Sabtu, 18 Februari 2012

Dampak Krisis Suriah bagi Palestina


Setelah Dewan Keamanan (DK) PBB gagal mengeluarkan resolusi (4/2), kini giliran Majelis Umum (MU) PBB berhasil melahirkan resolusi mengutuk pelanggaran HAM berat serta menuntut penghentian kekerasan di Suriah (17/2). Voting MU PBB dimenangkan telak dengan 137 memilih "ya", 12 "tidak", dan 17 abstain. Meskipun tidak mengikat seperti resolusi DK PBB, resolusi MU PBB ini merupakan simbol suara masyarakat internasional bahwa kekerasan rezim Presiden Bashar al-Assad di Suriah terhadap rakyatnya harus segera dihentikan.
Sama seperti yang terjadi di Dewan Keamanan (DK) PBB, Rusia dan China—sekutu lawas Suriah—menentang mati-matian resolusi MU PBB tersebut. Bahkan Rusia dan China sudah dua kali memveto draf resolusi DK PBB terhadap Suriah, yakni pada Oktober 2011 dan Feburari 2012.  Sebelumnya, Liga Arab telah menarik tim pemantau dari Suriah (28/1) dan gagal menekan Presiden Assad untuk mundur. AS, Inggris, Perancis, dan Tunisia telah menarik duta besarnya di Damaskus dan mencabut pengakuannya terhadap rezim Assad (6/2). Sementara, Tunisia memulai prosedur pengusiran Duta Besar Suriah dan menyerukan agar menggusur Dubes-dubes Suriah dari negara-negara Arab.

Presiden Palestina, Mahmoud Abbas

Geopolitik Suriah
Berbeda dengan intervensi militer terhadap Libya, tindakan Rusia dan China menggunakan hak vetonya di DK PBB dan menentang resolusi MU PBB bukan disebabkan oleh faktor ekonomi. Suriah bukan negara minyak dan tidak memiliki aset miliaran dollar AS di luar negeri. Bahkan menurut Atawan (2012), Rusia dan China tidak membela rezim Assad, tetapi lebih ingin membangun etika politik agar tidak terjadi kesewenang-wenangan di kancah internasional, seperti resolusi terhadap Libya pada Maret 2011 yang membuat NATO turun tangan membantu pemberontak guna menggulingkan Qadafi. Rusia dan China berupaya menghentikan hegemoni Barat dan ingin membangun peta kekuatan baru yang lebih berimbang di pentas internasional, sekaligus ingin mengamankan kepentingannya pada posisi geopolitik Suriah yang sangat strategis.
Politik luar negeri Suriah dibentuk oleh geopolitik strategis yang dikenal dengan "Visi Lima Lautan", sebuah strategi yang diluncurkan Presiden Assad pada 2004 dengan memaksimalkan posisi strategis Suriah sebagai pusat jaringan energi dan perdagangan yang menghubungkan Laut Kaspia, Laut Hitam, Laut Tengah, Laut Merah, dan Teluk Arab. Kebijakan ini memproyeksikan sebuah jaringan operasi melalui Suriah untuk transfer minyak dan gas, barang, tenaga kerja, dan ide yang menghubungkan Kaukasus di utara dengan Teluk Arab di selatan, Iran di timur, dan Eropa di barat.
Sejak 2004, Assad mengembangkan “Visi Lima Lautan” dengan berkeliling ke negara-negara yang concern terhadap lima lautan, seperti Azerbaijan (Laut Kaspia); Rumania, Bulgaria, dan Ukraina (Laut Hitam); Siprus, Yunani, dan negara lainnya (Laut Tengah); dan terus menarik investasi Eropa. Dengan demikian, akan sulit bagi Barat atau NATO untuk mengisolasi Suriah, dikarenakan setiap kerusakan akan menimbulkan efek domino di Turki, Irak, Rumania, Azerbaijan, Ukraina dan negara-negara yang terhubung melalui Suriah.
Strategi yang serupa juga pernah digunakan oleh Dinasti Umayah (661—750 M) dalam mengontrol rute perdagangan hingga mencapai India, Cina, Afrika Utara, dan Spanyol. Umayah dikenal sebagai imperium muslim pertama yang dikenal unggul dalam perdagangan daripada sebagai penakluk militer. Suriah, sebagai anak kandung dinasti Umayah, melihat sangat mungkin untuk menghubungkan kembali lautan strategis tersebut.

Suriah dalam peta dunia

Melihat fakta yang ada, nampaknya akan sulit bagi Rusia-China untuk melepaskan pelukan eratnya kepada Suriah, mengingat nilai tawar geopolitik Suriah yang sangat tinggi dan menghitung cost ekonomi yang akan ditanggung. Dengan demikian, krisis Suriah diperkirakan akan semakin panjang dan rumit serta berdampak besar bagi keamanan kawasan, khususnya Palestina.

Arab Spring dan Palestina
                Suriah selama ini mengklaim sebagai satu-satunya negara Arab yang masih menaruh perhatian besar kepada Palestina berdasarkan Pan-Arabisme. Perang Gaza 2006 dipandang sebagai kemenangan Damaskus dimana Suriah mendukung koalisi Hamas-Hizbullah, sementara Mesir malah membantu Israel mengepung Gaza dan negara Arab lainnya memilih bungkam. Suriah juga merupakan sponsor utama Hamas, di mana markas besar Hamas berada di Damaskus, meskipun dikabarkan akan pindah karena gejolak konflik yang berkepanjangan.
Krisis Suriah yang merupakan seri dari rangkaian Arab Spring dapat dipandang sebagai  runtuhnya rezim-rezim representasi dari visi tua Pan-Arabisme yang diwakili oleh Ben Ali (Tunisia), Mubarak (Mesir), dan  Qadafi (Libya).  Setelah tumbangnya rezim Qadafi di Libya, bisa dikatakan bahwa Suriah merupakan satu-satunya negara pengusung Pan-Arabisme yang tersisa.

Presiden Suriah, Bashar Al-Assad

Namun sayangnya, Fatah di Palestina juga merupakan bagian dari kelompok yang tengah bangkrut ini. Fatah yang lahir dari euforia ideologi Pan-Arabisme memandang Palestina sebagai negara-bangsa Arab bagian dari dunia Arab sekuler. Dengan kata lain, jika kita berbicara tentang gerakan nasionalisme Palestina sebagai gerakan sekuler, maka secara tidak langsung sedang mengisolasi Palestina dari tren yang lebih luas di kawasan; dimana meningkatnya gejala religiositas-politik dan secara bersamaan tumbuhnya mistrust terhadap rezim penguasa sekuler (Friedman, 2011).
Menyadari realita tersebut, Fatah kembali mengumumkan rekonsiliasi dengan kelompok Islamis Hamas di Doha (6/2/12) dan kedua faksi sepakat untuk membentuk pemerintahan bersatu di Tepi Barat dan Gaza yang akan dipimpin sementara oleh Presiden Mahmoud Abbas hingga terselenggara pemilu legislatif dan Presiden. Rekonsiliasi ini merupakan terobosan di tengah kebuntuan perundingan Palestina-Israel setahun terakhir dan pasca penolakan proposal keanggotaan Palestina di PBB.
Akhirnya, baik Fatah maupun Hamas menyadari betul bahwa solusi konflik Palestina-Israel ditentukan oleh kekuatan Palestina sendiri, bukan oleh Suriah atau bangsa lain. Sementara, krisis Suriah dengan jelas mempertontonkan kejatuhan benteng terakhir Pan-Arabisme, sekaligus remuk redamnya persatuan Arab untuk kesekian kalinya. Ke depan diperkirakan, negara-negara Arab akan semakin inward-looking di tengah berkecamuknya gejolak Arab Spring yang serba tidak terduga ini.

Minggu, 05 Februari 2012

Refleksi Revolusi Mesir

dimuat di Republika, 6 Februari 2012


Sejak digelindingkan setahun yang lalu oleh para pemuda di lapangan Tahrir, gelombang perubahan di Mesir telah menuai hasil yang berarti. Pengunduran diri Presiden Mubarak (11/2/11), pengadilan Mubarak dan anak-anaknya, pembebasan tahanan-tahanan politik, dan penyelenggaraan pemilu legislatif (Majelis Shaab) yang bebas dan transparan, dan pencabutan “status darurat” yang berlaku sejak 1981 oleh Dewan Militer. Meskipun demikian, pada peringatan setahun revolusi 25 Januari, rakyat kembali berkumpul dan menyerukan pengalihan kekuasaan dari militer ke sipil. Namun, Dewan Militer Mesir masih menunda penyerahan kekuasaan ke pemerintahan sipil hingga pemilihan presiden pada Juni mendatang.


demonstrasi di Tahrir (sumber: wikipedia)

Mencermati revolusi Mesir, sifat dari krisis politik tersebut memiliki kemiripan dengan krisis politik yang melanda Indonesia pada tahun 1997—1998. Diawali dengan tumbangnya pemerintahan Orde Baru, gerakan reformasi terjaga momentumnya dengan menjamin kebebasan pers, pembebasan tahanan-tahanan politik, penyelenggaraan pemilu 1999, serangkaian amandemen UUD 1945, otonomi daerah, serta berbagai perbaikan kebijakan dan regulasi.
Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga dan berpenduduk Muslim terbesar di dunia, pengalaman Indonesia dalam dasawarsa pertama reformasinya telah diakui oleh masyarakat internasional sebagai suatu keberhasilan dalam mentransformasikan diri dari negara otoritarian menjadi negara full-fledged democracy. Oleh karena itu, Indonesia kiranya dapat berbagi pengalaman dalam pengelolaan proses transisi politik kepada Mesir dan negara-negara yang dilanda Arab Spring, agar guliran transisi politik berujung demokratis serta lekas memulihkan keamanan dan perdamaian.



mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR (sumber: http://rizkyherjulian.blogspot.com)


Intermestik dan Pelajaran bagi Indonesia
Sementara di sisi lain, penyelenggaraan diplomasi dan hubungan luar negeri bukan hanya ditujukan untuk memproyeksikan kepentingan kita ke luar negeri, tetapi juga untuk mengkomunikasikan berbagai perkembangan di dunia internasional kepada masyarakat di dalam negeri (intermestic) (Putnam, 1998). Oleh karena itu, terdapat kepentingan yang menonjol untuk memahami perubahan di Mesir dan kawasan yang dilanda Arab Spring dalam menghadapi berbagai isu domestik dan demikian pula sebaliknya. Dengan memperhatikan secara seksama dimensi intermestik, terdapat beberapa pelajaran yang dapat dipetik Indonesia dari revolusi Mesir.
Pertama, mengutamakan konstitusi sebagai motor dari setiap perubahan (constitutional engineering). Sengkarut krisis politik di Mesir semakin rumit karena perpindahan kekuasaan (transfer of power) berlangsung tidak sejalan dengan Konstitusi 1971. Menurut Konstitusi 1971, transfer of power seharusnya diberikan dari Presiden kepada Wapres atau Ketua Mahkamah Agung yang bertanggung jawab untuk menyelenggarakan pemilu dalam 60 hari. Namun yang terjadi, kini kekuasaan di Mesir dipegang oleh Panglima Militer Marsekal Husein Tantawi. Dengan kata lain, Dewan Militer berkuasa di Mesir tidak berbekal legitimasi politik dari konstitusi, melainkan dari jalanan.


Tantawi berpidato dalam memperingati setahun revolusi 25 Januari (sumber: http://www.yourmiddleeast.com)

Sementara, perkembangan model sistem hukum abad ke-21 di berbagai belahan dunia menunjukan bahwa sistem hukum dunia bergerak menuju supremasi konstitusi. Proses reformasi Indonesia yang terus mengutamakan supremasi konstitusi dan constitutional engineering berhasil mengantarkan Indonesia membangun dan mempertahankan pemerintahan demokratis yang stabil hingga hari ini. UUD 1945, sebagai salah satu pilar NKRI, harus terus dipertahankan sebagai landasan dari semua perubahan dan aktivitas kenegaraan di Indonesia.
Kedua, merevitalisasi pendidikan kewarganegaraan (civic education) melalui media sosial. Terinspirasi dari revolusi Jasmine di Tunisia, revolusi 25 Januari di Mesir pun “dirancang” dan digerakan melalui jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Bukan hanya memberikan “ruang” sarana ekspresi, komunikasi, dan koordinasi di antara para demonstran di dalam negeri, jejaring sosial juga menjadi sarana bertukar informasi dengan para simpatisan di luar negeri. Tidak terelakan bahwa gerakan “youth-led” dan “technology-enabled” telah menjadi gebrakan politik paling dramatis setelah runtuhnya Tembok Berlin.


jejaring sosial

Lebih jauh lagi, media sosial merupakan salah satu fenomena globalisasi yang telah membangun jembatan dialog antar-manusia, dengan tanpa mengenal strata dan kelas dalam masyarakat, serta melintas batas negara dan wilayah. Jembatan dialog tersebut secara langsung dan tidak langsung telah pula mengembangkan demokrasi dan “civic education”, dimana nilai-nilai (values) dan kebajikan-kebajikan (virtues) saling dipersamakan, diselaraskan, dan juga diperbedakan.
Di Indonesia, gerakan berbasis jejaring sosial juga telah menunjukan pengaruhnya yang signifikan, seperti pada kasus Prita dan Bibit-Chandra. Sebagai negara dengan pengguna facebook terbesar kedua dan twitter terbesar ketiga, pemuda Indonesia dapat dikatakan paling terhubung (most connected) di dunia. Maka dari itu, fenomena Arab Spring menyadarkan bahwa Indonesia sangat berpeluang besar untuk menjadikan teknologi informasi sebagai wahana revitalisasi civic education, yakni sosialisasi, diseminasi, dan aktualisasi nilai demokrasi serta pendidikan tentang hak dan kewajiban warganegara.
Ketiga, mempertegas gelombang kedua reformasi. Era reformasi yang dimulai pada 1998 telah mengubah secara fundamental peradaban Indonesia dan mencapai “point of no return.” Revolusi di Mesir mengingatkan kita bahwa perubahan (reform) tidak boleh terhenti bahkan harus dipertegas dalam reformasi gelombang kedua.
Reformasi gelombang kedua dapat dimaknai bahwa Indonesia terus menerus berada pada proses perbaikan dan upaya penguatan hakikat demokrasi, konsolidasi demokrasi (consolidated democracy) guna memastikan demokrasi yang menyejahterakan rakyat (democracy that delivers). Meminjam istilah Presiden SBY, gelombang kedua reformasi menekankan bagaimana menjadikan demokrasi sebagai bagian dari sistem nilai, bukan hanya sekedar bagian dari sistem politik, yang berdasarkan pilar kesejahteraan, demokrasi, dan keadilan.


Penutup
Bercermin dari revolusi Mesir dan Arab Spring, Indonesia dapat mengambil pelajaran untuk mengukuhkan constitutional engineering, merevitalisasi civic education, dan memastikan demokrasi yang menyejahterakan. Mencermati kemiripan antara krisis politik Mesir (2011) dengan Indonesia (1998), peringatan setahun revolusi Mesir sesungguhnya dapat dijadikan momentum untuk menyegarkan kembali ingatan masyarakat Indonesia akan tuntutan dan tujuan reformasi, serta memacu reformasi pada gelombang berikutnya. Bukankah perbaikan (reform) adalah proses sepanjang hayat dan seumur bangsa?***