Rabu, 12 Agustus 2009

Terorisme Belum Mati


dimuat di Radar Banten, 12 Agustus 2009

                      
            Tidak sampai satu bulan setelah peledakan Bom di Mega Kuningan (17/7), Kepolisian Republik Indonesia (Polri) berhasil meringkus jaringan teroris pimpinan Noordin M. Top di Bekasi Jawa Barat dan Temanggung Jawa Tengah (8/8). Noordin (ahli rekrutmen) bersama Azahari (ahli pembuat bom) merupakan gembong terorisme berkebangsaan Malaysia yang telah lebih dari enam tahun buron menebar teror di Indonesia. Tahun 2005, Azahari telah dinyatakan tewas dalam penyergapan rumah di Batu Jawa Timur (11/11/).
Kini jasad hasil penyergapan 18 jam di Temanggung sedang diselidiki Polri untuk memastikan identitasnya, apakah ia adalah Noordin atau bukan. Jika jasad tersebut adalah Noordin berarti gembong terorisme yang paling dicari di Republik Indonesia tidak lagi menjadi ancaman. Akan tetapi, apakah aksi terorisme serta merta berakhir dengan tewasnya Noordin? Apakah pemburuan terorisme seperti yang dilakukan oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri efektif untuk membasmi terorisme di Tanah Air?

Azahari Husin (ki), Noordin M. Top (ka)


Terorisme
Terorisme berbeda dengan tindakan kejahatan dan kekerasan biasa, karena memiliki karakteristik khusus. Pertama, terorisme adalah kejahatan berideologi. Kekuatan utama terorisme bukan terletak pada senjata, kemampuan menggunakan senjata, jumlah anggota, jaringan yang luas, atau kekuatan finansial yang dimilikinya, tetapi pada ideologi. Terorisme hanya dikerjakan oleh sedikit orang dengan keyakinan yang sangat kuat atas aksi mereka dan mengorbankan apa saja untuk sesuatu yang diyakininya, termasuk nyawa mereka sendiri.
Kedua, terorisme memiliki tujuan yang berbeda dengan kejahatan biasa. Menurut Leonard Weinberg (Global Terrorism: A Beginner Guide) tujuan dari terorisme adalah tekanan psikologis yang dirasakan oleh semua orang, berbeda dengan kejahatan biasa yang memiliki target kekerasan fisik yang spesifik.
Ketiga, terorisme memiliki pesan dan tujuan politik. Louise Richardson (What Terrorist Want: Understanding the Enemy Containing the Threat) mengatakan terorisme adalah kekerasan yang sengaja dilakukan terhadap warga sipil untuk mencapai tujuan politik. Dalam perspektif ini, kekerasan bisa diartikan sebagai media komunikasi simbolik. Jika komunikasi simbolik tersebut diamini oleh masyarakat dan diabaikan oleh pemerintah, maka benih-benih terorisme akan terus bermekaran.
Keempat, inti permasalahan terorisme bukan berada di ranah hukum. Penindakan hukum represif tidak akan menyentuh akar gerakan terorisme, tetapi hanya menyentuh akibat, bukan penyebab dari aksi teror. Akar permasalahan yang sesungguhnya berada di luar aspek hukum dan terkait dengan aspek keadilan, ekonomi, dan politik.

Belum mati
Melihat karakteristik khusus tersebut, terorisme tidak ikut tewas bersama tewasnya Noordin. Jaringan yang selama ini dibina oleh Noordin tetap mengakar dan hidup di tengah-tengah masyarkaat. Polri telah berhasil menangkap banyak kaum radikal dan melemahkan jaringan yang selama ini banyak disebut-sebut sebagai penyokong aksi terorisme di kawasan Asia Tenggara. Namun, tenaga-tenaga muda binaan Noordin terus bermunculan, di antaranya anak-anak yang baru lulus SMA. Semangat dan keyakinan Noordin sudah tertanam pada pengikutnya.
Berdasarkan hasil penyelidikan polisi, jaringan Noordin kembali memanfaatkan mantan narapidana terorisme yang masih memendam semangat dan keyakinan ideologi mereka. Hal itu terindikasi dari keterlibatan Air Setiyawan, yang juga pernah ditangkap tahun 2004 terkait pengeboman Kedutaan Besar Australia. Selain itu, kelihaian Noordin untuk merekrut anggota baru juga telah terwariskan ke pengikutnya.
Terorisme adalah fenomena gunung es. Penindakan hukum represif hanya menyentuh pucuk terorisme, tetapi akar masalah masih belum tersentuh. Ketika terorisme dipandang hanya sebagai kejahatan biasa dan dipahami dengan logika keamanan semata, maka makna terorisme telah tereduksi. Jika upaya pembasmian hanya berfokus pada pemburuan teroris tetapi tidak menyentuh akar persoalan yang sebenarnya, dikhawatirkan aksi terorisme bukan semakin berkurang justru semakin marak dan mencari model-model serangan baru yang lebih berbahaya dari aksi-aksi sebelumnya. Pembasmian terorisme memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif dan mendalam dari sekedar pendekatan represif ala Densus 88.

Tanggung jawab masyarakat
Mantan anggota JI, Al Chaidar (8/8) mengatakan habitat yang paling nyaman bagi Noordin dan penyemaian benih terorisme di Indonesia meliputi Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten. Hal tersebut dipertegas oleh Kepala Desk Koordinasi Pembasmian Teroris Menko Polhukkam Ansyaad Mbai (28/7) mengatakan sebagian kelompok masyarakat kita yang sangat permisif terhadap para teroris dan ideologi mereka. Akibatnya para teroris itu bisa mendapatkan tempat berlindung yang nyaman. Noordin yang buron bisa menikah dengan wanita Indonesia. Perlindungan yang paling aman adalah keluarga.
Sikap permisif tersebut tidak terjadi di negara lain, seperti Malaysia tempat Azahari dan Noordin berasal. Ketika Azahari ditetapkan sebagai buronan, keluarganya tidak diterima lingkungan setempat sehingga harus hidup berpindah-pindah. Di Arab Saudi, pemerintah, ulama, aparat keamanan, pakar dan masyarakat merangkul pelaku teror untuk hidup benar, menjauhi militansi dengan memperhatikan penghidupannya dan meyakinkan bahwa visi keagamaan mereka keliru, bahwa agama dan jihad tak ada kaitannya dengan kekerasan terorisme, termasuk bom bunuh diri.
Masyarakat paling bertanggung jawab membasmi benih dan kultur ekstrimisme di lingkungannya. Ulama, tokoh masyarakat, dan masyarakat Banten yang dikenal religius wajib memberikan penyadaran kepada anggota masyarakatnya terutama dari kalangan pemuda tentang ajaran Islam yang lurus, seimbang, dan menjadi rahmat bagi semua alam semesta, tanpa terkecuali.
Akhirnya, terorisme belum mati dengan tewasnya Noordin. Pembasmian terorisme dengan pendekatan represif perlu dibarengi dengan pendekatan preventif yang persuasif dan akomodatif terhadap kepentingan berbagai kelompok yang merasa termarginalisasikan berbagai kebijakan selama ini. Termasuk penerapan kebijakan yang merangkul dan rekonsiliatif antara pemerintah dengan masyarakat dan diantara masyarakat itu sendiri. Pendekantan preventif dan rekonsiliasi seperti itu akan lebih efektif menyentuh inti dari masalah terorisme dibandingkan penerapan kebijakan represif dan konfrontatif. Dengan cara itu, dalam jangka panjang, gerakan terorisme di Tanah Air akan dapat diselesaikan. Semoga.***