Kamis, 21 Februari 2013

Ekstradisi: Spesies dari Genus Hukum Pidana Internasional


RESENSI BUKU

Judul
:
Hukum tentang Ekstradisi
Penulis buku
:
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M
Penerbit
:
Fikahati Aneska
Bahasa
:
Indonesia
Jumlah halaman
:
x + 389
Tahun penerbitan
:
2011
Pembuat resensi
:
AM. Sidqi

Resensi ini dimuat di Jurnal Opinio Juris vol. 13 tahun 2013, 
terbitan Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional,
Kementerian Luar Negeri RI
Maraknya pemberitaan tentang upaya Kejaksaan Agung RI mengekstradisi Joko Tjandra, terpidana BLBI, dari Papua Nugini menghiasi media massa Februari 2013. Sebelumnya, pelarian M. Nazarudin dan Nunun Nurbaeti pada tahun 2011 lalu memunculkan perdebatan berlarut-larut tentang ekstradisi di kalangan penegak hukum, akademisi, politikus, dan masyarakat umum. Jamak dikatakan bahwa dikarenakan tidak adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura, menjadikan Negara Singa Laut itu menjadi safe haven bagi pelarian kejahatan kerah putih. Akan tetapi, meskipun Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Kolumbia, M. Nazarudin tetap bisa dibawa pulang ke Tanah Air untuk diadili. Selain itu, publik juga mengenal upaya ekstradisi yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap terpidana penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Hendra Rahardja dari Australia. Meskipun upaya pemerintah Indonesia untuk mengekstradisi Hendra Raharja telah mencapai tahapan akhir dengan diterbitkannya "extradition warrant" oleh Pemerintah Australia tanggal 14 Oktober 2002, tetapi dengan meninggalnya Hendra Rahardja tanggal 26 Januari 2003, maka kasus pidananya gugur demi hukum.


Perdebatan-perdebatan seputar hukum tentang ekstradisi tersebut memunculkan pertanyaan mendasar yang wajib dipahami oleh semua: apa dan bagaimana perkembangan hukum tentang ekstradisi tersebut?
Buku berjudul “Hukum tentang Ekstradisi” yang ditulis oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M ini hadir untuk mencerahkan publik perihal definisi, karakteristik, dan perkembangan pelbagai model tentang ekstradisi. Kepakaran Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M sebagai salah satu ahli dalam hukum mengenai ekstradisi tidak lagi diragukan, mengingat Romli memiliki daftar panjang pengalaman sebagai ketua delegasi pemerintah Indonesia ke berbagai konferensi PBB yang membahas kejahatan transnasional.
Cover buku Hukum tentang Ekstradisi" karya Romli Atmasasmita
Berdasarkan UU 1/1979 tentang Ekstradisi, Ekstadisi diartikan sebagai penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka tau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memindananya.
Praktik perjanjian ekstradisi bagi Indonesia bukan masalah hukum baru karena setelah kemerdekaan RI, Indonesia telah mengikatkan diri ke dalam perjanjian ekstradisi dengan lima negara, yakni Malaysia, Filipina, Thailand, Australia; dua perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual legal assistance treaty), yakni dengan Australia dan RRT; dan satu perjanjian penyerahan pelanggar hukum yang melarikan diri antara Indonesia dengan Hongkong.
Pemerintah Indonesia juga telah menandatangani satu perjanjian regional dalam bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana, yaitu UU 15/2008 antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Filipina, Singapura, dan Vietnam yang telah ditandatangani tanggal 29 November 2009. Perjanjian-perjanjian tersebut merupakan perkembangan penting pasca kemerdekaan dalam bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang bersifat transnasional dan terorganisasi yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia.
Lebih jauh lagi, Indonesia telah memiliki UU 1/2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana sebagai undang-undang payung (umbrella act) untuk kerja sama dalam prosesl penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana serta perampasan asset tindak pidana. Begitu pula Indonesia telah mempunyai UU 1/1979 tentang Ekstradisi sebagai payung hukum untuk proses negosiasi membahas draf perjanjian ekstradisi dengan Negara lain. Sekalipun demikian pemerintah Indonesia dalam praktik bersikap fleksibel seperti di dalam perundingan draft teks perjanjian ekstradisi antara Repubik Indonesia dengan Republik Korea, di mana Indonesia sepakat untuk tidak menggunakan daftar kejahatan (list of crime) yang dapat diekstradisikan. Penjelasan UU 42/2007 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Korea menegaskan bahwa dihapuskannya system daftar kejahatan (system elective)—sekalipun UU 1/1979 tersebut menganut sistem enumeratif—adalah untuk mengantisipasi perkembangan kejahatan transnasional yang baru.
Buku yang terbit pada tahun 2011 ini disusun dalam empat bab, yakni asal-usul dan karakteristik ekstradisi (bab I); prinsip umum ekstradisi yang diakui dalam hukum internasional dan beberapa pengecualian (bab II); perkembangan praktik ekstradisi dan perbandingan model-model ekstradisi (bab III); dan pentutup yang berisi pandangan dan sikap penulis terhadap perkembangan ekstradisi dan masalah yang berkaitan dengan berbagai model hukum tentang ekstradisi (bab IV).
Pada bab I, Romli Atmasasmita mengkritik pengertian ekstradisi yang sering diucapkan banyak orang termasuk praktisi hukum, tetapi belum dipahami makna sesungguhnya dari pengertian istilah tersebut. Sering disebutkan bahwa ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi (extradition, l’extradition) berasal dari bahasa latin :”extradere”. Ex berarti keluar, sedangkan tradere berarti menyerahkan. Kata bendanya adalah extraditio artinya penyerahan. Sedangkan menurut Romli, pemaknaan pengertian istilah tersebut sangat menyesatkan karena tidak benar.

M. Nazaruddin, mantan bendaraha Partai Demokrat

Romli mendefinisikan ekstradisi secara etimologis berasal dari dua suku kata, yaitu “extra” dan “tradition”. Sehingga demikian, ekstradisi berarti suatu konsep hukum yang berlawanan dengan “tradisi” yang telah berabad-abad dipraktikan antarbangsa-bangsa. Praktik tradisi tersebut adalah kewajiban setiap negara untuk menjadi pelindung (asylum) bagi siapa saja yang memohon perlindungan, dan tradisi untuk memelihara kehormatan (hospitality) sebagai negara tuan rumah atas mereka yang memohon perlindungan tersebut. Praktik asylum yang mendahului ekstradisi menunjukan bahwa ekstradisi merupakan kekecualian dari asylum.
Hukum ekstradisi merupakan cabang dari hukum pidana internasional yang mengatur prosedur penyerahan tersangka, terdakwa, atau terpidana dari satu negara ke negara lain untuk tujuan penuntutan atau menjalani hukuman. Hukum ekstradisi dilandaskan pada asumsi bahwa negara yang meminta ekstradisi (requisting state) mempunyai itikad baik dan pelaku kejahatan yang diserahkan akan diperlakukan adil selama diadili di negara tersebut. Sesungguhnya, ekstradisi merupakan perwujudan dari asas aut dedere aut judicare, yaitu asas hukum yang menegaskan bahwa “jika negara melakukan penuntutan, ada kewajiban negara untuk mengekstradisi”.
Dalam catatan sejarah, ekstradisi telah dipraktikan sejak tahun 1280 SM antara Raja Ramses II dari Mesir dan Raja Hattusili III dari Hitites, kemudian diikuti oleh kerajaan Yunani dan kekaisaran Romawi. Model perkembangan ekstradisi abad tersebut dilandaskan untuk menjaga stabilitas politik kerajaan sehingga ekstradisi terbatas pada kejahatan politik. Dalam perkembangannya, ekstradisi pasca abad ke-20 bukan lagi semata-mata merupakan hak dan kewajiban sebagaimana dinyatakan dalam suatu perjanjian, melainkan juga bagian dari hak asasi tersangka, terdakwa, atau terpidana untuk menyatakan pendapatnya terhadap permintaan suatu negara untuk mengekstradisikan ybs. Hal tersebut pernah dipraktikan oleh Hendra Raharja yang menolak ekstradisi dirinya dari Austarlia dengan alasan Pemerintah Indonesia diskrimatif dan tahanan di Indonesia tidak menjamin keselamatan tersangka.
Dalam teori dan praktik hukum internasional, ekstradisi memiliki empat karakter, yaitu ekstradisi sebagai suatu kewajiban negara, ekstradisi tanpa perjanjian, ekstradisi dengan perjanjian bilateral, dan ekstradisi dengan perjanjian multilateral. Kembali pada perdebatan absennya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura yang menjadikan Singapura sebagai safe heaven bagi kejahatan kerah putih, Romli Atmasasmita membeberkan bahwa ekstradisi dapat dilakukan tanpa adanya perjanjian. Menurut Romli, UU 1/1979 tentang Ekstradisi membolehkan ekstradisi dilaksanakan dengan perjanjian ekstradisi atau tanpa perjanjian ekstradisi, tetapi cukup berdasarkan prinsip resiprositas. Atas dasar ketentuan UU tersebut, Indonesia mengakui perjanjian internasional merupakan sumber hukum, dan juga “comity” atau “arrangement” diakui sebagai sumber hukum tidak tertulis, sepanjang kedua negara dipenuhi/dijamin ditaatinya prinsip resiprositas. Namun demikian, perlu juga dicatat bahwa ekstradisi tanpa perjanjian sepenuhnya dilandaskan pada pemikiran aliran monistik mengenai hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang banyak dianut di negara-negara penganut sistem hukum civil law dibandingkan dengan negara penganut hukum common law.
Sementara ekstradisi dengan perjanjian bilateral menempati posisi yang kuat di antara negara anggota PBB, ekstradisi dengan perjanjian multilateral lazim dipraktikan di organisasi regional, seperti Uni Eropa, Liga Arab, dan negara yang tergabung dalam Commonwealth Nations. Romli berpendapat bahwa terdapat kecenderungan di masa mendatang untuk memunculkan suatu “common law of extradition” dan suatu saat diharapkan dapat menghasilkan suatu “Universal Convention on Extradition” yang dapat dijadikan landasan hukum ekstradisi yang berlaku bagi seluruh negara anggota PBB.
Uraian khusus pada Bab II yang menarik untuk dicermati adalah perubahan pandangan masyarakat internasional terhadap pengecualian atas prinsip nasionalitas dan prinsip ne bis in idem (not twice in the same thing), terutama setelah perkembangan pemajuan hak-hak ekonomi, sosial, hak sipil dan hak politik diadopsi dan diberlakukan sebagai bagian dari hukum internasional. Perkembangan ekstradisi sejak awal kelahirannya pada abad 15—16, disepakati bahwa yang dapat diekstradisikan hanya kejahatan politik (makar) dan kejahatan penodaan terhadap agama. Perkembangan ekstradisi selama tahun 1700 dan awal 1800an, justru kejahatan politik termasuk kejahatan tidak dapat diekstradisi (non-extraditable crime) sampai dengan tahun 1830-an. Gagasan bahwa tersangka tidak dapat diekstradisikan untuk tindak pidana yang memiliki motivasi politik, dikemukakan oleh Belgia dan Perancis. Pengakuan tersebut dikuatkan di dalam MLE UN 1990 yang menegaskan bahwa, kejahatan politik merupakan kejahatan yang tidak dapat diekstradisi-kan dan bersifat wajib (mandatory obligation).
Lebih jauh lagi, pada bab ini Romli menjelaskan tentang prinsip-prinsip penolakan ekstradisi, seperti
  1. Prinsip Prinsip Kekecualian untuk Tindak Pidana Politik,
  2. Prinsip Penolakan ekstradisi atas dasar keyakinan bahwa penuntutan akan dilakukan atas dasar perbedaan ras,agama, etnis, pendapat politik, jenis kelamin, dan kebangsaan.
  3. Prinsip penolakan atas dasar kejahatan yang dimintakan ekstradisi adalah kejahatan militer
  4. Prinsip Double Jeopardy atau Non-bis in iden sebagai alasan penolakan ekstradisi
  5. Prinsip tidak meng-ekstradisi jika terhadap seseorang yang dimintakan ekstradisi telah dijatuhi hukuman in absensia di negara peminta
  6. Prinsip penolakan ekstradisi didasarkan atas imunitas dari penuntutan atau karena daluarsa (lapse of time)
  7. Prinsip Spesialitas (The Rule of Specialty)
  8. Prinsip Double Criminality (Dual Criminality)
  9. Prinsip Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non- Extradition of Nationals)
  10. Prinsip penolakan Ekstradisi atas dasar peradilan yang tidak jujur dan perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan.


Prinsip penolakan atas dasar kejahatan politik dewasa ini semakin sirna terutama dengan peristiwa terorisme pemboman World Trade Centre di New York, Amerika Serikat. Terorisme selalu dikaitkan dengan motivasi politik dan disponsori oleh negara sehingga sulit untuk tidak mengatakan bahwa terorisme bukan kejahatan politik. Menurut Romli, prinsip ini layak dipertahankan, tetapi di sisi lain tidak perlu dipertahankan, berangkat dari pembedaan antara “kejahatan politik murni” (pure political crime) dan “kekerasan yang bermotif politik” (politically motivated violence). Namun demikian dengan perkembangan kejahatan terorisme yang merupakan “semi kejahatan internasional” maka terorisme sudah seharusnya tidak lagi ditempatkan sebagai kejahatan politik atau kejahatan yang bermotivasi politik sehingga terorisme merupakan “extraditable crime.

PM Thailand (2001--2006), Thaksin Sinawatra
Kasus ekstradisi mantan PM Thailand, Thaksin Sinawatra, merupakan contoh teranyar (2009) yang mencerminkan prinsip penolakan ekstradisi dengan alasan kejahatan politik masih menguat di dalam hubungan kerja sama internasional dalam pencegahan dan penindakan kejahatan transnasional. Kasus Thaksin mirip dengan permohonan ekstradisi mantan Presiden Peru Alberto Fujimori. Permohonan Peru kepada Chile untuk mengekstradisi Fujimori tidak begitu terkendala, karena pengadilan Chile melihat dakwaan terhadap Fujimori murni didasarkan pada pelanggaran korupsi dan pelanggaran HAM.



Presiden Peru (1990--2000), Alberto Fujimori

Untuk memperoleh perkembangan terkini mengenai ekstradisi, pada bab III diuraikan praktik ekstradisi negara Uni Eropa yang dideklarasikan pada tahun 2002 dan berlaku efektif pada tahun 2004. Model ekstradisi di Uni Eropa yang dikenal dengan istilah “surrender” merupakan contoh aktual dan relevan bagi ASEAN baik dilihat dari sisi geografis, cultural, maupun dari sisi sistem hukum yang berlaku.
Perkembangan terkini, alasan kejahatan politik dihapuskan di banyak negara dan syarat-syarat prinsip penolakan ekstradisi telah banyak dikurangi. Kecenderungan pelaksanaan ekstradisi saat ini adalah memberikan hak yang lebih banyak kepada seseorang yang diminta untuk diekstradisi dan juga dijadikan bahan pertimbangan bagaimana orang ybs diperlakukan atau dihukum di negara Peminta. Persyaratan dimaksud antara lain tidak boleh dilaksanakan atas dasar gender, ras, kebangsaan, asal etnis atau paham politik. Kecenderungan lain dari perkembangan pelaksanaan ekstradisi adalah mengurangi prosedur yang tidak perlu termasuk komunikasi langsung dan prosedur (ekstradisi) yang disederhanakan.
Prinsip penolakan ekstradisi atas dasar nasionalitas merupakan prinsip yang mutlak dan menyulitkan efektivitas ekstradisi. Jika prinsip ini dipertahankan setidak-tidaknya dapat dituntut dan diadili di negara asal warga negara ybs. Perkembangan terkini, banyak negara yang diminta membolehkan ekstradisi dilakukan terhadap warga negara sendiri dengan syarat jika setelah dituntut dan diputus oleh pengadilan di Negara yang Meminta, dapat dikembalikan ke negara asalnya untuk melaksanakan hukuman, sebagaimana telah dilaksanakan antara Belanda dan Perancis. Prinsip penolakan ektradisi atas dasar nasionalitas juga tidak dianut lagi antara Thailand dan Amerika Serikat, dan antara Negara-negara yang tergabung dalam “Commonwealth Nations”.
Bab IV berisi pandangan dan sikap penulis terhadap perkembangan ekstradisi. Perjanjian-perjanjian dan perundang-undangan tentang ekstradisi serta terlibatnya dua negara atau lebih dalam suatu kasus ekstradisi, menunjukkan bahwa ekstradisi dapat dipandang sebagai bagian hukum internasional dan juga sebagai bagian hukum nasional. Oleh karena itu ekstradisi sebagai suatu pranata hukum secara resmi telah diakui dan diatur dalam hukum internasional dan hukum nasional. Akan tetapi, perkembangan ekstradisi sebagai “spesies dari genus hukum pidana internasional” yang sangat telah lambat memunculkan bentuk kerja sama internasional lainnya, seperti bantuan hukum timbal balik dalam masalah pindana, transfer terpidana, transfer proses beracara, dan investigasi bersama. Meskipun demikian, pelbagai bentuk kerja sama internasional dalam bidang hukum tersebut tetap tidak cukup mampu mengimbangi dan menyertai kecepatan modus operandi kejahatan internasional.
Meskipun perjanjian ekstradisi bagi Indonesia bukan masalah hukum baru, buku mengenai hukum ekstradisi merupakan substansi yang relatif baru dalam kepustakaan hukum Indonesia. Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa niat menulis buku ini semakin menguat ketika mengamati pemahaman keliru beberapa pejabat tinggi pemerintah yang belum dapat memahami tentang pengertian, lingkup, serta objek ekstradisi dalam hukum internasional; dan ekstradisi sebagai sarjana hukum untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemberantasan (penindakan) kejahatan yang bersifat lintas batas territorial dan kejahatan transnasional. Masih ada yang keliru menyamakan ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters) baik di kalangan pejabat tinggi pemerintah maupun para sarjana hukum. Dengan terbitnya buku ini, maka diharapkan dapat menguatkan pemahaman para sarjana hukum, terutama yang menggeluti hukum internasional, dalam bidang ekstradisi.



Rabu, 16 Januari 2013

Pilkada di Banten yang Berintegritas

Tahun 2013 akan menjadi tahun politik. Meskipun kalender belum berganti bulan, pemanasan politik sudah dimulai dengan pengundian nomor parpol peserta pemilu 2014 dan kawin-mawin parpol di musim hujan ini. Bukan hanya persiapan menjelang pemilu 2014, sebanyak 125 pemilihan kepala daerah (pilkada) akan digelar tahun ini, terdiri 14 pemilihan gubernur (pilgub) dan 111 pemilihan bupati/walikota. Pilkada tahun ini di Banten direncanakan akan digelar di Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, Kabupaten Lebak, dan Kota Serang.
Beberapa pihak berpendapat bahwa ratusan pemilukada tahun ini merupakan ladang pengumpulan amunisi, pemanasan, dan pemetaan politik menuju pemilu 2014. Pendapat lain mengatakan bahwa ratusan pemilukada tahun ini akan berakhir di Mahkamah Konstitusi (MK) lebih banyak dari tahun sebelumnya. Pada 2012 saja, dari 77 daerah yang melaksanakan pemilukada, 59 daerah (76,62%) pemilukada disengketakan ke MK (2/1/2013).
Akan tetapi, terlepas dari bagaimana parpol mendefinisikan ratusan pemilukada tahun ini dan kemungkinan gugatan yang akan ditangani MK, pemilu sejatinya merupakan pintu gerbang menuju demokrasi yang lebih matang dan bermartabat dimana aspirasi rakyat seharusnya dapat disalurkan dengan tepat. Sebagai jantung demokrasi, pemilu juga dipercaya dapat menjadi katalis untuk tata kelola pemerintahan yang lebih baik, keamanan yang lebih terjamin, dan pembangunan manusia yang lebih bermartabat (Annan, 2012).
Lebih jauh lagi, selama dua puluh tahun terakhir, lebih dari lima puluh negara telah mengembangkan demokrasi tengah berjuang untuk mengkonsolidasikan pemerintahan yang demokratis. Sejak tahun 2000, tercatat setidaknya sebelas negara di dunia telah mengadakan pemilu nasional. Praktik tersebut menunjukkan bahwa pemilu dapat meningkatkan demokrasi; pembangunan, hak asasi manusia, dan keamanan, atau justru malah semakin memperlemah negara, seperti kasus Kenya pada 2007. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa di beberapa negara, warga masyarakat berjuang demi mewujudkan pemilu yang bebas, demokratis yang akuntabel, terjaminnya penegakan hukum, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
Tentu saja, kita telah mendengar banyak desakan untuk tidak hanya berkutat pada aspek prosedural dan segera menanam benih-benih demokrasi substansial. Namun, aspek substansi mustahil tegak berharkat tanpa prosedur yang berintegritas dan prosedur yang berintegritas menentukan substansi yang bermartabat. Intinya, kedua faktor tersebut saling memperkuat satu sama lain. Meminjam istilah Juan J. Linz dan Alfred Stepan (1996), sebuah negara dapat menjadi negara demokrasi maju ketika negara itu telah menyelenggarakan dua kali pergantian kekuasaan secara damai melalui proses pemilu yang demokratis untuk menandai telah terjadinya konsolidasi demokrasi. Penyelenggaraan pemilu demokratis secara konsisten lebih dari satu kali merupakan cerminan kelangsungan demokrasi yang mapan dan pengembangannya yang semakin berkualitas.
Penyelenggaraan pemilu 2009 memang masih jauh dari sempurna. Akan tetapi, menyelenggarakan pemilu dengan sekitar 172 juta pemilih, 600 ribu TSP, dan berbagai tantangan logistik yang tersebar di negara kepulauan terbesar di dunia ini, bukanlah prestasi kecil. Kini, Indonesia tengah dihadapkan pada tantangan serius untuk menguatkan konsolidasi demokrasi melalui penyelenggaraan rangkaian pemilukada tahun ini dan pemilu tahun depan.

Komisi Global
Oleh sebab itu, Global Commission on Elections, Democracy and Security (2012) menyusun standar internasional tentang pemilu berintegritas sebagai platform bagi negara-negara demokrasi baru yang bercita-cita untuk lebih terbuka dan bebas. Pemilu yang berintegritas dapat didefinisikan sebagai pemilu yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi universal dan kesetaraan politik sebagaimana tercermin pada standar dan kesepakatan internasional, serta diselenggarakan secara profesional, independen, dan transparan dalam persiapan dan administrasi seluruh siklus pemilu tersebut. Pemilu yang berintegritas merupakan upaya jalan keluar dari diskursus antara demokrasi prosedural dan substansial. Terobosan yang diperkenalkan oleh Komisi Global ini dapat membantu Indonesia dalam menghadapi ratusan pemilukada tahun ini dan persiapan pemilu 2014 mendatang, terutama bagi lembaga penyelenggara pemilu, seperti KPU dan Bawaslu.
Pertama, membangun rule of law serta penguatan lembaga penyelenggara pemilu yang profesional, independen, transparan, dan selaras dengan prinsip meritokrasi. Tidak kalah penting juga, pemerintah dan DPR wajib memberikan jaminan keuangan dan SDM untuk lembaga penyelenggara pemilu guna memastikan kompetensi dan profesionalisme lembaga. Komisi Global juga mendesak badan-badan internasional untuk menyalurkan bantuan ke lembaga penyelenggara pemilu tanpa mempengaruhi independensi dan kepemilikan pemilu itu sendiri.
Kedua, menyingkirkan segala hambatan—legal, administratif, politik, ekonomi, dan sosial—guna partisipasi politik yang universal dan berkeadilan. Ditambah lagi, pendidikan politik merupakan agenda penting untuk menepis praktik pembelian suara dan penguatan kepemilikan atas demokrasi sehingga apa yang dipertaruhkan jelas dipahami oleh semua.
Ketiga, menciptakan norma-norma kompetisi multipartai yang sehat dan mutual bagi seluruh peserta politik dengan mengatur keuangan politik agar transparan, terkontrol, dan dapat dipertanggungjawabkan di hadapan publik. Dengan pengaturan keuangan politik, maka kita mengembalikan demokrasi pada arti sebenarnya, serta menghindari oligarki-konglomerasi pada demokrasi kita. Hal ini masih menjadi isu krusial tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi negara dengan demokrasi yang lebih mapan, seperti Amerika Serikat.
Melalui prakarsa Komisi Global ini, standar internasional untuk lembaga penyelenggara pemilu di seluruh dunia dapat diterapkan sebagaimana Paris Principle untuk standar Komnas HAM sedunia pada 1990-an. Lembaga penyelenggara pemilu se-dunia dapat menggunakan jejaring internasional untuk saling berbagi pengalaman dan pelajaran penyelenggaraan pemilu untuk   meningkatkan kualitas pemilu.
Akhirnya, pengalaman negara-negara di dunia menunjukkan, ketika dilakukan dengan berintegritas, pemilu sebagai jantung demokrasi mampu memerangi korupsi, memberdayakan perempuan, memberikan layanan kepada masyarakat miskin, meningkatkan tata kelola pemerintahan, dan mengakhiri perang saudara. Bagi daerah di Banten yang akan melaksanakan pilkada, tahun ini seharusnya dapat menjadi berkah untuk memantapkan konsolidasi demokrasi dan mewujudkan demokrasi yang menyejahterakan (democracy that delivers) jika dilakukan dengan berintegritas.***

Rabu, 08 Agustus 2012

Diaspora Dari dan Untuk Indonesia

RESENSI BUKU

Judul
:
Life Stories Resep Sukses dan Etos Hidup Diaspora Indonesia di Negeri Orang
Penulis buku
:
Dr. Dino Patti Djalal
Penerbit
:
Red and White Publishing
Bahasa
:
Indonesia
Jumlah halaman
:
369 halaman
Tahun penerbitan
:
2012
Pembuat resensi
:
AM. Sidqi

Sampul buku Life Stories
Resensi buku ini dimuat juga di Jurnal Diplomasi vol. 2012,
terbitan Pusdiklat Kementerian Luar Negeri

Diaspora adalah sebuah kata yang kurang lazim kita dengar. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan "diaspora" sebagai “masa tercerai-berainya suatu bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara, misal bangsa Yahudi sebelum negara Israel berdiri pada tahun 1948.” Pada konteks ini, diaspora Indonesia dapat diartikan sebagai orang yang berdarah Indonesia atau merasa sebagai orang Indonesia dimanapun mereka berada, tanpa melihat status kewarganegaraannya. Namun, setelah penyelenggaraan Kongres Diaspora Indonesia 6—8 Juli 2012 di Los Angeles, kata diaspora ibarat mantra sakti yang diulang-ulang untuk menggambarkan suatu petulangan yang lekat dengan kesuksesan.
Sudah menjadi kelaziman bahwa pendatang cenderung lebih sukses daripada warga setempat. Pendatang merantau dari daerah asalnya dengan mengorbankan banyak hal dan tidak memiliki pilihan untuk bertahan hidup, selain menjadi orang sukses; begitu pun diaspora Indonesia. Berbicara dalam banyak bahasa, komunitas ini lebih terpapar oleh dunia luar dan cenderung berpikiran terbuka (open minded), risk taker, terbiasa berkompetisi, dan tidak ada pilihan lain untuk bertahan hidup di negeri orang, selain meraih kesuksesan.
Mengutip pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Kongres Diaspora Indonesia, selama berabad-abad, bangsa Indonesia telah dikenal luas sebagai pelaut dan petualang yang hebat. Dengan menggunakan perahu bercadik dan berbekal keberanian, para nenek moyang bangsa Indonesia menerjang ombak, mengarungi samudera, dan singgah di kota-kota penting dunia, mulai dari Australia, Kepulauan Pasifik barat daya, Madagaskar, Kaledonia Baru, Afrika Selatan, hingga Belanda dan Suriname. Para nenek moyang sang pelaut ini merupakan gelombang pertama diaspora Indonesia.
Kini pada abad ke-21, diaspora Indonesia tidak hanya sekedar petualang tetapi telah menjadi suatu komunitas besar yang dinamis yang pernuh dengan potensi dan sumber daya. Diaspora Indonesia kini tersebar di berbagai penjuru dunia. Diaspora Indonesia juga mewarnai beragam profesi dan aktivitas mulai dari tenaga kerja berketerampilan tinggi, pekerja di sektor informal, politisi, budayawan, wirausahawan, pendidik, inovator, kontraktor, ahli minyak dan gas, awak kapal, olahragawan, mahasiswa, rohaniwan dan masih banyak lagi. 
Pada Kongres Diaspora Indonesia juga, Dubes Dino Patti Djalal menyampaikan suatu fakta yang mengejutkan bahwa jumlah diaspora Indonesia lebih banyak dari yang kita pikirkan. Bukan hanya 3.5 juta orang, tetapi lebih dari 6—8 juta bahkan hampir mungkin lebih dari 10 juta orang Indonesia berdiaspora. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah penduduk Swedia atau Austria. Bahkan jumlah diaspora Indonesia di seluruh dunia lebih besar dibandingkan dengan diaspora Korea atau Vietnam. Jumlah terbanyak diaspora Indonesia diduga berada di Belanda, Singapura, Australia, Malaysia, Madagaskar, Suriname, Afrika Selatan, Mesir, Saudi, dan negara-negara Arab lainnya.

Diary diaspora Indonesia

Tidak lama setelah terselenggaranya Kongres Diaspora Indonesia, Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Dr. Dino Patti Djalal, selaku editor meluncurkan buku “Life Stories: Resep Sukses dan Etos Hidup Diaspora Indonesia di Negeri Orang” pada 18 Juli 2012 di Jakarta. Buku diaspora Indonesia pertama yang disusun dalam waktu empat bulan ini merupakan bagian dari tindak lanjut pelaksanaan Kongres Diaspora Indonesia pertama dan akan terbit edisi kedua dari buku ini.

Dino Patti Djalal saat peluncuran buku Life Stories, Jakarta, 18 Juli 2012


Buku Life Stories ini berisi kumpulan kisah inspiratif dari diaspora Indonesia yang pernah belajar atau bekerja di AS, baik yang masih berstatus WNI maupun yang telah menjadi warga AS.  Buku ini menggambarkan nilai-nilai dan etos hidup dari para tokoh yang menuliskan kisahnya selama di perantauan, yang menjadikan mereka menjadi tegar dan unggul. Para penulis di buku tersebut adalah tokoh-tokoh diaspora Indonesia yang sudah kembali ke Tanah Air maupun tinggal di negeri orang, tetapi mencetak prestasi dan perubahan.
Sebanyak 28 orang Indonesia menyumbangkan tulisan dan kisah mereka di dalam buku terbitan Red and White Publishing tersebut. Nampak jelas bahwa pemilihan sejumlah figur untuk menulis di dalam buku ini didasarkan pada ikon dibidangnya masing-masing, sebagai berikut Armida Alisjahbana, Bambang Sunarno, Din Syamsuddin, Dino Patti Djalal, Eduardus Halim, Edward Wanandi, Emil Salim, (alm) Endang Rahayu Sedyaningsih, Fify Manan, Gita Wirjawan, Hasan Wirajuda, Hasyim Djalal, Herry Utomo, Mari Elka Pangestu, Kuntoro Mangkusubroto, Liquica Anggraini, Makarim Wibisono, Nial Djuliarso, Peter Gontha, Rif Wiguna, Sandiaga Uno, Sehat Sutardja, Shamsi Ali, Sri Mulyani Indrawati, Sudhamek, Sumarsam, Todung Mulya Lubis, dan Zulkifli Zaini. 

Bukan hanya dari kalangan public figure yang telah dikenal luas, buku ini juga berusaha menampilkan tokoh-tokoh dispora berprestasi lainnya yang belum terlalu luas dikenal di Tanah Air. Buku setebal 369 halaman ini menampilkan kisah perjuangan tokoh-tokoh terkenal seperti Din Syamsudin, Emil Salim, Hassan Wirajuda, Kuntoro Mangkusubroto, dan Sri Mulyani. Pada saat yang bersamaan, buku ini juga memuat kisah-kisah diaspora, seperti chef Bambang Sunarno, Eduardus Halim, Liquica Anggraini, Nial Djuliarso, dan Shamsi Ali.
Dari rentetan nama para penulisnya, buku ini jelas terlihat berupaya untuk menampilkan warna-warni kisah sukses para diaspora Indonesia di Amerika Serikat dari berbagai sudut pandang, kalangan, dan zaman. Kita bisa membaca etos hidup berdiaspora Emil Salim dan Hasjim Djalal pada tahun 1950an dengan berbagai problematika teknologi transportasi dan komunikasi pada masa itu. Dengan segala problematika dan romantikanya, Hasjim Djalal mengisahkan tentang perjalanan karir dan intelektualnya hingga membuatnya menjadi ahli hukum laut terkemuka di dunia.
Sementara pada halaman lain, kita juga menemukan globalisasi telah merekayasa dunia sedemikian rupa hingga menyuguhkan tantangan berdiaspora yang berbeda bagi Liquica Anggraini dengan perusahaan busana high-end RADENRORO-nya, Shamsi Ali dengan interfaith dialogue-nya, Sandiaga Uno dengan tekad wirausaha-nya, atau Nial Djuliarso dengan musiknya. Selain itu, buku ini juga sangat kaya dengan sudut pandang. Kebanyakan dari penulis memulai sudut pandangnya sebagai penerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Amerika, tetapi kita juga menemukan sudut pandang yang berwarna, seperti Prof. Sumarsam yang berkelana dengan gamelan, Sehat Sutarja yang berhasil membangun kerajaan bisnis teknologi, hingga chef Bambang Sunarno yang melihat dunia dari cita rasa masakan.
Dengan membaca buku ini, pembaca seperti diajak memasuki perpustakaan diary tokoh-tokoh diaspora Indonesia. Beberapa dari tulisan mereka sangat menyentuh dan mengajak para pembaca untuk merasakan emosi yang sama penulisnya. Kita juga bisa melihat proses dan motivasi apa yang memicu mereka untuk berhijrah dari comfort zone-nya ke negeri yang asing dan penuh perjuangan. Nampak jelas bahwa kesuksesan para tokoh yang kita saksikan hari ini tidak dihasilkan dalam satu malam, tetapi dibangun sejak lama, ditempa dengan penuh kesabaran, dan diusahakan dengan tekad yang gigih.
Namun demikian, justru dengan menghimpun banyak kontributor penulis, buku ini juga terselip kelemahan, yakni keterampilan menulis yang tidak sama. Pada beberapa kontributor tergambar asyik dramatisasi proses perjuangan mereka yang sangat keras dalam berdiaspora. Namun pada penulis lain, proses diaspora mereka terasa hambar dan datar, padahal mungkin perjuangan yang dirasakan justru lebih dahsyat.
Selain itu, hal lain yang menonjol dari buku ini terletak pada desain sampul buku. Di antara 28 foto terbaru para kontributor, hanya dua foto lawas yang mejeng di cover buku ini, yakni foto editor dan foto Hasjim Djalal dengan memakai toga. Hal ini sengaja dilakukan mungkin untuk "mengecoh" para pembaca dengan menunjukan kemiripan wajah bapak-beranak ini.

beberapa penulis buku saat acara peluncuran

 Penutup

Namun demiian, di atas segalanya, buku ini memiliki tujuan mulia, yakni agar dapat menebarkan energi positif guna mendorong komunitas Indonesia dimana pun berada untuk menjadi suatu kekuatan sosial dan ekonomi dan menjadi bagian dari agent of chance. Harapannya buku tersebut dapat menyinari suatu hipotesis bahwa siapapun orangnya dan dimanapun ia tinggal, tidak ada yang menghalangi dirinya untuk maju dan sukses.
Buku Life Stories dengan gamblang memaparkan kepada para pembaca bahwa kesempatan sekali dalam seumur hidup untuk berada di negeri orang ternyata membuat para diaspora terbiasa untuk menerima segala tantangan, cobaan dan godaan, justru ketika berada jauh dari tanah kelahiran. Setiap tokoh diaspora mempunyai resep dan etos yang berbeda. Namun, apapun latar belakangnya dan kapanpun zamannya, semuanya punya benang merah yang sama: mereka punya mimpi dan tekad yang kuat untuk maju, mereka gigih mencapai tujuan, mereka siap jatuh bangun dan tidak kecut menghadapi tantangan, mereka menangkap peluang, mereka pernah gagal tetapi lihai berimprovisasi, dan mereka instrospektif dan berpikiran terbuka (open minded).
Kongres Diaspora Indonesia dan buku Life Stories Resep Sukses dan Etos Hidup Diaspora Indonesia di Negeri Orang ini setidaknya meninggalkan tiga hal penting bagi kita. Pertama, diaspora Indonesia mulai terbit kesadaran (self awareness) untuk berjejaring dan mengubah potensi menjadi energi positif bagi kemajuan bangsa. Kedua, membuka mata pemerintah dan bangsa Indonesia di Tanah Air untuk memberikan apresiasi terhadap keberadaan diaspora Indonesia serta mengubah paradigma pendekatan legalistik yang kaku untuk mendefinisikan "orang Indonesia". Ketiga, buku Life Stories juga meningkatkan dorongan dan motivasi yang deras bagi para anak bangsa untuk menguatkan tekad berdiaspora, tidak hanya bagi dirinya sendiri, tapi juga memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia kelak.
Akhirnya, buku Life Stories juga mengingatkan kita bahwa setiap pemimpin Indonesia dulu dan hari ini bahkan pemimpin besar dunia menyimpan semangat berdiaspora. Semangat berdiaspora bukan hanya memindahkan raga kita dari satu negeri ke negeri yang lain, tetapi one way ticket untuk sukses, etos kerja yang pantang menyerah, dan ambisi untuk berhasil. Kini pertanyaan bagi kita, apakah kita mewarisi semangat itu?***

Sabtu, 18 Februari 2012

Dampak Krisis Suriah bagi Palestina


Setelah Dewan Keamanan (DK) PBB gagal mengeluarkan resolusi (4/2), kini giliran Majelis Umum (MU) PBB berhasil melahirkan resolusi mengutuk pelanggaran HAM berat serta menuntut penghentian kekerasan di Suriah (17/2). Voting MU PBB dimenangkan telak dengan 137 memilih "ya", 12 "tidak", dan 17 abstain. Meskipun tidak mengikat seperti resolusi DK PBB, resolusi MU PBB ini merupakan simbol suara masyarakat internasional bahwa kekerasan rezim Presiden Bashar al-Assad di Suriah terhadap rakyatnya harus segera dihentikan.
Sama seperti yang terjadi di Dewan Keamanan (DK) PBB, Rusia dan China—sekutu lawas Suriah—menentang mati-matian resolusi MU PBB tersebut. Bahkan Rusia dan China sudah dua kali memveto draf resolusi DK PBB terhadap Suriah, yakni pada Oktober 2011 dan Feburari 2012.  Sebelumnya, Liga Arab telah menarik tim pemantau dari Suriah (28/1) dan gagal menekan Presiden Assad untuk mundur. AS, Inggris, Perancis, dan Tunisia telah menarik duta besarnya di Damaskus dan mencabut pengakuannya terhadap rezim Assad (6/2). Sementara, Tunisia memulai prosedur pengusiran Duta Besar Suriah dan menyerukan agar menggusur Dubes-dubes Suriah dari negara-negara Arab.

Presiden Palestina, Mahmoud Abbas

Geopolitik Suriah
Berbeda dengan intervensi militer terhadap Libya, tindakan Rusia dan China menggunakan hak vetonya di DK PBB dan menentang resolusi MU PBB bukan disebabkan oleh faktor ekonomi. Suriah bukan negara minyak dan tidak memiliki aset miliaran dollar AS di luar negeri. Bahkan menurut Atawan (2012), Rusia dan China tidak membela rezim Assad, tetapi lebih ingin membangun etika politik agar tidak terjadi kesewenang-wenangan di kancah internasional, seperti resolusi terhadap Libya pada Maret 2011 yang membuat NATO turun tangan membantu pemberontak guna menggulingkan Qadafi. Rusia dan China berupaya menghentikan hegemoni Barat dan ingin membangun peta kekuatan baru yang lebih berimbang di pentas internasional, sekaligus ingin mengamankan kepentingannya pada posisi geopolitik Suriah yang sangat strategis.
Politik luar negeri Suriah dibentuk oleh geopolitik strategis yang dikenal dengan "Visi Lima Lautan", sebuah strategi yang diluncurkan Presiden Assad pada 2004 dengan memaksimalkan posisi strategis Suriah sebagai pusat jaringan energi dan perdagangan yang menghubungkan Laut Kaspia, Laut Hitam, Laut Tengah, Laut Merah, dan Teluk Arab. Kebijakan ini memproyeksikan sebuah jaringan operasi melalui Suriah untuk transfer minyak dan gas, barang, tenaga kerja, dan ide yang menghubungkan Kaukasus di utara dengan Teluk Arab di selatan, Iran di timur, dan Eropa di barat.
Sejak 2004, Assad mengembangkan “Visi Lima Lautan” dengan berkeliling ke negara-negara yang concern terhadap lima lautan, seperti Azerbaijan (Laut Kaspia); Rumania, Bulgaria, dan Ukraina (Laut Hitam); Siprus, Yunani, dan negara lainnya (Laut Tengah); dan terus menarik investasi Eropa. Dengan demikian, akan sulit bagi Barat atau NATO untuk mengisolasi Suriah, dikarenakan setiap kerusakan akan menimbulkan efek domino di Turki, Irak, Rumania, Azerbaijan, Ukraina dan negara-negara yang terhubung melalui Suriah.
Strategi yang serupa juga pernah digunakan oleh Dinasti Umayah (661—750 M) dalam mengontrol rute perdagangan hingga mencapai India, Cina, Afrika Utara, dan Spanyol. Umayah dikenal sebagai imperium muslim pertama yang dikenal unggul dalam perdagangan daripada sebagai penakluk militer. Suriah, sebagai anak kandung dinasti Umayah, melihat sangat mungkin untuk menghubungkan kembali lautan strategis tersebut.

Suriah dalam peta dunia

Melihat fakta yang ada, nampaknya akan sulit bagi Rusia-China untuk melepaskan pelukan eratnya kepada Suriah, mengingat nilai tawar geopolitik Suriah yang sangat tinggi dan menghitung cost ekonomi yang akan ditanggung. Dengan demikian, krisis Suriah diperkirakan akan semakin panjang dan rumit serta berdampak besar bagi keamanan kawasan, khususnya Palestina.

Arab Spring dan Palestina
                Suriah selama ini mengklaim sebagai satu-satunya negara Arab yang masih menaruh perhatian besar kepada Palestina berdasarkan Pan-Arabisme. Perang Gaza 2006 dipandang sebagai kemenangan Damaskus dimana Suriah mendukung koalisi Hamas-Hizbullah, sementara Mesir malah membantu Israel mengepung Gaza dan negara Arab lainnya memilih bungkam. Suriah juga merupakan sponsor utama Hamas, di mana markas besar Hamas berada di Damaskus, meskipun dikabarkan akan pindah karena gejolak konflik yang berkepanjangan.
Krisis Suriah yang merupakan seri dari rangkaian Arab Spring dapat dipandang sebagai  runtuhnya rezim-rezim representasi dari visi tua Pan-Arabisme yang diwakili oleh Ben Ali (Tunisia), Mubarak (Mesir), dan  Qadafi (Libya).  Setelah tumbangnya rezim Qadafi di Libya, bisa dikatakan bahwa Suriah merupakan satu-satunya negara pengusung Pan-Arabisme yang tersisa.

Presiden Suriah, Bashar Al-Assad

Namun sayangnya, Fatah di Palestina juga merupakan bagian dari kelompok yang tengah bangkrut ini. Fatah yang lahir dari euforia ideologi Pan-Arabisme memandang Palestina sebagai negara-bangsa Arab bagian dari dunia Arab sekuler. Dengan kata lain, jika kita berbicara tentang gerakan nasionalisme Palestina sebagai gerakan sekuler, maka secara tidak langsung sedang mengisolasi Palestina dari tren yang lebih luas di kawasan; dimana meningkatnya gejala religiositas-politik dan secara bersamaan tumbuhnya mistrust terhadap rezim penguasa sekuler (Friedman, 2011).
Menyadari realita tersebut, Fatah kembali mengumumkan rekonsiliasi dengan kelompok Islamis Hamas di Doha (6/2/12) dan kedua faksi sepakat untuk membentuk pemerintahan bersatu di Tepi Barat dan Gaza yang akan dipimpin sementara oleh Presiden Mahmoud Abbas hingga terselenggara pemilu legislatif dan Presiden. Rekonsiliasi ini merupakan terobosan di tengah kebuntuan perundingan Palestina-Israel setahun terakhir dan pasca penolakan proposal keanggotaan Palestina di PBB.
Akhirnya, baik Fatah maupun Hamas menyadari betul bahwa solusi konflik Palestina-Israel ditentukan oleh kekuatan Palestina sendiri, bukan oleh Suriah atau bangsa lain. Sementara, krisis Suriah dengan jelas mempertontonkan kejatuhan benteng terakhir Pan-Arabisme, sekaligus remuk redamnya persatuan Arab untuk kesekian kalinya. Ke depan diperkirakan, negara-negara Arab akan semakin inward-looking di tengah berkecamuknya gejolak Arab Spring yang serba tidak terduga ini.

Minggu, 05 Februari 2012

Refleksi Revolusi Mesir

dimuat di Republika, 6 Februari 2012


Sejak digelindingkan setahun yang lalu oleh para pemuda di lapangan Tahrir, gelombang perubahan di Mesir telah menuai hasil yang berarti. Pengunduran diri Presiden Mubarak (11/2/11), pengadilan Mubarak dan anak-anaknya, pembebasan tahanan-tahanan politik, dan penyelenggaraan pemilu legislatif (Majelis Shaab) yang bebas dan transparan, dan pencabutan “status darurat” yang berlaku sejak 1981 oleh Dewan Militer. Meskipun demikian, pada peringatan setahun revolusi 25 Januari, rakyat kembali berkumpul dan menyerukan pengalihan kekuasaan dari militer ke sipil. Namun, Dewan Militer Mesir masih menunda penyerahan kekuasaan ke pemerintahan sipil hingga pemilihan presiden pada Juni mendatang.


demonstrasi di Tahrir (sumber: wikipedia)

Mencermati revolusi Mesir, sifat dari krisis politik tersebut memiliki kemiripan dengan krisis politik yang melanda Indonesia pada tahun 1997—1998. Diawali dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru, gerakan reformasi terjaga momentumnya dengan menjamin kebebasan pers, pembebasan tahanan-tahanan politik, penyelenggaraan pemilu 1999, serangkaian amandemen UUD 1945, otonomi daerah, serta berbagai perbaikan kebijakan dan regulasi.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dan berpenduduk Muslim terbesar di dunia, pengalaman Indonesia dalam dasawarsa pertama reformasinya telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai suatu keberhasilan dalam mentransformasikan diri dari negara otoritarian menjadi negara full-fledged democracy. Oleh karena itu, Indonesia kiranya dapat berbagi pengalaman dalam pengelolaan proses transisi politik kepada Mesir dan negara-negara yang dilanda Arab Spring, agar guliran transisi politik berujung demokratis serta lekas memulihkan keamanan dan perdamaian.



mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR (sumber: http://rizkyherjulian.blogspot.com)


Intermestik dan Pelajaran bagi Indonesia
Sementara di sisi lain, penyelenggaraan diplomasi dan hubungan luar negeri bukan hanya ditujukan untuk memproyeksikan kepentingan kita ke luar negeri, tetapi juga untuk mengkomunikasikan berbagai perkembangan di dunia internasional kepada masyarakat di dalam negeri (intermestic) (Putnam, 1998). Oleh karena itu, terdapat kepentingan yang menonjol untuk memahami perubahan di Mesir dan kawasan yang dilanda Arab Spring dalam menghadapi berbagai isu domestik dan demikian pula sebaliknya. Dengan memperhatikan secara seksama dimensi intermestik, terdapat beberapa pelajaran yang dapat dipetik Indonesia dari revolusi Mesir.
Pertama, mengutamakan konstitusi sebagai motor dari setiap perubahan (constitutional engineering). Sengkarut krisis politik di Mesir semakin rumit karena perpindahan kekuasaan (transfer of power) berlangsung tidak sejalan dengan Konstitusi 1971. Menurut Konstitusi 1971, transfer of power seharusnya diberikan dari Presiden kepada Wapres atau Ketua Mahkamah Agung yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pemilu dalam 60 hari. Namun yang terjadi, kini kekuasaan di Mesir dipegang oleh Panglima Militer Marsekal Husein Tantawi. Dengan kata lain, Dewan Militer berkuasa di Mesir tidak berbekal legitimasi politik dari konstitusi, melainkan dari jalanan.


Tantawi berpidato dalam memperingati setahun revolusi 25 Januari (sumber: http://www.yourmiddleeast.com)

Sementara, perkembangan model sistem hukum abad ke-21 di berbagai belahan dunia menunjukan bahwa sistem hukum dunia bergerak menuju supremasi konstitusi. Proses reformasi Indonesia yang terus mengutamakan supremasi konstitusi dan constitutional engineering berhasil mengantarkan Indonesia membangun dan mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil hingga hari ini. UUD 1945, sebagai salah satu pilar NKRI, harus terus dipertahankan sebagai landasan dari semua perubahan dan aktivitas kenegaraan di Indonesia.
Kedua, merevitalisasi pendidikan kewarganegaraan (civic education) melalui media sosial. Terinspirasi dari revolusi Jasmine di Tunisia, revolusi 25 Januari di Mesir pun “dirancang” dan digerakan melalui jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Bukan hanya memberikan “ruang” sarana ekspresi, komunikasi, dan koordinasi di antara para demonstran di dalam negeri, jejaring sosial juga menjadi sarana bertukar informasi dengan para simpatisan di luar negeri. Tidak terelakan bahwa gerakan “youth-led” dan “technology-enabled” telah menjadi gebrakan politik paling dramatis setelah runtuhnya Tembok Berlin.


jejaring sosial

Lebih jauh lagi, media sosial merupakan salah satu fenomena globalisasi yang telah membangun jembatan dialog antar-manusia, dengan tanpa mengenal strata dan kelas dalam masyarakat, serta melintas batas negara dan wilayah. Jembatan dialog tersebut secara langsung dan tidak langsung telah pula mengembangkan demokrasi dan “civic education”, dimana nilai-nilai (values) dan kebajikan-kebajikan (virtues) saling dipersamakan, diselaraskan, dan juga diperbedakan.
Di Indonesia, gerakan berbasis jejaring sosial juga telah menunjukan pengaruhnya yang signifikan, seperti pada kasus Prita dan Bibit-Chandra. Sebagai negara dengan pengguna facebook terbesar kedua dan twitter terbesar ketiga, pemuda Indonesia dapat dikatakan paling terhubung (most connected) di dunia. Maka dari itu, fenomena Arab Spring menyadarkan bahwa Indonesia sangat berpeluang besar untuk menjadikan teknologi informasi sebagai wahana revitalisasi civic education, yakni sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi nilai demokrasi serta pendidikan tentang hak dan kewajiban warganegara.
Ketiga, mempertegas gelombang kedua reformasi. Era reformasi yang dimulai pada 1998 telah mengubah secara fundamental peradaban Indonesia dan mencapai “point of no return.” Revolusi di Mesir mengingatkan kita bahwa perubahan (reform) tidak boleh terhenti bahkan harus dipertegas dalam reformasi gelombang kedua.
Reformasi gelombang kedua dapat dimaknai bahwa Indonesia terus menerus berada pada proses perbaikan dan upaya penguatan hakikat demokrasi, konsolidasi demokrasi (consolidated democracy) guna memastikan demokrasi yang menyejahterakan rakyat (democracy that delivers). Meminjam istilah Presiden SBY, gelombang kedua reformasi menekankan bagaimana menjadikan demokrasi sebagai bagian dari sistem nilai, bukan hanya sekedar bagian dari sistem politik, yang berdasarkan pilar kesejahteraan, demokrasi, dan keadilan.


Penutup
Bercermin dari revolusi Mesir dan Arab Spring, Indonesia dapat mengambil pelajaran untuk mengukuhkan constitutional engineering, merevitalisasi civic education, dan memastikan demokrasi yang menyejahterakan. Mencermati kemiripan antara krisis politik Mesir (2011) dengan Indonesia (1998), peringatan setahun revolusi Mesir sesungguhnya dapat dijadikan momentum untuk menyegarkan kembali ingatan masyarakat Indonesia akan tuntutan dan tujuan reformasi, serta memacu reformasi pada gelombang berikutnya. Bukankah perbaikan (reform) adalah proses sepanjang hayat dan seumur bangsa?*** 





Jumat, 30 Desember 2011

"Islamist Spring"

dimuat di Radar Banten, 30 Desember 2011
Setahun yang lalu, sejak dimulai pada akhir tahun 2010, gelombang perubahan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (Arab Spring) telah menuai hasil. Rezim otoritarian di Tunisia, Mesir, dan Libya bertumbangan. Disusul oleh suksesnya penyelenggaraan pemilu di Tunisia dan Maroko, serta pemilu di Mesir yang masih berlangsung. Sementara gejolak politik (political unrest) terus berkecamuk di Suriah, Yaman, dan beberapa negara lain di kawasan dalam derajat dan penanganan yang berbeda-beda.

Hasil pemilu di Tunisia, Maroko, dan Mesir (sementara) menunjukan fenomena menarik di negara-negara yang dilanda Arab Spring, yakni kebangkitan kelompok Islamis di negara-negara tersebut. Pemilu di Tunisia, negara asal Arab Spring, pasca tumbangnya Presiden Ben Ali (23/10) dimenangkan oleh Partai Islamis an-Nahda (40%). Sementara, sesuai referendum Juli 2011, Maroko menyelenggarakan pemilu dan dimenangkan juga oleh kelompok Islamis Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD). Raja Maroko Muhammad VI menunjuk pemimpin PJD, Abdelilah Benkirane, sebagai perdana menteri.

seseorang mengacungkan kitab Al-Quran di tengah kerumunan massa di Mesir


Di Mesir, hasil sementara pemilu legislatif menunjukan dua partai Islamis keluar sebagai pemenangnya. Adalah Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), sayap politik Ikhwanul Muslimin (IM), organisasi pergerakan dakwah dan sosial yang selama puluhan tahun dilarang di Mesir dan ditekan rezim Nasser, Sadat, dan Mubarak, meraup setidaknya 40% suara. Pasca jatuhnya Mubarak, IM telah mengakhiri alienasinya dengan sistem demokrasi dan bergabung dengan barisan Islamis di kawasan, yaitu AKP di Turki, an-Nahda di Tunisia, dan PJD di Maroko. Partai al-Nur yang mewakili kelompok Islam konservatif Salafi mengklaim mengamankan 20% total suara pada pemilu Mesir.

Bendera Partai Keadilan dan Kebebasan (FJP) dibawa oleh seorang kader perempuan Mesir.
 FJP merupakan sayap politik Ikhwanul Muslimin.

Ironisnya, kelompok liberal yang memotori Revolusi 25 Januari di lapangan Tahrir hanya memperoleh suara resesif pada pemilu Mesir. Sehingga di antara blok kekuatan politik Mesir kontemporer—militer, Islamis, dan liberal—kelompok terakhir merupakan yang paling lemah.

Dalam derajat yang berbeda, pemimpin Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya, Mustafa Abdul Jalil berjanji akan membangun Libya sebagai negara modern berdasarkan Islam moderat (13/9). Pasca tewasnya Qadafi di tangan milisi, NTC telah membentuk pemerintahan sementara dan tengah mempersiapkan pemilu dalam beberapa bulan ke depan.

Peta Turki dan Iran: dua Islamis di kawasan

Sementara itu, Iran dan Turki sebagai dua kekuatan Islamis existing di kawasan semakin meningkatkan leverage politik luar negerinya. Iran tengah berupaya meningkatkan posisinya berkaitan dengan penarikan tentara AS dari Irak. Ditambah lagi dengan klaim penembakan pesawat mata-mata militer AS oleh Iran (14/12) dan retorika perang Iran-Israel yang kian panas.


PM Turki Erdogan (ki) dan Presiden Iran Ahmadinejad (ka)


Turki kini menjadi model demokrasi di Dunia muslim. PM Turki Ergodan disambut dengan sangat meriah saat berkunjung ke Mesir (13/9). Citra Turki semakin melambung setelah menurunkan tingkat hubungan diplomatiknya dengan Israel hingga tingkat paling rendah, yakni tingkat Sekretaris II, sebagai buntut penolakan permintaan maaf Israel atas kasus penyerangan kapal Mavi Marmara pada Mei 2010.


Penyambutan PM Erdogan di Mesir pada 13 September 2011


Islamis, politik, dan demokrasi

Selama ini. kekhawatiran kelompok Islamis akan menguasai pemerintahan telah menjadi penghalang demokratisasi di negara-negara otoritarian muslim. Oleh sebab itu, momentum Arab Spring dinilai sangat menguntungkan bagi kelompok Islamis sebagai gerakan paling terorganisir dan terkonsolidasi di negara-negara tersebut.

Dari gejala tersebut, nampaknya Arab Spring yang digelindingkan oleh kelompok liberal semakin bertransformasi menjadi “Islamist Spring”. Fenomena ini menunjukan setidaknya tiga hal. Pertama, kemenangan Islamis pada melalui pemilu demokratis menegaskan kompatibilitas antara Islam dan demokrasi. “Islamist Spring” juga mengukuhkan bahwa demokratisasi juga tidak selalu membawa kelompok liberal demokrat pada kekuasaan. Atau meminjam istilah Friedman (2011), gejolak tidak selalu mengarah pada revolusi, sebuah revolusi tidak selalu mengarah demokrasi, dan demokrasi tidak selalu mengarah pada model Eropa atau Amerika.

Kedua, kemenangan (sementara) FJP di Mesir, PJF di Maroko, dan an-Nahda di Tunisia, serta the ruling party AKP di Turki, menandai transformasi ideologi dan aktivitas Islamisme kontemporer. Bubalo (2008) menyebutnya sebagai pergeseran dari “negara” ke “nilai" syariah dan pergeseran dari pemerintahan Islam ke tata pemerintahan yang baik (good governance). Hal ini terlihat dari perilaku kelompok Islamis yang menghindari retorika tentang Islam dengan cara menyampaikan pesan yang lebih inklusif tentang kesetaraan sosial dan pemerintahan bersih, juga berfokus ke isu pemberantasan korupsi dan pemulihan ekonomi pasca revolusi.


Bubalo dalam Zealous Democrats berkesimpulan bahwa
terjadi pergeseran-pergeseran sistemis pada ideologi dan aktivitas Islamisme



Ketiga, kemenangan Islamis dapat dipastikan akan mempengaruhi konstelasi dan konfigurasi kekuatan politik di kawasan, serta orientasi politik luar negeri negara-negara tersebut, khususnya pada isu Palestina. Meskipun demikian, politik juga membawa kelompok Islamis menjejak realita dimana dibutuhkan keterampilan untuk berkompromi dalam koalisi pemerintahan dan menghadapi aktivitas politik keseharian.



Peran strategi Indonesia
Fenomena “Islamist Spring” ini dapat menimbulkan resistensi Barat untuk menerima eksistensi dan agenda kelompok Islamis pemenang pemilu. Maka pada titik inilah, Indonesia perlu secara berkesinambungan engage dengan proses demokratisasi di kawasan tersebut dan memainkan peran strategisnya, yaitu sebagai image builder.

Tidak hanya “meluruskan yang bengkok” tentang Indonesia, akses strategis Indonesia kepada Barat dan dunia muslim juga dapat dimanfaatkan untuk menjembatani antara keduanya. Untuk menghindari kasus isolasi Hamas pasca pemilu Palestina 2006, Indonesia dapat meyakinkan Barat untuk menerima kelompok Islamis moderat yang memenangkan pemilu pasca Arab Spring. Dan sebaliknya, Indonesia dapat berbicara dengan kelompok Islamis untuk memajukan memajukan warna Islam moderat dan mengukuhkan the global coalition of moderates.***