Sampul buku "Relawan Dunia" |
Sebetulnya saat pertama kali
akan menulis tentang relawan, saya agak ragu dan bertanya-tanya. Mengapa dan
apa pentingnya tulisan ini dibaca orang? Kegiatan saya dan mungkin teman-teman
relawan dari Rumah Dunia (d.h
Pustakaloka Rumah Dunia) adalah kisah pribadi yang juga mencari kepuasan
pribadi. Bagi saya, awalnya
tidak terpikir untuk menggapai cita-cita besar, seperti slogan Rumah Dunia:
“mencerdaskan dan membentuk generasi baru.” Akan tetapi, mungkin kisah seperti
ini—yang pribadi—bisa menyuarakan kepada para relawan apapun dan di mana pun,
bahwa: kita tidak sendiri!
* * *
Sore itu langit sangat gelap dan
hujan turun membasahi bumi. Di benak saya hanya terpikir, semoga motor vespa
putih saya tidak mogok di jalan yang
membelah pekuburan dan sawah ini. Sementara Endang Rukmana yang
membonceng di belakang tidak bisa diandalkan urusan mesin.
“Lanjut ga nih, Ndang?” saya menoleh ke belakang sambil terus mewaspadai
jalan berlubang yang mulai tertutup genangan air hujan.
“Tanggung. Terus aja,” Endang
menjawab sambil menyeka air hujan di wajahnya. “Kayaknya sebentar lagi.” Di kanan-kiri kami pekuburan dan di
depan kami sawah membentang, tidak ada tanda-tanda yang disebut Rumah Dunia.
Endang memang tidak cocok menjadi peramal, pikir saya. Bagaimana dia bisa tahu
Rumah Dunia yang kami tuju sebentar lagi, padahal dia sendiri sering hilang
arah, gerutuk saya dalam hati.
Hujan menderas. Sementara, saya dan Endang nekad
berbasah-basahan menerobos hujan deras untuk “mencari” Rumah Dunia. Selain karena belum tahu lokasinya, kami “mencari” Rumah Dunia karena semangat muda kami yang meletup-letup, rasa
penasaran, dan kehausan akan komunitas kepenulisan yang diasuh oleh penulis
ternama itu. Kami memang belum tahu, apakah Rumah Dunia itu komunitas yang
menyenangkan atau tidak. Namun, laiknya anak muda lain di Serang yang heboh
kedatangan artis atau band musik dari
Jakarta, seperti itu pula energi yang menggerakan kami “mencari” Rumah Dunia di
kota Serang yang sepi dari komunitas-komunitas serupa.
Berbekal peta dari Toto ST Radik kami meraba-raba jalan ke Rumah Dunia. Sebelum bergabung dengan Rumah Dunia, setiap
Minggu sore saya dan belasan
teman dari berbagai sekolah di Serang belajar sastra dibawah binaan Toto ST
Radik. Mas Toto, begitu biasa kami memanggilnya, mengasuh Sanggar Sastra Siswa
Indonesia (SSSI) yang didanai oleh Majalah Sastra Horison dan Ford Foundation.
Memodifikasi istilah “Revolusi Berhenti di Hari Minggu”-nya Prof. Emil Salim,
justru di SSSI kami memulai “revolusi di hari Minggu”. Revolusi ini berarti
perubahan mendasar dalam diri kami melalui sastra yang memanusiakan dan
memberbudayakan manusia. Nah, dari
Mas Toto pula kami mengenal Gol A Gong (d.h Gola Gong) yang tengah merintis (Pustakaloka) Rumah Dunia.
Setelah hujan berangsur mereda
dan kami bertanya
kesana-kemari; ternyata belum banyak orang sekitar
yang mengenal Pustakaloka Rumah Dunia… akhirnya
kami sampai juga! Di pintu belakang rumah Gol A Gong, kami diterima oleh Tias Tatanka. Gol
A Gong masih dalam perjalanan pulang dari Jakarta, tutur Tias sambil melirik air hujan yang menetes dari ujung celana kami. Kami
mengenalkan diri, mengutarakan maksud kedatangan, sambil menahan gemigil.
Mungkin saat itu Tias keheranan melihat dua anak manusia basah kuyup yang
kedinginan, mengetuk pintu rumahnya,
dan membasahi teras rumahnya. Setelah saya menyerahkan buku novel sebagai
syarat pendaftaran Kelas Menulis Rumah Dunia angkatan pertama (untung tidak
ikut kebasahan), kami pamit dan kembali menggelindingkan roda vespa tua saya.
Sepanjang jalan saya dan Endang
tersenyum sambil berceloteh tentang perjalanan di tengah hujan yang agak heroik
itu, hehe. Dalam benak kami saat itu, menjadi bagian Rumah Dunia akan
mengakselerasi pencapaian dan membuka lebih banyak peluang. Belum terpikir
untuk mencerdaskan dan membentuk generasi baru, karena di pikiran kami,
mungkin, kami adalah generasi baru yang perlu dicerdaskan itu. Kelak kami baru menyadari bahwa Toto ST Radik dan
Gol A Gong adalah kombinasi guru yang sangat inspiratif; Toto menusuk lembut,
sementara Gong menggebrak keras. Dalam perjalanan pulang, angin dingin mengibas-ngibas baju kami
yang basah kuyup, tapi senyum kami sangat
lebar.
Gerbang Rumah Dunia, Serang |
* * *
Sebenarnya saat pertama kali
datang ke Rumah Dunia, saya tidak berniat menjadi relawan, tetapi mendaftar
sebagai peserta angkatan pertama Kelas Menulis Rumah Dunia. Sebuah program yang
sangat menarik. Bagaimana tidak? Selain mendapatkan pengetahuan tentang
kepenulisan fiksi, non-fiksi, jurnalistik, dan skenario dari pelbagai ahli;
kami pun selalu disuguhi aneka gogodoh
(gorengan), seperti tahu isi, pisang goreng, bakwan, ubi goreng; juga minuman
teh, kopi, bahkan kadang-kadang mie ayam; gratis pula!
Satu hal yang belum berubah dan sangat khas dari Rumah Dunia, sejak saya bergabung di Kelas Menulis
hingga saat ini, adalah momen-momen
perjalanan pulang dari Rumah Dunia. Seiring dengan langkah-langkah
menjauhi Rumah Dunia, ada monolog yang menggelayut di benak saya:
sudah menulis apa pekan ini? Sudah dimuat
di mana tulisanmu? Apa pencapaianmu pekan ini? Beruntung saya menemukan Rumah Dunia, sebuah
tempat dengan atmosfer penuh energi positif yang membuat saya terpacu
berkarya lebih cepat dan
seolah memiliki “utang” untuk terus berprogres.
Dipecut cambuk Rumah Dunia itu, saya dan Endang telah bersepakat untuk
“berkejaran” dalam berkarya. Berawal dari saling memberikan informasi perihal
lomba penulisan, lalu bersaing dalam lomba yang sama, kemudian bergantian
merebut juara teratas. Kami juga bersaing menulis di koran lokal hingga pada
medio 2004 memberanikan menerbitkan buku kumpulan artikel: Dari Donat Sampai Presiden. Berikut penuturan Firman Venayaksa
tentang kami:
Sebentar lagi Aad (Adkhilni) dan Endang akan meluncurkan
buku mereka berupa esai-esai yang pernah dimuat di koran lokal. Berbahagialah
mereka, soalnya tak semua siswa SMU bisa berbuat seperti mereka. Saya dan Ibnu (Ibnu Adam Avicienna)—meminjam motor Golagong—pergi ke rumah mereka. Pertama kami pergi ke
rumah Aad. Di tempatnya, buku-buku menjadi pajangan yang cukup menarik,
berderet-deret, banyak sekali. Rupanya budaya literat sudah menjalar dalam
keluarganya. Lantas kami berdiskusi selama satu jam. Dari lontaran
pemikirannya, suatu saat Aad akan menjadi pegawai negeri. Saya tahu itu (karena
tak ada lagi yang harus ia pilih). Ketika kami menuju rumah Endang, sangat
berbeda. Endang bukan berasal dari keluarga literat, bukan dari keluarga mampu.
Namun gejolak jiwanya yang akan membuktikan bahwa ia mampu mengubah
kehidupannya hari ini. Endang punya dua pilihan: pertama, ia akan menjadi orang
terkenal. Kedua, ia akan menjadi orang gila. Sedangkan alternatif dari dua
pilihan itu adalah ia bisa menjadi orang terkenal karena kegilaannya! Kita
lihat nanti. (Firman Venayaksa “Banten Terjangkit Virus Sastra”)
Bersekolah, menulis, dan menjadi relawan, kami lakukan bersamaan dan
mengalir begitu saja. Saya masih ingat, pada suatu sore, saat proses Kelas
Menulis angkatan pertama menggelinding, Gol A Gong mengumpulkan kami dan
memberitahu, “kalian angkatan pertama ini adalah pilot project...” ujar Gol A Gong sambil mencomot tahu isi dan
menguyahnya cepat-cepat. Wuih.
Istilahnya keren sekali, pikir saya saat itu.
“Dan kalian jangan hanya sebagai penikmat saja, tapi kalian harus menjadi
bagian dari orang yang membuat kue di Rumah Dunia ini...” lanjut Gol A Gong,
sementara mulutnya masih penuh menguyah gorengan yang berminyak. “...yaitu
dengan menjadi volunteer.”
Saya bengong. Pisang goreng yang saya comot itu terhenti di depan mulut
saya. Apa itu volunteer? Saya yang
masih berseragam putih abu-abu baru kali itu mendengar kata volunteer. Bagi saya kata volunteer terdengar keren, seperti kata
avonturir yang banyak saya temukan di novel Balada
Si Roy. Akan tetapi, mungkin karena terdengar terlalu asing dan banyak
relawan diterjunkan untuk menolong korban tsunami di Aceh, istilah volunteer Rumah Dunia lambat laun
berganti menjadi relawan.
Tidak terasa Rumah Dunia sudah
menjadi bagian dari akhir pekan saya selama beberapa tahun terakhir ini.
Dibandingkan dengan relawan lainnya yang “nyantri” dan menjadi “kuncen” di
“pesantren” Rumah Dunia, saya hanya “relawan part-time”. Part-time
karena saya masih bersekolah di SMAN 1 Serang, sementara saat sore hari saya
juga mengelola SMP Terbuka di dekat tempat saya tinggal. Jadi praktis waktu
untuk Rumah Dunia hanya saat akhir pekan atau persiapan acara saja, seperti
menyetting lokasi Rumah Dunia untuk acara tertentu, menjadi seksi sibuk, dan
kembali merapikan lokasi setelah acara selesai.
Pernah suatu ketika, pada saat
saya ditunjuk menjadi Sekretaris “Gonjlengan Wacana” Klab Diskusi Rumah Dunia,
interaksi saya dengan Rumah Dunia semakin intens. Saya lebih sering bulak-balik
ke Ciloang dan membagikan surat undangan Klab Diskusi kepada para pembicara dan
peserta. Adalah Mahdi Duri, sebagai Ketua Klab Diskusi, yang mengenalkan dan
menemani saya berkeliling kota Serang untuk mengundang para pembicara dan
menyebarkan pamflet di sana-sini. Karena kesibukannya di Tangerang, maka waktu
untuk mengurusi Klab Diskusi pun menjadi sangat terbatas, sehingga kadang kami
mengurusi Klab Diskusi di saat jam istirahat sekolah saya. Ketika itu pun,
Rumah Dunia belum memiliki “motor dinas”, sehingga sering kali kami harus
merogoh kocek sendiri untuk meminyaki mesin Klab Diskusi. Kembali vespa putih
kesayangan saya menjadi andalan. Gelinding roda kecilnya membawa saya dan Mahdi
untuk mengenalkan Rumah Dunia ke khalayak dan mengundang orang datang ke
“Gonjlengan Wacana” Klab Diskusi Rumah Dunia. Baru saya sadari sekarang,
pengalaman saya mengurusi Klab Diskusi ini sangat membekali saya dalam
mengelola kepanitiaan dan organisasi yang lebih besar.
* * *
Seiring dengan waktu, Rumah
Dunia mulai melakukan ekspansi: pembebasan lahan, penyebaran virus literasi,
perluasan anggota, hingga para tokoh masyarakat, pendidikan, dan politik
merapat ke Rumah Dunia. Jika menyelenggarakan acara, Rumah Dunia selalu sesak
dihadiri orang dari berbagai daerah hingga di luar Banten. Hampir bisa dipastikan,
ketika para hadirin berkenalan dengan para relawan, beberapa dari mereka
menyampaikan kekagumannya pada Rumah Dunia. “Kalian sangat beruntung berada di
Rumah Dunia,” tutur salah seorang tamu dari Jakarta. “Rumah Dunia adalah gudang
harta karun!” imbuh tamu lainnya.
Ketika itu, saya yang masih
berseragam putih abu-abu, heran dengan respon luar biasa para tamu dari Jakarta
itu. Saya dan beberapa relawan lainnya, tidak melihat Rumah Dunia seistimewa
para tamu itu. Kelak, saat saya berada di luar Rumah Dunia, saya baru paham
dengan respon para tamu yang menurut kami berlebihan itu.
Saya pun melanjutkan kuliah ke Univ. Gadjah Mada; sekaligus “ditugaskan”
sebagai Ambassador Rumah Dunia di
Yogyakarta. Saya menerima “credential
letter” dari Presiden RD, saat itu masih Gol A Gong, untuk mengenalkan
Rumah Dunia, berbagi semangat, dan menyerap manfaat dari komunitas-komunitas
serupa di Yogya dan sekitarnya. Layaknya Duta Besar sungguhan, secara periodik
saya sering dimintai laporan dalam bentuk tulisan dan “dipanggil” untuk
menyampaikan paparan tentang “wilayah akreditasi”, seperti pada saat Pesta Anak
Rumah Dunia 2007.
Gerbang Universitas Gadjah Mada |
Sebelum menjadi Ambassador, pada Januari 2004 saya juga
berkesempatan untuk mengenalkan RD dan SSSI kepada para penulis di
Victoria-Australia. Ke sana saya membawa Jurnal Rumah Dunia, Jurnal Sastra
Ketika (SSSI), buku Dari Donat Sampai Presiden,
dan kumpulan cerpen Kacamata Sidik,
serta berdiskusi dengan beberapa penulis Negeri Kanguru tentang gerakan
literasi di masing-masing daerah.
Saat menjadi Ambassador Rumah Dunia di Yogya,
akhirnya saya paham maksud para tamu yang memuji-muji Rumah Dunia itu. Jelas
saja para relawan tidak bisa melihatnya. Karena yang sedang dibicarakan para
tamu itu adalah air dan para relawan adalah ikan yang hidup dalam kolam itu.
Tentu saja para relawan tidak bisa melihat dengan jelas dan merasakan sejuknya
air yang dicari banyak orang kecuali mereka keluar dari dalam kolam itu.
* * *
Menjadi relawan adalah sebuah
proses. Saya merasa tidak yang spesial menjadi siswa SMA sekaligus relawan
Rumah Dunia. Saya menjalani tugas-tugas kerelawanan seperti juga teman-teman
lain berkegiatan. Akan tetapi, justru hari-demi-hari yang saya lalui
sesungguhnya adalah proses pematangan jiwa kerelawanan (voluntarism) dalam pribadi saya.
Ketika gempa melanda Yogya pada 2006, secara naluriah saya terpanggil untuk
membantu menandu korban-korban gempa untuk mendapatkan perawatan medis di RSUP
Sardjito yang sudah sesak oleh korban gempa dari berbagai penjuru Yogya itu. Bahkan
saking sulitnya mencari tempat untuk membaringkan
korban di RS tersebut, suatu ketika, saya dan beberapa rekan relawan gempa baru
menyadari korban yang kami tandu itu sudah terbujur kaku meninggal dunia.
Gempa Yogya 2006 |
Pun juga dengan peristiwa Revolusi 25 Januari 2011 di Mesir. Kala itu saya
sedang bertugas (short posting) di
KBRI Cairo sebagai diplomat muda lulusan Sekolah Dinas Luar Negeri, Kementerian
Luar Negeri. Gelombang demonstrasi menuntut Presiden Mubarak untuk mundur
semakin berlarut-larut dan sudah merengut korban puluhan jiwa. Walau tidak ada
kewajiban, saya memutuskan untuk menginap di KBRI tanggal 31 Januari malam itu
dengan tujuan membantu piket jaga malam di tengah kondisi yang tidak menentu.
Ternyata benar firasat saya. Perintah evakuasi turun dari Jakarta pada 31
Januari siang. “Untung saya sudah siap dengan peralatan tempur untuk malam,” pikir
saya. Malam itu kondisi semakin rumit. Jakarta ternyata memerintahkan evakuasi
dalam 24 jam dan pesawat evakusai sedang dalam perjalanan menuju Mesir. Duta
Besar mengerahkan staf yang tersisa malam itu sepenuhnya. Saya bertanggung
jawab menangani pendataan empat ratusan WNI evakuasi tahap pertama sambil
menjawab telepon dari Indonesia yang menanyakan kondisi keluarganya di Mesir
sepanjang malam.
Ternyata tidak berhenti di situ. Pada tengah malam, Pak Dubes pun
memerintahkan saya dan seorang kawan untuk mengawal evakuasi tahap pertama ini
hingga tiba di Jakarta.
“Kondisi di Bandara Kairo dan di dalam pesawat serba tidak menentu. Harus
ada orang KBRI yang bisa menjelaskan dan menenangkan ratusan WNI kita di sana,”
kata Pak Dubes A.M. Fachir membuka pembicaraan.
“Kamu...” Pak Dubes menunjuk saya, “saya perintahkan untuk mengawal
evakuasi tahap pertama ini hingga ke Jakarta supaya berjalan sesuai rencana.
Siap?!”
“Siap, Pak!” jawab saya pendek.
“Selepas Subuh, kamu pulang dan segera packing.
Untuk penjelasan lebih teknis, segera temui Bapak Atase Pertahanan”
* * *
Pengalaman saya tentu belum
banyak, tetapi dari pengalaman saya yang masih sangat minim ini, saya belajar
sesuatu: menjadi relawan syaratnya hanya satu, yakni ikhlas. Tidak dibayar dan
jangan mengharapkan imbalan, karena Tuhan Yang Maha Teliti tidak akan salah
menghitung.
Takdir menuntun saya menjadi “relawan” di berbagai tempat. Saya yakin dan
percaya, pengalaman saya menjadi relawan gempa Yogya, “relawan” evakuasi WNI
dari Kairo, dan pengalaman-pengalaman lainnya berakar kuat dari jiwa
kerelawanan (voluntarism) yang
ditempa sejak di Rumah Dunia. Tidak pernah terpikir sedikit pun sebelumnya
bahwa Yogya akan gempa dan Mesir akan bergejolak. Hanya orang-orang yang
memiliki jiwa kerelawanan, yang terpanggil untuk bergerak membantu melampaui
kepentingannya sendiri.
Rumah Dunia adalah rumah untuk
mengerti dunia. Di Rumah Dunia pula sejatinya para relawan dipersiapkan dan
mempersiapkan diri menjadi relawan sejati, bukan hanya untuk Rumah Dunia,
tetapi juga menjadi relawan untuk Dunia. Saya percaya, langkah-langkah
ikhlas para relawan Rumah Dunia akan
menggelindingkan bola salju peradaban
menjadi sebuah langkah
besar peradaban Dunia.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar