda di Tunisia, dan PJD di Maroko. Partai al-Nur yang mewakili kelompok Islam konservatif Salafi mengklaim mengamankan 20% total suara pada pemilu Mesir.

Bendera Partai Keadilan dan Kebebasan (FJP) dibawa oleh seorang kader perempuan Mesir.
 FJP merupakan sayap politik Ikhwanul Muslimin.

Ironisnya, kelompok liberal yang memotori Revolusi 25 Januari di lapangan Tahrir hanya memperoleh suara resesif pada pemilu Mesir. Sehingga di antara blok kekuatan politik Mesir kontemporer—militer, Islamis, dan liberal—kelompok terakhir merupakan yang paling lemah.

Dalam derajat yang berbeda, pemimpin Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya, Mustafa Abdul Jalil berjanji akan membangun Libya sebagai negara modern berdasarkan Islam moderat (13/9). Pasca tewasnya Qadafi di tangan milisi, NTC telah membentuk pemerintahan sementara dan tengah mempersiapkan pemilu dalam beberapa bulan ke depan.

Peta Turki dan Iran: dua Islamis di kawasan

Sementara itu, Iran dan Turki sebagai dua kekuatan Islamis existing di kawasan semakin meningkatkan leverage politik luar negerinya. Iran tengah berupaya meningkatkan posisinya berkaitan dengan penarikan tentara AS dari Irak. Ditambah lagi dengan klaim penembakan pesawat mata-mata militer AS oleh Iran (14/12) dan retorika perang Iran-Israel yang kian panas.


PM Turki Erdogan (ki) dan Presiden Iran Ahmadinejad (ka)


Turki kini menjadi model demokrasi di Dunia muslim. PM Turki Ergodan disambut dengan sangat meriah saat berkunjung ke Mesir (13/9). Citra Turki semakin melambung setelah menurunkan tingkat hubungan diplomatiknya dengan Israel hingga tingkat paling rendah, yakni tingkat Sekretaris II, sebagai buntut penolakan permintaan maaf Israel atas kasus penyerangan kapal Mavi Marmara pada Mei 2010.


Penyambutan PM Erdogan di Mesir pada 13 September 2011


Islamis, politik, dan demokrasi

Selama ini. kekhawatiran kelompok Islamis akan menguasai pemerintahan telah menjadi penghalang demokratisasi di negara-negara otoritarian muslim. Oleh sebab itu, momentum Arab Spring dinilai sangat menguntungkan bagi kelompok Islamis sebagai gerakan paling terorganisir dan terkonsolidasi di negara-negara tersebut.

Dari gejala tersebut, nampaknya Arab Spring yang digelindingkan oleh kelompok liberal semakin bertransformasi menjadi “Islamist Spring”. Fenomena ini menunjukan setidaknya tiga hal. Pertama, kemenangan Islamis pada melalui pemilu demokratis menegaskan kompatibilitas antara Islam dan demokrasi. “Islamist Spring” juga mengukuhkan bahwa demokratisasi juga tidak selalu membawa kelompok liberal demokrat pada kekuasaan. Atau meminjam istilah Friedman (2011), gejolak tidak selalu mengarah pada revolusi, sebuah revolusi tidak selalu mengarah demokrasi, dan demokrasi tidak selalu mengarah pada model Eropa atau Amerika.

Kedua, kemenangan (sementara) FJP di Mesir, PJF di Maroko, dan an-Nahda di Tunisia, serta the ruling party AKP di Turki, menandai transformasi ideologi dan aktivitas Islamisme kontemporer. Bubalo (2008) menyebutnya sebagai pergeseran dari “negara” ke “nilai" syariah dan pergeseran dari pemerintahan Islam ke tata pemerintahan yang baik (good governance). Hal ini terlihat dari perilaku kelompok Islamis yang menghindari retorika tentang Islam dengan cara menyampaikan pesan yang lebih inklusif tentang kesetaraan sosial dan pemerintahan bersih, juga berfokus ke isu pemberantasan korupsi dan pemulihan ekonomi pasca revolusi.


Bubalo dalam Zealous Democrats berkesimpulan bahwa
terjadi pergeseran-pergeseran sistemis pada ideologi dan aktivitas Islamisme



Ketiga, kemenangan Islamis dapat dipastikan akan mempengaruhi konstelasi dan konfigurasi kekuatan politik di kawasan, serta orientasi politik luar negeri negara-negara tersebut, khususnya pada isu Palestina. Meskipun demikian, politik juga membawa kelompok Islamis menjejak realita dimana dibutuhkan keterampilan untuk berkompromi dalam koalisi pemerintahan dan menghadapi aktivitas politik keseharian.



Peran strategi Indonesia
Fenomena “Islamist Spring” ini dapat menimbulkan resistensi Barat untuk menerima eksistensi dan agenda kelompok Islamis pemenang pemilu. Maka pada titik inilah, Indonesia perlu secara berkesinambungan engage dengan proses demokratisasi di kawasan tersebut dan memainkan peran strategisnya, yaitu sebagai image builder.

Tidak hanya “meluruskan yang bengkok” tentang Indonesia, akses strategis Indonesia kepada Barat dan dunia muslim juga dapat dimanfaatkan untuk menjembatani antara keduanya. Untuk menghindari kasus isolasi Hamas pasca pemilu Palestina 2006, Indonesia dapat meyakinkan Barat untuk menerima kelompok Islamis moderat yang memenangkan pemilu pasca Arab Spring. Dan sebaliknya, Indonesia dapat berbicara dengan kelompok Islamis untuk memajukan memajukan warna Islam moderat dan mengukuhkan the global coalition of moderates.***

Selasa, 20 Desember 2011

Soeharto dan Swasembada Beras

dimuat di "Jurnal Diplomasi" 
terbitan Pusdiklat Kementerian Luar Negeri RI
Vol. 3 No. 3 September 2011 

Mendengar istilah ketahanan pangan, maka salah satu yang muncul dalam ingatan kita adalah swasembada beras pada masa Orde Baru; beserta gambar Presiden Soeharto dan Bu Tien sedang tersenyum dan mengangkat padi saat panen raya di layar kaca TVRI. Presiden Soeharto dan segala kontroversi yang menyelimutinya, sejarah mencatat Pak Harto adalah tokoh yang sangat berpengaruh dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan Indonesia pada masanya.
Pak Harto dan Bu Tien sewaktu panen raya hasil produksi padi dengan sistem supra insus


Jenderal Besar TNI Purnawirawan Haji Muhammad Soeharto (EYD: Suharto) lahir di dusun Kemusuk, Bantul, Yogyakarta pada 8 Juni 1921 dan meninggal di Jakarta, 27 Januari 2008 pada umur 86 tahun. Presiden Indonesia terlama ini (1967—1998) sering dijuluki “The Smiling General” karena raut mukanya yang selalu tersenyum di muka pers dalam setiap acara resmi kenegaraan. Soeharto tumbuh dan besar di keluarga dan lingkungan petani. Semasa kecil dan tinggal bersama pamannya, nampak bakat dan kegemaran Soeharto dalam bidang pertanian. Di bawah bimbingan pamannya yang mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian.[1]   

Pendapat tokoh tentang program pertanian Soeharto
            Keunggulan program ketahanan pangan pada masa kepemimpinan Pak Harto diakui oleh Menteri Pertanian Anton Apriyantono (2004—2009) dengan banyak mengadopsi program-program semasa Orde Baru. Anton mengaku, merasa berutang budi kepada Soeharto karena tugas-tugasnya sebagai Menteri Pertanian saat ini hanya menyatukan kembali puing-puing yang berserakan yang telah dibangun Soeharto. "Bangunan kokoh itu terserak akibat adanya perubahan-perubahan yang  terjadi di negeri ini. Namun, tugas saya membangun pertanian terasa lebih ringan jika dibandingkan dengan harus membangun dari nol. Beliau telah meletakkan dasar-dasar pembangunan pertanian yang benar. Banyak program beliau yang bagus dan saya lanjutkan," ujar Anton. 
Menurut Anton, setelah era Soeharto, hampir tidak ada pembangunan waduk-waduk besar. Soeharto juga membangun infrastruktur perbenihan, pengamatan, dan pengendalian hama. Banyak peninggalan Presiden Kedua RI itu yang sangat bermanfaat bagi pembangunan pertanian selanjutnya. "Saya kagum terhadap beliau yang sangat paham masalah-masalah pertanian sehingga saya tidak ragu menyebut beliau Bapak Pembangunan Pertanian Indonesia," ujar Anton.
Menguatkan pendapat Anton, Menteri Pertanian Prof Bungaran Saragih (2001—2004), mengatakan, Soeharto menempatkan upaya memenuhi kebutuhan pangan pokok tanpa harus impor, sebagai fokus pembangunan di masa pemerintahannya. "Waktu itu, ada tekad yang kuat dari pemerintah untuk berswasembada beras," ujar Bungaran.
Pada masa Soeharto, selain tekad yang kuat juga dikembangkan kebijakan dan penerapan program yang tepat dan konsisten. "Soeharto membangun dan mengembangkan organisasi atau institusi yang akan menjalankan program-program tersebut," ujar Bungaran.
Selanjutnya, setelah memiliki tekad, kebijakan, program, dan organisisasi pelaksana dari pusat hingga ke daerah, Soeharto menyediakan sumber daya manusia, yang relatif lebih pintar dengan menghasilkan sarjana-sarjana pertanian yang akan diterjunkan melaksanakan dan mendukung program tersebut, baik di lapangan maupun di lembaga-lembaga penelitian dan kampus. Soeharto juga menyediakan sumber dana yang besar untuk menyukseskan program menuju swasembada pangan.
Soeharto juga sukses memobilisasi masyarakat, terutama petani untuk bersama-sama meningkatkan produksi pertanian. "Kita beruntung saat itu mendapatkan benih unggul melalui program revolusi hijau saat itu. Soeharto menangkap revolusi hijau dengan tekad, dirumuskan dan dituangkan dalam kebijakan dan program, dicetak melalui institusi, kemudian disediakan SDM dan dana serta mobilisasi masyarakat petani," ujar Bungaran.[2]

Menyerahkan bibit unggul kepada para pertani di daerah pertanian tadah hujan.

Wakil Presiden RI M. Jusuf Kalla (2004—2009) juga menilai Presiden Soeharto juga berjasa sangat besar di bidang pembangunan ekonomi dan pertanian karena mampu menurunkan tingkat inflasi dari 650 persen menjadi 12 persen dalam beberapa tahun pertama kepemimpinannya. Selain itu, almarhum Soeharto semasa menjabat Presiden RI juga punya andil besar dalam pembangunan irigasi pertanian yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara, yang sampai saat ini belum ada presiden yang mampu menandinginya.
“Itulah sumbangan terbesar dalam pembangunan ekonomi, selain membuat Indonesia ini dapat berswasembada pangan karena belum ada presiden yang dapat membangun saluran irigasi pertanian sebesar yang dibangun Pak Harto,” kata Kalla.[3]

Program Pertanian era Soeharto

Mengawali masa pemerintahannya pada tahun 1966, Presiden Soeharto memprioritaskan sektor agraria dan mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengarah pada revolusi pangan. Hal ini ditempuh karena kemiskinan dan kelangkaan pangan menjadi prahara sekaligus pemantik munculnya konflik dan krisis politik yang melanda Indonesia yang masih belia saat itu. [4]
Untuk membangkitkan kepercayaan masyarakat pada awal pemerintahannya, langkah darurat yang diambil adalah membuka keran impor beras dan mencari bantuan luar negeri untuk impor beras. Setelah kepercayaan diraih, stabilitas teraih. Pak Harto mulai melakukan revitalisasi sektor pertanian dan mendirikan Bulog sebagai penyangga harga beras agar terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Pada awal 1970-an, ketika minyak dijadikan senjata diplomasi oleh negara-negara Timur Tengah dalam menekan Amerika dan Eropa agar lebih fair dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya di Timur Tengah, Indonesia kebagian rezeki minyak akibat kenaikan harga yang cukup signifikan. Rezeki minyak ini dimanfaatkan dengan saksama oleh Pak Harto untuk membangun sektor pertanian. Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran untuk infrastruktur pertanian. Sejumlah waduk, bendungan, dan irigasi dibangun. Bendungan Karang Kates di Jawa Timur, Waduk Mrica, Gajah Mungkur dan Kedung Ombo di Jawa Tengah, Bendungan Riam Kanan dan Riam Kiwo di Kalimantan, Bendungan Asahan di Sumatra, jalan-jalan pedesaan diperbaiki, juga program listrik masuk desa.[5]
Bendungan Asahan di Sumatera Utara

Pada Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasemabda pangan merupakan fokus tersendiri dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh Soeharto. Di dalam Pelita I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri dalam rincian rencana bidang-bidang. Di dalam rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya adalah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras.

 “Peningkatan produksi pangan bertudjuan agar Indonesia dalam waktu lima tahun jang akan datang tidak usah mengimpor beras lagi.  Tudjuan lain ialah memperbaiki mutu  gizi pola konsumsi manusia Indonesia melalui peningkatan produksi pangan jang mengandung protein chewani  dan  nabati, terutama ikan dan katjang-katjangan. Akibat positif dari peningkatan produksi  beras ialah bahwa lambat-laun  tidak  perlu  lagi  mengimpor  pangan,   sehingga dengan demikian devisa jang langka itu dapat digunakan untuk mengimpor barang modal dan bahan baku jang diperlukan untukpembangunan sektor-sektor lain, terutama sektor indus-tri. Selandjutnja, peningkatan produksi pangan akan meningkat-kan pendapatan petani-petani pangan. Ini akan meningkatkan taraf penghidupan para petani jang telah sekian lamanja hidup dalam serba kesengsaraan dan kemiskinan.”[6]

Pada masa pemerintahan Pak Harto juga dikembangkan institusi-institusi yang mendukung pertanian, mulai dari koperasi yang melayani kebutuhan pokok petani dalam usaha agribisnisnya, Bulog yang menampung hasil dari petani, institusi penelitian seperti BPTP yang berkembang untuk menghasilkan inovasi untuk pengembangan pertanian yang pada masa Soeharto salah satu produknya yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul Tahan Wereng (VUTW), hingga berbagai bentuk kerjasama antar lembaga yang terkait penyediaan sarana prasaran yang mendukung pertanian seperti irigasi dan pembangunan pabrik pupuk.
Penyediaan sarana penunjang, seperti pupuk, diamankan dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Para petani dimodali dengan kemudahan memperoleh kredit bank. Pemasaran hasil panen mereka dijamin dengan kebijakan harga dasar dan pengadaan pangan.[7] Diperkenalkan juga manajemen usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama beras. Saat itu, budi daya padi di Indonesia adalah yang terbaik di Asia. Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk dibangun. Petro Kimia Gresik di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.[8]
Teknologi pertanian diperkenalkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan penyuluhan. Pemerintah menempatkan para penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok petani. Selain program penyuluhan, kelompencapir (kelompok pendengar, pembaca, pemirsa), juga menjadi salah satu program pertanian Orde Baru yang khas, karena menyuguhkan temu wicara langsung antara petani, nelayan, dan peternak dengan menteri atau Presiden Soeharto langsung. Kelompencapir juga menyelenggarakan kompetisi cerdas cermat[9] pertanian yang diikuti oleh para petani berprestasi dari berbagai daerah.


Presiden Soeharto berdialog dengan petani teladan di Istana Negara

Swasembada Beras

Program kerja pertanian Pak Harto berbuah prestasi. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraria pengimpor beras terbesar pada tahun 1966, mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri melalui swasembada beras pada tahun 1984. Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras, sementara pada 1984, bisa mencapai 25,8 juta ton beras.[10]

Pak Harto sedang memeriksa persediaan beras di gudang Bulog



Kesuksesan ini mengantarkan Pak Harto diundang berpidato di depan Konferensi ke-23 FAO (Food and Agriculture Organization) /Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia), di Roma, Italia, 14 November 1985.

Pak Harto berpidato di FAO, Roma, Italia, 1985




Pernyataan penting Pak Harto yang ditujukan kepada negara-negara maju anggota FAO bahwa selain bantuan pangan, yang paling penting adalah kelancaran ekspor komoditi pertanian dari negara-negara yang sedang membangun ke negara-negara industri maju. Ekspor pertanian bukan semata-mata untuk meningkatkan devisa, tetapi lebih dari itu, untuk memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan petani.[11]


Pada kesempatan itu juga memperkenalkan seorang petani andalan asal Tajur, Bogor yang ikut dalam rombongannya dan menyerahkan bantuan satu juta ton gabah— sumbangan dari para petani Indonesia—untuk disampaikan kepada rakyat di negara-negara Afrika yang menderita kelaparan. “Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil maka itu merupakan ‘kerja raksasa’ dari seluruh bangsa Indonesia,” kata Presiden Soeharto di dalam pidatonya di depan wakil-wakil dari 165 negara anggota FAO.[12]


Pak Harto meninjau sistem penyimpanan beras kedap udara
untuk masa jangka panjang.



Atas keberhasilan swasembada pangan ini, Juli 1986, Direktur Jenderal FAO, Eddouard Saouma menyebut Soeharto sebagai lambang perkembangan pertanian Internasional, tiba di Jakarta untuk menyerahkan penghargaan berupa medali emas FAO. Medali yang terdiri dari dua jenis, yakni yang berukuran kecil dan satunya lebih besar, berukiran timbul bergambar Soeharto dengan tulisan "President Soeharto Indonesia” dan sisi lain bergambar seorang petani yang sedang menanam padi, bertuliskan “From Rice Imoprter to Self-Sufficiency”.

Pada tahap pertama, medali itu dicetak dalam jumlah cukup banyak yang terbuat dari emas, perak dan perunggu. Pencetakan berikutnya untuk dijual yang hasilnya akan dipergunakan untuk membantu negara-negara yang sedang kelaparan, selain juga untuk aktivitas FAO dan negara-negara yang membutuhkan bantuan FAO.[13] Prestasi ini, sampai sekarang, kerap kali masih dijadikan tolak ukur keberhasilan pemerintah di bidang pertanian.


Menerima koin penghargaan dari Dirjen FAO Edouard Saouma

Meski berkilauan prestasi dan bertaburan pujian, tentu swasembada beras pada masa Pak Harto tidak lepas dari kritik. Revolusi pertanian Soeharto digerakkan dengan sistem komando dan menerapkan diskriminasi dan intimidasi. Diskriminasi meminggirkan padi tradisional dan menggantinya dengan jenis yang kurang gurih pulen, tapi bulirnya lebih berlimpah dan waktu tanam lebih pendek. Maka dari itu, dalam setahun bisa panen dua hingga tiga kali. Mereka yang menolak ikut Inmas dan Bimas (juga program KB) bisa kena intimidasi aparat dengan tuduhan “tidak bersih lingkungan”. Menurut para ahli, kebijakan diskriminatifnya yang sengaja mengabaikan diversifikasi juga menjadi andil keterpurukan ketahanan pangan hingga saat ini. Soeharto mengonstruksikan beras sebagai budaya kelas satu, dan menempatkan bahan pangan lainnya seperti jagung, ubi, ketela, sagu, sebagai inferior.[14]
Namun bagaimana pun, tidak bisa lekang dari potret ingatan kita betapa riang dan berseri-serinya wajah Pak Harto manakala berada di tengah-tengah petani dan masyarakat desa. Di situ ia begitu manusiawi, jauh dari gambaran seorang diktator. Kesan yang juga masih melekat adalah kepemimpinannya yang tidak bimbang dan ragu. Sekali diberi wewenang memimpin, ia menjalankannya dengan lugas dan tuntas. Dengan pengecualian dominasi berasnya dan KKN anak-anaknya di sektor pertanian, kita pantas mengagumi Pak Harto sebagai jenderal yang berhasil membangun ketahanan pangan, yang menjalankan kepemimpinannya di sektor itu sama efektifnya seperti ia memulihkan kestabilan politik dan keamanan.***

Pak Harto saat panen pertama hasil pertanian tanah kering (Gogorancah)
di Nusa Tenggara Barat.


[2] “Mentan: Saya Berutang Budi”, Suara Pembaruan, 28 Januari 2008.
[3] “Soeharto Berjasa Besar terhadap Pembangunan Ekonomi?”, Kompas, 9 Juni 2011
[4] Majalah Padi, edisi 13 Tahun 2008
[5] Fadel Muhammad, “Nasionalisme Pangan Pak Harto”, Seputar Indonesia 30 Januari 2008.
[6] Rentjana Pembangunan Lima Tahun 1969/70 - 1973/74
[8] Fadel Muhammad, “Tantangan Pangan ke Depan”, Suara Karya 13 April 2011.
[10] Majalah Padi, edisi 13 Tahun 2008
[14] Daud Sinjal, “Pak Harto dan Pertanian Padi”, Agrina 1 Februari 2008.

Senin, 03 Oktober 2011

Pancasila dan Diplomasi RI

dimuat di Republika, 3 Oktober 2011

Sejarah membuktikan, Pancasila tidak hanya menjaga bangsa Indonesia dari keruntuhan, tetapi juga telah mengantarkan diplomasi Indonesia mencapai tempat yang terhormat. Dengan menjadikan Pancasila sebagai inspirasi sejati dan modalitas utama diplomasi, bangsa Indonesia dengan bangga mengenalkan Pancasila kepada dunia, bahkan menawarkan Pancasila sebagai ideologi alternatif dunia.

Pancasila di PBB
Kemelut pertarungan ideologi kapitalisme dan komunisme yang sangat sengit pasca Perang Dunia II, dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menawarkan Pancasila sebagai ideologi alternatif sehingga dunia terhindar dari konflik ideologi dan fokus pada agenda-agenda perdamaian, dekolonialisasi, pembangunan, dan perlucutan senjata. Pada pidato pertama kali Indonesia di Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-6 November 1951, Menlu Ahmad Subarjo menggunakan kesempatan bersejarah itu untuk mengenalkan Pancasila sebagai pedoman filosofi kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan nasional Indonesia. Penjelasan tentang Pancasila kembali ditegaskan oleh Menlu Sunario pada Sidang Umum PBB ke-9 pada September 1954 dengan menawarkan Pancasila sebagai solusi damai bagi konflik ideologi di antara bangsa-bangsa di era Perang Dingin.


Garuda Pancasila
Keberanian Indonesia dalam mengkampanyekan Pancasila terus disampaikan oleh Presiden Sukarno di muka SMU PBB ke-15 pada 30 September 1960 yang berjudul "To Build the World Anew". Dalam pidato legendaris itu, Bung Karno menyangkal pendapat seorang filsuf Inggris, Bertrand Russel yang membagi dunia ke dalam dua poros ideologi: liberalisme vs komunisme.
Selanjutnya Bung Karno katakan, Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu, tidak mengikuti konsep liberal ataupun komunis. ”Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri, tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok.” Lantas ia simpulkan, ”Sesuatu itu kami namakan Pancasila.”


Presiden Soekarno menyampaikan pidato legendaris di muka SMU PBB
berjudul "To Build the World Anew" pada 30 September 1960


Satu persatu Bung Karno menguraikan sila Pancasila dengan kepercayaan diri yang tinggi. Tampak di sana, betapapun rumusan Pancasila itu digali dari bumi Indonesia, kandungan nilainya bisa diterima secara universal. Bahkan lebih jauh lagi, Bung Karno menyarankan agar Pancasila diadopsi ke dalam Deklarasi PBB untuk menguatkan organisasi PBB dan menghindari konflik ideologi yang menyita energi.
Pada SMU PBB ke-24 1 Oktober 1969, Menlu Adam Malik berpidato bertepatan dengan Hari Kesaktian Pancasila dan kembali menegaskan keunggulan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan ideologi alternatif dunia.

Pancasila mewarnai Dunia
Pancasila yang menginspirasi politik luar negeri bebas aktif sangat berperan melahirkan Konferensi Asia-Afrika (KAA), yang kemudian mendorong lahirnya Gerakan Non-Blok (GNB). KAA yang diselenggarakan di Bandung pada 1955 berhasil melahirkan Dasa Sila Bandung sebagai prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan hubungan dan kerja sama antara bangsa-bangsa Asia Afrika. Sebanyak 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia pada saat itu mengirimkan wakilnya. KAA dicatat dalam sejarah sebagai konferensi bangsa-bangsa kulit berwarna pertama hingga muncul istilah “Bandung adalah ibu kota Asia-Afrika.” Kesuksesan KAA tidak hanya tampak pada masa itu, tetapi juga terlihat pada masa sesudahnya, sehingga jiwa dan semangat Pancasila menjadi salah satu faktor penting yang menentukan jalannya sejarah dunia, termasuk pendirian GNB.


Presiden Soekarno membuka Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, 18 April 1955


Bagi Indonesia, GNB yang bertujuan utama memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri dan tidak memihak pada pakta militer multilateral, merupakan manifestasi dari nilai-nilai Pancasila. Konferensi Tingkat Menteri GNB ke-16 di Bali Mei 2011 dihadiri oleh 118 perwakilan negara atau merepresentasikan 55 persen penduduk dunia dan hampir 2/3 keangotaan PBB. Runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 dan bubarnya kekuatan militer-politik komunisme di Eropa Timur, menandakan bahwa Perang Dingin sebenarnya tidak dimenangkan oleh Blok Barat, tetapi oleh Gerakan Non-Blok yang diinspirasi oleh Pancasila.


KTT X GNB diselenggarakan di Jakarta pada 1-6 September 1992,
dimana Presiden Soeharto menjadi ketua GNB untuk periode 1992-1995

Didorong oleh kesuksesan transformasi Indonesia dari sistem otoritarian menuju full-pledged democracy, Indonesia menyelenggarakan Bali Democracy Forum (BDF). Sejak diadakan pada tahun 2008, BDF senantiasa konsisten mempromosikan platform dimana antar pemerintah dapat berbagi pengalaman dan bertukar pikiran mengenai demokrasi. Selain itu, forum juga dimaksudkan untuk mendorong kerja sama antara negara dalam memajukan demokrasi di kawasan Asia. Diilhami dari karakter dan jiwa Pancasila, BDF tidak  terkonsentrasi pada satu sistem politik tertentu  akan tetapi semua sistem politik  yang mempunyai  keinginan untuk mengembangkan  demokrasi. Kehadiran dalam forum ini untuk berbagi pengalaman, pemikiran dan ide untuk kerja sama meningkatkan demokrasi, tidak peduli sistem politik apa yang dikembangkan, dari bagian Asia mana berasal atau budaya yang mempengaruhi. Tidak ada demokrasi yang sempurna, demokrasi tidak pernah berakhir dan masih  terus berkembang.


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pidato pada Pembukaan Bali Democracy Forum,
Bali, 10 Desember 2008
Penutup
Diplomasi Indonesia adalah diplomasi Pancasila. Berjuta permasalahan bangsa, seperti terorisme, yang tidak henti-henti menggelayuti bangsa ini, seharusnya membuat bangsa ini semakin kuat dan kukuh pada Pancasila. Meminjam istilah Yudi Latif (2011) jalan tengah Pancasila itu bukanlah pilihan oportunis yang timbul dari lemahnya kepercayaan diri, melainkan pancaran karakter keindonesiaan yang tercetak karena pengaruh eksosistem negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau. Sifat diplomasi Pancasila serupa sifat lautan yang menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Sifat lautan juga dalam keluasannya mampu menampung segala keragaman jenis dan ukuran. Sepanjang sejarah bangsa, Pancasila merupakan inspirasi sejati dan modalitas utama diplomasi Indonesia dari zaman ke zaman dan akan selalu begitu. Selamat Hari Kesaktian Pancasila!***


Monumen Kesaktian Pancasila, Jakarta

Jumat, 23 September 2011

Palestina di Tengah Arab Spring

dimuat di Republika, 23 September 2011


Negara Palestina merdeka yang telah lama dicita-citakan tidak lama lagi akan berdiri. Sidang Majelis Umum (SMU) PBB ke-66 pada 20 September 2011 akan menyelenggarakan pemungutan suara tentang pengakuan Palestina sebagai sebuah negara merdeka dan berdaulat dengan hak-hak penuh sebagai anggota PBB. Hampir bisa dipastikan setiap anggota PBB akan memberikan suara ya pada voting ini. Dalam peringatan 50 tahun Gerakan Non-Blok (GNB) di Bali (27/5) dan Beograde (6/9), sebanyak 118 negara anggota GNB menyatakan siap mendukung permohonan keanggotaan Palestina sebagai negara ke-194 dalam PBB sekaligus deklarasi kemerdekaan Palestina sesuai dengan perbatasan yang telah ditetapkan pada 4 Juni 1967 dan Baitul Maqdis (Yerusalem) Timur sebagai ibu kotanya. Meskipun menentang, Amerika Serikat tidak dapat membatalkan resolusi tersebut karena hak vetonya hanya berlaku untuk keputusan Dewan Keamanan PBB.
Di sisi lain, Israel saat ini tengah menghadapi kemelut diplomatik dan meningkatnya sentimen anti-Israel di kawasan, seperti pengusiran Dubes Israel oleh Turki (2/9) dan penyerangan Kedubes Israel di Kairo (9/9) yang berakhir dengan evakuasi Dubes dan para diplomat Israel di Mesir.


Penyerbuan Kedutaaan Besar Israel di Kairo


Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak (2/4) mengatakan “kami tengah menghadapi tsunami diplomasi-politik sementara mayoritas publik tidak sadar dan ini akan mencapai puncaknya pada September”. Pengamat politik Israel, Ari Shavit, membandingkan antara rencana voting pada 2011 ini dengan kekalahan militer Israel terburuk sepanjang sejarah pada 1973. Menurutnya “2011 akan menjadi 1973-nya Israel dalam bidang diplomasi dimana setiap pangkalan militer Israel di Tepi Barat akan dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan sebuah negara merdeka anggota PBB. Sebuah pengepungan diplomatik dari luar dan pemberontakan sipil dari dalam akan mencengkram Israel sekaligus (Haaretz, 31/3).
Jika voting SMU PBB membuahkan hasil positif, maka kini pertanyaannya adalah bagaimana nasib “bayi” negara Palestina sebagai negeri yang terbelah lahir di tengah-tengah gejolak Arab Spring?


Presiden Abbas menunjukan Proposal Palestina kepada SMU PBB
  
Negeri yang Terbelah
Berbicara tentang kemerdekaannya, maka kita juga mahfum bahwa secara geografis dan modalitas politik, Palestina merupakan negeri yang terbelah: Fatah di Tepi Barat dan Hamas di Gaza. Selain merepotkan dari aspek administrasi pemerintahan, keterbelahan ini berakar dari pertanyaan mendasar tentang identitas bangsa dan berdampak pada kelanggengan negara Palestina ini.


Wilayah Palestina dari masa ke masa



Fatah yang lahir dari ideologi Pan-Arabisme memandang Palestina sebagai negara-bangsa Arab bagian dari dunia Arab sekuler yang defensif dan telah menerima Israel sebagai sebuah negara serta menyesuaikan diri dengan realitas tersebut. Sedangkan Hamas merupakan kekuatan Islamis yang melihat Palestina merdeka sebagai bagian dari kebangkitan Islam di seluruh wilayah muslim serta dengan tegas menolak mengakui negara Israel.


Delegasi Palestina untuk PBB dipimpin Presiden Abbas


Dari segi dukungan internasional, Fatah menikmati dukungan jauh lebih besar dari Hamas. Eropa dan AS melihat Fatah sebagai kawan baik untuk kepentingan mereka dan kurang memusuhi Israel. Sementara, Saudi dan negara Arab lainnya telah kehilangan kepercayaan terhadap Fatah karena pengalaman masa lalu, tetapi pada akhirnya mereka lebih khawatir terhadap Islam radikal dan kebangkitan Iran sehingga tetap memerlukan dukungan AS. Sementara Hamas menggunakan realitas tersebut untuk menggambarkan Fatah sebagai pihak yang berkolusi dengan Israel di tengah konfrontasi rakyat Palestina dengan Israel. Di sisi lain, Hamas memiliki dukungan dari kelompok Islamis di kawasan, termasuk Iran dan Turki. Namun lebih dari apapun, Hamas harus mengakhiri permusuhannya dengan Mesir yang pernah memblokade Gaza melalui perjanjian dengan Israel.
Pertemuan rekonsiliasi antara Fatah dan Hamas di Kairo pada Mei 2011 adalah oase di tengah gurun konflik berkepanjangan antara kedua faksi Palestina. Akan tetapi, pengalaman menunjukan bahwa kedua belah faksi ini dengan cepat kembali berkonflik setelah berdamai, karena keterbelahan antara keduanya yang teramat dalam.

Abbas (ki) dan Haniyeh (ka) saat rekonsiliasi Fatah-Hamas di Kairo, Mei 2011


Arab Spring dan “bayi” Palestina
            “Bayi” Palestina yang telah lama diidam-idamkan oleh bangsa-bangsa Arab, kini justru terlahir tanpa kehadiran penuh saudara-saudara tuanya. Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang tengah dilanda Arab Spring memaksa bangsa-bangsa Arab disibukan dengan urusan internal negaranya masing-masing dan defensif terhadap perubahan, apalagi terhadap kemunculan rezim baru di kawasan.
Mesir sebagai kekuatan terkemuka bangsa Arab tengah dilanda pergolakan internal pasca Mubarak. Bercermin dari pengalaman buruk dengan rezim Mubarak, Hamas mengharapkan perubahan sejati rezim Mesir, tetapi bukan rezim sebuah demokrasi liberal yang diharapkan, melainkan kekuatan Islam yang mendukung Hamas, yakni Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi, pada saat ini, hal tersebut hampir mustahil terjadi, mengingat penguasa militer Mesir mempertahankan tingkat kontrol yang luar biasa terhadap kelompok oposisi yang terbagi atas unsur sekuler dan agama. Sementara unsur agama tersebut juga terbagi akibat rezim Mesir yang telah membuat mereka berkonflik sesamanya selama bertahun-tahun. Perubahan di Mesir hampir tidak mungkin menguntungkan Hamas. Oleh karenanya, Hamas perlu untuk mendefinisikan situasi politik di Mesir untuk mengubah musuh menjadi teman yang kuat.


Demonstrasi di Lapangan Tahrir, Kairo


Sementara itu, rezim Suriah kini sedang berjuang untuk hidup melawan penduduknya yang mayoritas Sunni. Iran dan Hizbullah di Lebanon merupakan pihak yang paling khawatir dengan jatuhnya rezim Suriah. Suriah merupakan sekutu strategis bagi Iran untuk meningkatkan pengaruhnya di Mediterania. Kejatuhan rezim Suriah akan menjadi kemunduran bagi Iran pada saat Teheran sedang berusaha meningkatkan posisinya berkaitan dengan penarikan tentara AS dari Irak. Kejatuhan Suriah akan meninggalkan Hizbullah yang sangat tergantung pada rezim Suriah dan sebagian besar kebijakan Suriah di Lebanon bergantung pada Iran. Iran tanpa Suriah akan sangat jauh dari Hizbullah. Sebagaimana Teheran, Hizbullah juga ingin rezim Suriah bertahan.
Konfrontasi militer antara koalisi Hamas dan Hizbullah yang didukung oleh Suriah melawan Israel pada 2006 dipandang sebagai kemenangan bagi Damaskus, karena Suriah menunjukkan kepada dunia Islam bahwa ia adalah satu-satunya negara-bangsa yang mendukung perlawanan efektif ke Israel. Hal ini juga menunjukkan kepada Israel dan AS bahwa Suriah bisa mengendalikan Hizbullah, sehingga memaksa Suriah keluar dari Lebanon adalah kesalahan besar bagi Israel dan AS. Sementara, bagi Saudi, kepentingannya adalah melihat rezim Suriah yang didukung Syiah Iran runtuh dan tidak ingin rezim radikal muncul di Mesir. Di atas semua itu, Saudi tidak ingin posisi Iran menguat di kawasan.


Pemimpin Hizbullah Nasrullah (ki) dan Presiden Iran Ahmadinejad (ka)


Arab Spring yang tengah melanda Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini dapat dipahami sebagai pembusukan rezim yang berkuasa pada 1960-an dan 1970-an yang diwakili oleh Mubarak (Mesir), Qadafi (Libya), dan Assad (Suriah) sebagai representasi dari visi tua Pan-Arabisme. Sayangnya, Fatah merupakan bagian dari kelompok ini. Sehingga ketika kita berbicara tentang gerakan nasionalisme Palestina sebagai gerakan sekuler, maka secara tidak langsung sedang mengisolasi Palestina dari tren yang lebih luas di wilayah tersebut; dimana meningkatnya gejala religiositas-politik dan secara bersamaan tumbuhnya mistrust terhadap rezim penguasa sekuler (Friedman, 2011). Pasca voting SMU PBB, Otorita Palestina yang didominasi Fatah akan mengklaim kekuasaan di negara Palestina merdeka, tetapi Hamas, pada sisi lain, merupakan perwakilan yang sangat populer saat ini di dunia Islam dan memperoleh dukungan signifikan pada tingkat akar rumput.
Hingga kini, perdebatan tentang siapa yang harus memimpin bangsa Palestina masing berlangsung. Namun, siapa pun akhirnya yang mengontrol negara dan mendefinisikan Palestina, deklarasi kemerdekaan Palestina pada SMU PBB justru akan mendorong krisis Palestina semakin dalam, jika konflik internal tidak segera diselesaikan.

Penutup
Kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara tidak akan sama lagi setelah kemerdekaan Palestina. Resolusi PBB tentang kemerdekaan Palestina tersebut jelas memiliki konsekuensi dan implikasi sangat signifikan yang tidak dapat ditangani dengan cara-cara diplomatik biasa, baik bagi bangsa Palestina maupun bagi kawasan.
Implikasi paling nyata dari resolusi PBB ini adalah ujian bagi kemandirian “bayi” Palestina sebagai negeri yang terbelah secara geo-politik dalam menghadapi reaksi Israel yang keras kepala, sementara gejolak di seluruh Timur Tengah yang tidak terduga membuat negara-negara Arab sibuk menghadapi konflik internal sehingga tidak akan mudah menghadapi rezim yang baru terbentuk ini. Dengan kata lain, Palestina akan merdeka tanpa kehadiran penuh bangsa-bangsa Arab atau bisa jadi kemerdekaan Palestina justru dapat mendorong eskalasi krisis kawasan yang tengah memanas akibat Arab Spring. Wallahu ‘alam***


Palestina Merdeka!