dimuat di Radar Banten, 11 Juni 2009 |
Jika
persiapan lancar, maka pada tanggal 8 Juli 2009, sejarah Republik Indonesia
akan dibentuk bersama-sama oleh 176.367.056 pemilih. Jumlah
tersebut adalah jumlah pemilih pada daftar pemilih tetap (DPT) Pilpres yang
dirilis KPU akhir Mei lalu. Jumlah tersebut telah mengalami peningkatan sekitar
lima juta pemilih dari jumlah DPT Pemilu legislatif 9 April.
Pada hari yang bersejarah itu, setiap suara adalah setetes tinta
emas dari pena demokrasi pada lembar sejarah Indonesia. Rakyat
yang selama lima tahun diatasnamakan pada rapat-rapat di gedung dewan, dilihat
hanya sebatas deret-deret angka pada APBN, daftar kemiskinan, dan BLT; kini
menyeruak, berkuasa, dan berkendak untuk memutuskan nasib pasangan
capres-cawapres di ujung pena demokrasi.
Dibandingkan
dengan pilpres 2004, pilpres 2009 diprediksi lebih seru dan menarik. Pertama,
figur dan karakter pasangan capres cawapres yang kuat. Megawati-Prabowo adalah
gabungan gaya kepemimpinan ketegaran dan kerakyatan. Megawati yang berkarakter
ketegaran, datang dari keluarga pejuang, dan ditempa dalam pengalaman politik
sebagai yang terpinggirkan bergabung dengan Prabowo yang berkarakter pendobrak
dengan memadukan konsep ekonomi dan strategi militer. Pasangan SBY-Boediono adalah
kepemimpinan yang menekankan daya pukau pencitraan. Menampilkan figur SBY yang
penuh pesona, datang dari keluarga priyayi, dan gaya yang tertata berpadu
dengan Boediono yang expertise dan
halus budi. JK-Wiranto adalah kombinasi karakter dengan titik tekan kenyataan,
kemandirian, dan ketegasan. JK berkarakter etos pedagang yang menuntut
keberanian beresiko dan bertindak cepat bertemu dengan Wiranto yang berkarakter
disiplin militer, ketegasan, dan kesantunan.
Mega-Prabowo (sumber: Tempo) |
Kedua,
polarisasi ideologi dan perdebatan platform dalam pilpres. Pasangan bernomor
urut 1 mengusung ideologi kedaulatan dan ekonomi kerakyatan. Deklarasi
Mega-Prabowo di TPA Terpadu Bantar Gebang mengaktulisasikan platform kerakyatan
pasangan ini. No 2, harus menerima cap neoliberalisme dengan memilih cawapres
Boediono yang dikenal dekat dan menerapkan praktek ekonomi neoliberalisme.
Sementara no 3, mengusung kemandirian ekonomi dan menawarkan percepatan
penyelesaian masalah-masalah bangsa. Jika SBY-Boedi adalah “kanan”,
Mega-Prabowo adalah “kiri”, maka JK-Wiranto adalah “tengah”.
SBY-Boediono (sumber: SBYPresidenku.com) |
Ketiga
peran konsultan politik menjadi signifikan. Lembaga Survey Indonesia, Lingkaran
Survey Indonesia, Indo Barometer, Lembaga Survei Nasional, Lembaga Riset
Informasi, Puskaptis, dan Fox Indonesia menjadi bisnis politik baru yang laris
manis di negara yang setiap tahun menyelenggarakan pemilihan ini.
Keempat,
strategi dan komunikasi politik yang berbeda-beda. Berbeda dengan pilpres 2004
dengan strategi dan komunikasi yang mirip antarcalon, pada pilpres 2009
terdapat perbedaan yang tegas. Mega-Prabowo memilih komunikasi politik yang
menyapa petani, nelayan, buruh, dan rakyat miskin. Iklan politik Mega-Prabowo
cenderung membenturkan antarkelas ekonomi. SBY-Boedi dengan komunikasi yang
penampilkan citra SBY yang “sempurna” sebagai presiden dan berkampanye lewat teknologi
internet dengan serius. Dibanding pasangan lain, JK-Wiranto lebih sering
“bersilaturahmi” dan merapat ke kantong-kantong agama dan menampilkan foto
istri JK dan Wiranto yang berjilbab rapi.
JK-Wiranto (sumber: Kompas) |
Kelima, pemilih mengambang (swing voters). Meskipun dalam berbagai
survey menempatkan SBY berada di atas kandidat lainnya, tetapi segalanya masih
mungkin dalam politik (the arts of
possibility). Pilpres 2009 diprediksi akan banyak diwarnai dengan gelombang
swing voters yang cukup massif.
Gejala ini mulai terlihat dari banyak elit parpol yang mendukung pasangan yang
bersebrangan parpolnya. Elit parpol tersebut “lompat pagar” tidak sendiri,
tetapi membawa serta atau minimal dipertimbangkan oleh pendukungnya. Elit PAN muali
terbelah setelah SBY menampik Hatta Radjasa dan memilih Boediono. Kader PKS cenderung
tergoda melihat penampilan keluarga JK-Win yang Islami. Mencari kader setia
saja sulit, apalagi pemilih setia. Dengan kata lain, hasil pemilu legislatif
tidak bisa serta merta menjadi jaminan atas hasil pilpres 2009.
Debat calon Presiden RI (sumber: Tempo) |
Banten
Dibandingkan
dengan propinsi lain di Tanah Air, Banten memiliki nilai strategis dalam ajang
kontestasi dan konstelasi pilpres 2009. Pertama, dari segi demografis, Banten
merupakan propinsi dengan jumlah pemilih terbesar ke-6 dari 33 propinsi di
Indonesia berdasarkan DPT pileg 2009. Setelah Jawa Timur (29.294.127), Jawa
Barat (29.030.012), Jawa Tengah (26.220.227), Sumatera Utara (9.132.184), dan
DKI Jakarta (7.010.526). Menurut data yang dirilis oleh KPU, sebanyak 6.567.658
terdaftar pada Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Propinsi Banten pada pemilu
legislative 9 April 2009 dan bertambah menjadi 7.151.500
pemilih.
Secara
geografis, bersama dengan Jawa Barat, Banten merupakan daerah penyangga ibu
kota (buffer zone). Kemenangan
pilpres pada buffer zone sangat
penting bagi stabilitas pemerintahan dan pembangunan selama kabinet memimpin.
Kemungkinan besar, Banten kembali akan menjadi ajang “Perang Bintang” pada
pilpres kali ini.
Peta Kampanye Pilpres 11 Juni 2009 (sumber: Kompas) |
Akhirnya,
setiap pasangan capres cawapres selalu menawarkan janji-janji terbaiknya bagi
bangsa ini. Akan tetapi, sejarah membuktikan, tidak ada pemimpin yang cocok
untuk semua musim. Pada masa yang salah, pemimpin yang baik belum tentu menjadi
pemimpin yang tepat. Lima tahun lalu, rakyat memberikan mandatnya pada
kombinasi kepemimpinan tertata ala SBY dan kepemimpinan bergerak cepat ala JK. Manakah
di antara ketiga kombinasi karakter kepemimpinan yang kita perlukan
menyelesaikan permasalahan hari ini? Kepada Anda semua jawaban itu berpulang.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar