Rabu, 08 Agustus 2012

Diaspora Dari dan Untuk Indonesia

RESENSI BUKU

Judul
:
Life Stories Resep Sukses dan Etos Hidup Diaspora Indonesia di Negeri Orang
Penulis buku
:
Dr. Dino Patti Djalal
Penerbit
:
Red and White Publishing
Bahasa
:
Indonesia
Jumlah halaman
:
369 halaman
Tahun penerbitan
:
2012
Pembuat resensi
:
AM. Sidqi

Sampul buku Life Stories
Resensi buku ini dimuat juga di Jurnal Diplomasi vol. 2012,
terbitan Pusdiklat Kementerian Luar Negeri

Diaspora adalah sebuah kata yang kurang lazim kita dengar. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan "diaspora" sebagai “masa tercerai-berainya suatu bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki negara, misal bangsa Yahudi sebelum negara Israel berdiri pada tahun 1948.” Pada konteks ini, diaspora Indonesia dapat diartikan sebagai orang yang berdarah Indonesia atau merasa sebagai orang Indonesia dimanapun mereka berada, tanpa melihat status kewarganegaraannya. Namun, setelah penyelenggaraan Kongres Diaspora Indonesia 6—8 Juli 2012 di Los Angeles, kata diaspora ibarat mantra sakti yang diulang-ulang untuk menggambarkan suatu petulangan yang lekat dengan kesuksesan.
Sudah menjadi kelaziman bahwa pendatang cenderung lebih sukses daripada warga setempat. Pendatang merantau dari daerah asalnya dengan mengorbankan banyak hal dan tidak memiliki pilihan untuk bertahan hidup, selain menjadi orang sukses; begitu pun diaspora Indonesia. Berbicara dalam banyak bahasa, komunitas ini lebih terpapar oleh dunia luar dan cenderung berpikiran terbuka (open minded), risk taker, terbiasa berkompetisi, dan tidak ada pilihan lain untuk bertahan hidup di negeri orang, selain meraih kesuksesan.
Mengutip pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada pembukaan Kongres Diaspora Indonesia, selama berabad-abad, bangsa Indonesia telah dikenal luas sebagai pelaut dan petualang yang hebat. Dengan menggunakan perahu bercadik dan berbekal keberanian, para nenek moyang bangsa Indonesia menerjang ombak, mengarungi samudera, dan singgah di kota-kota penting dunia, mulai dari Australia, Kepulauan Pasifik barat daya, Madagaskar, Kaledonia Baru, Afrika Selatan, hingga Belanda dan Suriname. Para nenek moyang sang pelaut ini merupakan gelombang pertama diaspora Indonesia.
Kini pada abad ke-21, diaspora Indonesia tidak hanya sekedar petualang tetapi telah menjadi suatu komunitas besar yang dinamis yang pernuh dengan potensi dan sumber daya. Diaspora Indonesia kini tersebar di berbagai penjuru dunia. Diaspora Indonesia juga mewarnai beragam profesi dan aktivitas mulai dari tenaga kerja berketerampilan tinggi, pekerja di sektor informal, politisi, budayawan, wirausahawan, pendidik, inovator, kontraktor, ahli minyak dan gas, awak kapal, olahragawan, mahasiswa, rohaniwan dan masih banyak lagi. 
Pada Kongres Diaspora Indonesia juga, Dubes Dino Patti Djalal menyampaikan suatu fakta yang mengejutkan bahwa jumlah diaspora Indonesia lebih banyak dari yang kita pikirkan. Bukan hanya 3.5 juta orang, tetapi lebih dari 6—8 juta bahkan hampir mungkin lebih dari 10 juta orang Indonesia berdiaspora. Jumlah ini hampir sama dengan jumlah penduduk Swedia atau Austria. Bahkan jumlah diaspora Indonesia di seluruh dunia lebih besar dibandingkan dengan diaspora Korea atau Vietnam. Jumlah terbanyak diaspora Indonesia diduga berada di Belanda, Singapura, Australia, Malaysia, Madagaskar, Suriname, Afrika Selatan, Mesir, Saudi, dan negara-negara Arab lainnya.

Diary diaspora Indonesia

Tidak lama setelah terselenggaranya Kongres Diaspora Indonesia, Duta Besar RI untuk Amerika Serikat, Dr. Dino Patti Djalal, selaku editor meluncurkan buku “Life Stories: Resep Sukses dan Etos Hidup Diaspora Indonesia di Negeri Orang” pada 18 Juli 2012 di Jakarta. Buku diaspora Indonesia pertama yang disusun dalam waktu empat bulan ini merupakan bagian dari tindak lanjut pelaksanaan Kongres Diaspora Indonesia pertama dan akan terbit edisi kedua dari buku ini.

Dino Patti Djalal saat peluncuran buku Life Stories, Jakarta, 18 Juli 2012


Buku Life Stories ini berisi kumpulan kisah inspiratif dari diaspora Indonesia yang pernah belajar atau bekerja di AS, baik yang masih berstatus WNI maupun yang telah menjadi warga AS.  Buku ini menggambarkan nilai-nilai dan etos hidup dari para tokoh yang menuliskan kisahnya selama di perantauan, yang menjadikan mereka menjadi tegar dan unggul. Para penulis di buku tersebut adalah tokoh-tokoh diaspora Indonesia yang sudah kembali ke Tanah Air maupun tinggal di negeri orang, tetapi mencetak prestasi dan perubahan.
Sebanyak 28 orang Indonesia menyumbangkan tulisan dan kisah mereka di dalam buku terbitan Red and White Publishing tersebut. Nampak jelas bahwa pemilihan sejumlah figur untuk menulis di dalam buku ini didasarkan pada ikon dibidangnya masing-masing, sebagai berikut Armida Alisjahbana, Bambang Sunarno, Din Syamsuddin, Dino Patti Djalal, Eduardus Halim, Edward Wanandi, Emil Salim, (alm) Endang Rahayu Sedyaningsih, Fify Manan, Gita Wirjawan, Hasan Wirajuda, Hasyim Djalal, Herry Utomo, Mari Elka Pangestu, Kuntoro Mangkusubroto, Liquica Anggraini, Makarim Wibisono, Nial Djuliarso, Peter Gontha, Rif Wiguna, Sandiaga Uno, Sehat Sutardja, Shamsi Ali, Sri Mulyani Indrawati, Sudhamek, Sumarsam, Todung Mulya Lubis, dan Zulkifli Zaini. 

Bukan hanya dari kalangan public figure yang telah dikenal luas, buku ini juga berusaha menampilkan tokoh-tokoh dispora berprestasi lainnya yang belum terlalu luas dikenal di Tanah Air. Buku setebal 369 halaman ini menampilkan kisah perjuangan tokoh-tokoh terkenal seperti Din Syamsudin, Emil Salim, Hassan Wirajuda, Kuntoro Mangkusubroto, dan Sri Mulyani. Pada saat yang bersamaan, buku ini juga memuat kisah-kisah diaspora, seperti chef Bambang Sunarno, Eduardus Halim, Liquica Anggraini, Nial Djuliarso, dan Shamsi Ali.
Dari rentetan nama para penulisnya, buku ini jelas terlihat berupaya untuk menampilkan warna-warni kisah sukses para diaspora Indonesia di Amerika Serikat dari berbagai sudut pandang, kalangan, dan zaman. Kita bisa membaca etos hidup berdiaspora Emil Salim dan Hasjim Djalal pada tahun 1950an dengan berbagai problematika teknologi transportasi dan komunikasi pada masa itu. Dengan segala problematika dan romantikanya, Hasjim Djalal mengisahkan tentang perjalanan karir dan intelektualnya hingga membuatnya menjadi ahli hukum laut terkemuka di dunia.
Sementara pada halaman lain, kita juga menemukan globalisasi telah merekayasa dunia sedemikian rupa hingga menyuguhkan tantangan berdiaspora yang berbeda bagi Liquica Anggraini dengan perusahaan busana high-end RADENRORO-nya, Shamsi Ali dengan interfaith dialogue-nya, Sandiaga Uno dengan tekad wirausaha-nya, atau Nial Djuliarso dengan musiknya. Selain itu, buku ini juga sangat kaya dengan sudut pandang. Kebanyakan dari penulis memulai sudut pandangnya sebagai penerima beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Amerika, tetapi kita juga menemukan sudut pandang yang berwarna, seperti Prof. Sumarsam yang berkelana dengan gamelan, Sehat Sutarja yang berhasil membangun kerajaan bisnis teknologi, hingga chef Bambang Sunarno yang melihat dunia dari cita rasa masakan.
Dengan membaca buku ini, pembaca seperti diajak memasuki perpustakaan diary tokoh-tokoh diaspora Indonesia. Beberapa dari tulisan mereka sangat menyentuh dan mengajak para pembaca untuk merasakan emosi yang sama penulisnya. Kita juga bisa melihat proses dan motivasi apa yang memicu mereka untuk berhijrah dari comfort zone-nya ke negeri yang asing dan penuh perjuangan. Nampak jelas bahwa kesuksesan para tokoh yang kita saksikan hari ini tidak dihasilkan dalam satu malam, tetapi dibangun sejak lama, ditempa dengan penuh kesabaran, dan diusahakan dengan tekad yang gigih.
Namun demikian, justru dengan menghimpun banyak kontributor penulis, buku ini juga terselip kelemahan, yakni keterampilan menulis yang tidak sama. Pada beberapa kontributor tergambar asyik dramatisasi proses perjuangan mereka yang sangat keras dalam berdiaspora. Namun pada penulis lain, proses diaspora mereka terasa hambar dan datar, padahal mungkin perjuangan yang dirasakan justru lebih dahsyat.
Selain itu, hal lain yang menonjol dari buku ini terletak pada desain sampul buku. Di antara 28 foto terbaru para kontributor, hanya dua foto lawas yang mejeng di cover buku ini, yakni foto editor dan foto Hasjim Djalal dengan memakai toga. Hal ini sengaja dilakukan mungkin untuk "mengecoh" para pembaca dengan menunjukan kemiripan wajah bapak-beranak ini.

beberapa penulis buku saat acara peluncuran

 Penutup

Namun demiian, di atas segalanya, buku ini memiliki tujuan mulia, yakni agar dapat menebarkan energi positif guna mendorong komunitas Indonesia dimana pun berada untuk menjadi suatu kekuatan sosial dan ekonomi dan menjadi bagian dari agent of chance. Harapannya buku tersebut dapat menyinari suatu hipotesis bahwa siapapun orangnya dan dimanapun ia tinggal, tidak ada yang menghalangi dirinya untuk maju dan sukses.
Buku Life Stories dengan gamblang memaparkan kepada para pembaca bahwa kesempatan sekali dalam seumur hidup untuk berada di negeri orang ternyata membuat para diaspora terbiasa untuk menerima segala tantangan, cobaan dan godaan, justru ketika berada jauh dari tanah kelahiran. Setiap tokoh diaspora mempunyai resep dan etos yang berbeda. Namun, apapun latar belakangnya dan kapanpun zamannya, semuanya punya benang merah yang sama: mereka punya mimpi dan tekad yang kuat untuk maju, mereka gigih mencapai tujuan, mereka siap jatuh bangun dan tidak kecut menghadapi tantangan, mereka menangkap peluang, mereka pernah gagal tetapi lihai berimprovisasi, dan mereka instrospektif dan berpikiran terbuka (open minded).
Kongres Diaspora Indonesia dan buku Life Stories Resep Sukses dan Etos Hidup Diaspora Indonesia di Negeri Orang ini setidaknya meninggalkan tiga hal penting bagi kita. Pertama, diaspora Indonesia mulai terbit kesadaran (self awareness) untuk berjejaring dan mengubah potensi menjadi energi positif bagi kemajuan bangsa. Kedua, membuka mata pemerintah dan bangsa Indonesia di Tanah Air untuk memberikan apresiasi terhadap keberadaan diaspora Indonesia serta mengubah paradigma pendekatan legalistik yang kaku untuk mendefinisikan "orang Indonesia". Ketiga, buku Life Stories juga meningkatkan dorongan dan motivasi yang deras bagi para anak bangsa untuk menguatkan tekad berdiaspora, tidak hanya bagi dirinya sendiri, tapi juga memiliki arti penting bagi bangsa Indonesia kelak.
Akhirnya, buku Life Stories juga mengingatkan kita bahwa setiap pemimpin Indonesia dulu dan hari ini bahkan pemimpin besar dunia menyimpan semangat berdiaspora. Semangat berdiaspora bukan hanya memindahkan raga kita dari satu negeri ke negeri yang lain, tetapi one way ticket untuk sukses, etos kerja yang pantang menyerah, dan ambisi untuk berhasil. Kini pertanyaan bagi kita, apakah kita mewarisi semangat itu?***