dimuat di Radar Banten, 30 Desember 2011 |
Setahun yang lalu, sejak dimulai pada akhir tahun 2010,
gelombang perubahan di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara (Arab Spring) telah menuai hasil. Rezim otoritarian
di Tunisia, Mesir, dan Libya bertumbangan. Disusul oleh suksesnya penyelenggaraan
pemilu di Tunisia dan Maroko, serta pemilu di Mesir yang masih berlangsung. Sementara
gejolak politik (political unrest)
terus berkecamuk di Suriah, Yaman, dan beberapa negara lain di kawasan dalam derajat
dan penanganan yang berbeda-beda.
Hasil pemilu di Tunisia, Maroko, dan Mesir (sementara)
menunjukan fenomena menarik di negara-negara yang dilanda Arab Spring, yakni kebangkitan kelompok Islamis di negara-negara tersebut.
Pemilu di Tunisia, negara asal Arab
Spring, pasca tumbangnya Presiden Ben Ali (23/10) dimenangkan oleh Partai Islamis
an-Nahda (40%). Sementara, sesuai referendum Juli 2011, Maroko menyelenggarakan pemilu dan dimenangkan juga oleh kelompok Islamis Partai Keadilan dan Pembangunan (PJD). Raja Maroko Muhammad VI menunjuk pemimpin PJD, Abdelilah Benkirane, sebagai perdana menteri.
seseorang mengacungkan kitab Al-Quran di tengah kerumunan massa di Mesir |
Di Mesir, hasil sementara pemilu legislatif menunjukan dua partai Islamis keluar sebagai pemenangnya. Adalah Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), sayap politik Ikhwanul Muslimin (IM), organisasi pergerakan dakwah dan sosial yang selama puluhan tahun dilarang di Mesir dan ditekan rezim Nasser, Sadat, dan Mubarak, meraup setidaknya 40% suara. Pasca jatuhnya Mubarak, IM telah mengakhiri alienasinya dengan sistem demokrasi dan bergabung dengan barisan Islamis di kawasan, yaitu AKP di Turki, an-Nahda di Tunisia, dan PJD di Maroko. Partai al-Nur yang mewakili kelompok Islam konservatif Salafi mengklaim mengamankan 20% total suara pada pemilu Mesir.
Bendera Partai Keadilan dan Kebebasan (FJP) dibawa oleh seorang kader perempuan Mesir. FJP merupakan sayap politik Ikhwanul Muslimin. |
Dalam derajat yang berbeda, pemimpin Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya, Mustafa Abdul Jalil berjanji akan membangun Libya sebagai negara modern berdasarkan Islam moderat (13/9). Pasca tewasnya Qadafi di tangan milisi, NTC telah membentuk pemerintahan sementara dan tengah mempersiapkan pemilu dalam beberapa bulan ke depan.
Sementara itu, Iran dan Turki sebagai dua kekuatan Islamis existing di kawasan semakin meningkatkan leverage politik luar negerinya. Iran tengah berupaya meningkatkan posisinya berkaitan dengan penarikan tentara AS dari Irak. Ditambah lagi dengan klaim penembakan pesawat mata-mata militer AS oleh Iran (14/12) dan retorika perang Iran-Israel yang kian panas.
PM Turki Erdogan (ki) dan Presiden Iran Ahmadinejad (ka) |
Turki kini menjadi model demokrasi di Dunia muslim. PM Turki Ergodan disambut dengan sangat meriah saat berkunjung ke Mesir (13/9). Citra Turki semakin melambung setelah menurunkan tingkat hubungan diplomatiknya dengan Israel hingga tingkat paling rendah, yakni tingkat Sekretaris II, sebagai buntut penolakan permintaan maaf Israel atas kasus penyerangan kapal Mavi Marmara pada Mei 2010.
Selama ini. kekhawatiran kelompok Islamis akan menguasai pemerintahan telah menjadi penghalang demokratisasi di negara-negara otoritarian muslim. Oleh sebab itu, momentum Arab Spring dinilai sangat menguntungkan bagi kelompok Islamis sebagai gerakan paling terorganisir dan terkonsolidasi di negara-negara tersebut.
Dari gejala tersebut, nampaknya Arab Spring yang digelindingkan oleh kelompok liberal semakin bertransformasi
menjadi “Islamist Spring”. Fenomena ini
menunjukan setidaknya tiga hal. Pertama, kemenangan Islamis pada melalui pemilu demokratis menegaskan
kompatibilitas antara Islam dan demokrasi. “Islamist Spring” juga mengukuhkan bahwa demokratisasi juga tidak selalu membawa
kelompok liberal demokrat pada kekuasaan. Atau meminjam istilah Friedman (2011),
gejolak tidak selalu mengarah pada revolusi, sebuah revolusi tidak selalu mengarah
demokrasi, dan demokrasi tidak selalu mengarah pada model Eropa atau Amerika.
Kedua, kemenangan (sementara) FJP di Mesir, PJF di Maroko, dan an-Nahda di Tunisia, serta the ruling party AKP di Turki, menandai transformasi ideologi dan aktivitas Islamisme kontemporer. Bubalo (2008) menyebutnya sebagai pergeseran dari “negara” ke “nilai" syariah dan pergeseran dari pemerintahan Islam ke tata pemerintahan yang baik (good governance). Hal ini terlihat dari perilaku kelompok Islamis yang menghindari retorika tentang Islam dengan cara menyampaikan pesan yang lebih inklusif tentang kesetaraan sosial dan pemerintahan bersih, juga berfokus ke isu pemberantasan korupsi dan pemulihan ekonomi pasca revolusi.
Bubalo dalam Zealous Democrats berkesimpulan bahwa terjadi pergeseran-pergeseran sistemis pada ideologi dan aktivitas Islamisme |
Ketiga, kemenangan
Islamis dapat dipastikan akan mempengaruhi
konstelasi dan konfigurasi kekuatan politik di kawasan, serta orientasi politik luar negeri negara-negara tersebut, khususnya pada isu Palestina. Meskipun demikian, politik juga membawa kelompok Islamis menjejak realita dimana dibutuhkan keterampilan untuk berkompromi dalam koalisi pemerintahan dan menghadapi aktivitas politik keseharian.
Peran strategi Indonesia
Fenomena “Islamist
Spring” ini dapat menimbulkan resistensi Barat untuk menerima eksistensi dan
agenda kelompok Islamis pemenang pemilu. Maka pada titik inilah, Indonesia perlu
secara berkesinambungan engage dengan
proses demokratisasi di kawasan tersebut dan memainkan peran strategisnya,
yaitu sebagai image builder.
Tidak hanya “meluruskan yang bengkok” tentang Indonesia, akses strategis Indonesia kepada Barat dan dunia muslim juga dapat dimanfaatkan untuk menjembatani antara keduanya. Untuk menghindari kasus isolasi Hamas pasca pemilu Palestina 2006, Indonesia dapat meyakinkan Barat untuk menerima kelompok Islamis moderat yang memenangkan pemilu pasca Arab Spring. Dan sebaliknya, Indonesia dapat berbicara dengan kelompok Islamis untuk memajukan memajukan warna Islam moderat dan mengukuhkan the global coalition of moderates.***
Tidak hanya “meluruskan yang bengkok” tentang Indonesia, akses strategis Indonesia kepada Barat dan dunia muslim juga dapat dimanfaatkan untuk menjembatani antara keduanya. Untuk menghindari kasus isolasi Hamas pasca pemilu Palestina 2006, Indonesia dapat meyakinkan Barat untuk menerima kelompok Islamis moderat yang memenangkan pemilu pasca Arab Spring. Dan sebaliknya, Indonesia dapat berbicara dengan kelompok Islamis untuk memajukan memajukan warna Islam moderat dan mengukuhkan the global coalition of moderates.***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar