dimuat di "Jurnal Diplomasi"
terbitan Pusdiklat Kementerian Luar Negeri RI
Vol. 3 No. 3 September 2011
|
Mendengar istilah
ketahanan pangan, maka salah satu yang muncul dalam ingatan kita adalah swasembada
beras pada masa Orde Baru; beserta gambar Presiden Soeharto dan Bu Tien sedang tersenyum
dan mengangkat padi saat panen raya di layar kaca TVRI. Presiden Soeharto dan
segala kontroversi yang menyelimutinya, sejarah mencatat Pak Harto adalah tokoh
yang sangat berpengaruh dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan Indonesia pada
masanya.
Pak Harto dan Bu Tien sewaktu panen raya hasil produksi padi dengan sistem supra insus |
Jenderal
Besar TNI Purnawirawan Haji Muhammad Soeharto (EYD: Suharto) lahir di dusun
Kemusuk, Bantul, Yogyakarta pada 8 Juni 1921 dan meninggal di Jakarta, 27
Januari 2008 pada umur 86 tahun. Presiden Indonesia terlama ini
(1967—1998) sering dijuluki “The Smiling
General” karena raut mukanya yang selalu tersenyum di muka pers dalam
setiap acara resmi kenegaraan. Soeharto tumbuh dan besar di keluarga dan
lingkungan petani. Semasa kecil dan tinggal bersama pamannya, nampak bakat dan
kegemaran Soeharto dalam bidang pertanian. Di bawah bimbingan pamannya yang
mantri tani, Soeharto menjadi paham dan menekuni pertanian.[1]
Keunggulan
program ketahanan pangan pada masa kepemimpinan Pak Harto diakui oleh Menteri
Pertanian Anton Apriyantono (2004—2009) dengan banyak mengadopsi
program-program semasa Orde Baru. Anton mengaku, merasa berutang budi kepada
Soeharto karena tugas-tugasnya sebagai Menteri Pertanian saat ini hanya
menyatukan kembali puing-puing yang berserakan yang telah dibangun Soeharto.
"Bangunan kokoh itu terserak akibat adanya perubahan-perubahan yang terjadi di negeri ini. Namun, tugas saya membangun
pertanian terasa lebih ringan jika dibandingkan dengan harus membangun dari
nol. Beliau telah meletakkan dasar-dasar pembangunan pertanian yang benar.
Banyak program beliau yang bagus dan saya lanjutkan," ujar Anton.
Menurut Anton, setelah era
Soeharto, hampir tidak ada pembangunan waduk-waduk besar. Soeharto juga
membangun infrastruktur perbenihan, pengamatan, dan pengendalian hama. Banyak
peninggalan Presiden Kedua RI itu yang sangat bermanfaat bagi pembangunan
pertanian selanjutnya. "Saya kagum terhadap beliau yang sangat paham
masalah-masalah pertanian sehingga saya tidak ragu menyebut beliau Bapak
Pembangunan Pertanian Indonesia," ujar Anton.
Menguatkan pendapat Anton,
Menteri Pertanian Prof Bungaran Saragih (2001—2004), mengatakan, Soeharto menempatkan
upaya memenuhi kebutuhan pangan pokok tanpa harus impor, sebagai fokus
pembangunan di masa pemerintahannya. "Waktu itu, ada tekad yang kuat dari
pemerintah untuk berswasembada beras," ujar Bungaran.
Pada masa Soeharto, selain
tekad yang kuat juga dikembangkan kebijakan dan penerapan program yang tepat
dan konsisten. "Soeharto membangun dan mengembangkan organisasi atau
institusi yang akan menjalankan program-program tersebut," ujar Bungaran.
Selanjutnya, setelah
memiliki tekad, kebijakan, program, dan organisisasi pelaksana dari pusat
hingga ke daerah, Soeharto menyediakan sumber daya manusia, yang relatif lebih
pintar dengan menghasilkan sarjana-sarjana pertanian yang akan diterjunkan
melaksanakan dan mendukung program tersebut, baik di lapangan maupun di
lembaga-lembaga penelitian dan kampus. Soeharto juga menyediakan sumber dana
yang besar untuk menyukseskan program menuju swasembada pangan.
Soeharto juga sukses
memobilisasi masyarakat, terutama petani untuk bersama-sama meningkatkan
produksi pertanian. "Kita beruntung saat itu mendapatkan benih unggul
melalui program revolusi hijau saat itu. Soeharto menangkap revolusi hijau
dengan tekad, dirumuskan dan dituangkan dalam kebijakan dan program, dicetak
melalui institusi, kemudian disediakan SDM dan dana serta mobilisasi masyarakat
petani," ujar Bungaran.[2]
Wakil Presiden RI M. Jusuf
Kalla (2004—2009) juga menilai Presiden Soeharto juga berjasa sangat besar di
bidang pembangunan ekonomi dan pertanian karena mampu menurunkan tingkat
inflasi dari 650 persen menjadi 12 persen dalam beberapa tahun pertama
kepemimpinannya. Selain itu, almarhum Soeharto semasa menjabat Presiden RI juga
punya andil besar dalam pembangunan irigasi pertanian yang tersebar di seluruh
wilayah Nusantara, yang sampai saat ini belum ada presiden yang mampu
menandinginya.
“Itulah sumbangan terbesar
dalam pembangunan ekonomi, selain membuat Indonesia ini dapat berswasembada
pangan karena belum ada presiden yang dapat membangun saluran irigasi pertanian
sebesar yang dibangun Pak Harto,” kata Kalla.[3]
Program Pertanian era Soeharto
Mengawali masa pemerintahannya pada tahun 1966, Presiden Soeharto memprioritaskan sektor agraria dan mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengarah pada revolusi pangan. Hal ini ditempuh karena kemiskinan dan kelangkaan pangan menjadi prahara sekaligus pemantik munculnya konflik dan krisis politik yang melanda Indonesia yang masih belia saat itu. [4]
Untuk membangkitkan
kepercayaan masyarakat pada awal pemerintahannya, langkah darurat yang diambil
adalah membuka keran impor beras dan mencari bantuan luar negeri untuk impor
beras. Setelah kepercayaan diraih, stabilitas teraih. Pak Harto mulai melakukan
revitalisasi sektor pertanian dan mendirikan Bulog sebagai penyangga harga
beras agar terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Pada awal 1970-an, ketika minyak dijadikan senjata
diplomasi oleh negara-negara Timur Tengah dalam menekan Amerika dan Eropa agar
lebih fair dalam menjalankan kebijakan politik luar negerinya di Timur Tengah,
Indonesia kebagian rezeki minyak akibat kenaikan harga yang cukup signifikan.
Rezeki minyak ini dimanfaatkan dengan saksama oleh Pak Harto untuk membangun
sektor pertanian. Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi
besar-besaran untuk infrastruktur pertanian. Sejumlah waduk, bendungan, dan
irigasi dibangun. Bendungan Karang Kates di Jawa Timur, Waduk Mrica, Gajah
Mungkur dan Kedung Ombo di Jawa Tengah, Bendungan Riam Kanan dan Riam Kiwo di
Kalimantan, Bendungan Asahan di Sumatra, jalan-jalan pedesaan diperbaiki, juga
program listrik masuk desa.[5]
Pada
Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), swasemabda pangan merupakan fokus
tersendiri dalam rencana pembangunan yang dibuat oleh Soeharto. Di dalam Pelita
I Pertanian dan Irigasi dimasukkan sebagai satu bab tersendiri dalam rincian
rencana bidang-bidang. Di dalam rincian penjelasan dijelaskan bahwa tujuannya
adalah untuk peningkatan produksi pangan terutama beras.
“Peningkatan produksi pangan bertudjuan agar
Indonesia dalam waktu lima tahun jang akan datang tidak usah
mengimpor beras lagi. Tudjuan
lain ialah memperbaiki mutu gizi pola konsumsi manusia
Indonesia melalui peningkatan produksi pangan jang mengandung protein
chewani dan nabati, terutama ikan dan katjang-katjangan. Akibat
positif dari peningkatan produksi beras ialah bahwa lambat-laun
tidak perlu lagi mengimpor pangan, sehingga
dengan demikian devisa jang langka itu dapat digunakan untuk mengimpor
barang modal dan bahan baku jang diperlukan untukpembangunan sektor-sektor
lain, terutama sektor indus-tri. Selandjutnja, peningkatan produksi pangan akan
meningkat-kan pendapatan petani-petani pangan. Ini akan meningkatkan taraf
penghidupan para petani jang telah sekian lamanja hidup dalam serba
kesengsaraan dan kemiskinan.”[6]
Pada masa pemerintahan Pak Harto juga
dikembangkan institusi-institusi yang mendukung pertanian, mulai dari
koperasi yang melayani kebutuhan pokok petani dalam usaha agribisnisnya, Bulog
yang menampung hasil dari petani, institusi penelitian seperti BPTP yang
berkembang untuk menghasilkan inovasi untuk pengembangan pertanian yang pada
masa Soeharto salah satu produknya yang cukup terkenal adalah Varietas Unggul
Tahan Wereng (VUTW), hingga berbagai bentuk kerjasama antar lembaga yang
terkait penyediaan sarana prasaran yang mendukung pertanian seperti irigasi dan
pembangunan pabrik pupuk.
Penyediaan sarana penunjang, seperti pupuk, diamankan
dengan membangun pabrik-pabrik pupuk. Para petani dimodali dengan kemudahan
memperoleh kredit bank. Pemasaran hasil panen mereka dijamin dengan kebijakan
harga dasar dan pengadaan pangan.[7] Diperkenalkan juga manajemen
usaha tani, dimulai dari Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan
Intensifikasi Khusus yang terbukti mampu meningkatkan produksi pangan, terutama
beras. Saat itu, budi daya padi di Indonesia adalah yang terbaik di Asia.
Pemerintah memfasilitasi ketersediaan benih unggul, pupuk, pestisida melalui
subsidi yang terkontrol dengan baik. Pabrik pupuk dibangun. Petro Kimia Gresik
di Gresik, Pupuk Sriwijaya di Palembang, dan Asean Aceh Fertilizer di Aceh.[8]
Teknologi
pertanian diperkenalkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan
penyuluhan. Pemerintah menempatkan para penyuluh pertanian di tingkat desa dan
kelompok petani. Selain program penyuluhan, kelompencapir (kelompok
pendengar, pembaca, pemirsa), juga
menjadi salah satu program pertanian Orde Baru yang khas, karena menyuguhkan temu
wicara langsung antara
petani, nelayan, dan peternak dengan menteri atau Presiden Soeharto langsung. Kelompencapir juga menyelenggarakan
kompetisi cerdas cermat[9] pertanian yang diikuti
oleh para petani berprestasi dari berbagai daerah.
Swasembada Beras
Program kerja pertanian Pak Harto berbuah prestasi. Indonesia yang dikenal sebagai negara agraria pengimpor beras terbesar pada tahun 1966, mampu mencukupi kebutuhan pangan di dalam negeri melalui swasembada beras pada tahun 1984. Pada tahun 1969 Indonesia memproduksi beras sekitar 12,2 juta ton beras, sementara pada 1984, bisa mencapai 25,8 juta ton beras.[10]Pak Harto sedang memeriksa persediaan beras di gudang Bulog |
Kesuksesan ini mengantarkan Pak Harto diundang berpidato di depan Konferensi ke-23 FAO (Food and Agriculture Organization) /Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia), di Roma, Italia, 14 November 1985.
Pernyataan penting Pak Harto yang ditujukan kepada negara-negara maju anggota FAO bahwa selain bantuan pangan, yang paling penting adalah kelancaran ekspor komoditi pertanian dari negara-negara yang sedang membangun ke negara-negara industri maju. Ekspor pertanian bukan semata-mata untuk meningkatkan devisa, tetapi lebih dari itu, untuk memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan pendapatan petani.[11]
Pada kesempatan itu juga memperkenalkan seorang petani andalan asal Tajur, Bogor yang ikut dalam rombongannya dan menyerahkan bantuan satu juta ton gabah— sumbangan dari para petani Indonesia—untuk disampaikan kepada rakyat di negara-negara Afrika yang menderita kelaparan. “Jika pembangunan di bidang pangan ini dinilai berhasil maka itu merupakan ‘kerja raksasa’ dari seluruh bangsa Indonesia,” kata Presiden Soeharto di dalam pidatonya di depan wakil-wakil dari 165 negara anggota FAO.[12]
Atas keberhasilan swasembada pangan ini, Juli 1986, Direktur Jenderal FAO, Eddouard Saouma menyebut Soeharto sebagai lambang perkembangan pertanian Internasional, tiba di Jakarta untuk menyerahkan penghargaan berupa medali emas FAO. Medali yang terdiri dari dua jenis, yakni yang berukuran kecil dan satunya lebih besar, berukiran timbul bergambar Soeharto dengan tulisan "President Soeharto Indonesia” dan sisi lain bergambar seorang petani yang sedang menanam padi, bertuliskan “From Rice Imoprter to Self-Sufficiency”.
Pada tahap pertama, medali itu dicetak dalam jumlah cukup banyak yang terbuat dari emas, perak dan perunggu. Pencetakan berikutnya untuk dijual yang hasilnya akan dipergunakan untuk membantu negara-negara yang sedang kelaparan, selain juga untuk aktivitas FAO dan negara-negara yang membutuhkan bantuan FAO.[13] Prestasi ini, sampai sekarang, kerap kali masih dijadikan tolak ukur keberhasilan pemerintah di bidang pertanian.
Meski berkilauan prestasi dan bertaburan pujian, tentu
swasembada beras pada masa Pak Harto tidak lepas dari kritik. Revolusi
pertanian Soeharto digerakkan dengan sistem komando dan menerapkan diskriminasi
dan intimidasi. Diskriminasi meminggirkan padi tradisional dan menggantinya
dengan jenis yang kurang gurih pulen, tapi bulirnya lebih berlimpah dan waktu
tanam lebih pendek. Maka dari itu, dalam setahun
bisa panen dua hingga tiga kali. Mereka yang menolak ikut Inmas dan Bimas (juga
program KB) bisa kena intimidasi aparat dengan tuduhan “tidak bersih
lingkungan”. Menurut para
ahli, kebijakan diskriminatifnya yang sengaja mengabaikan diversifikasi juga
menjadi andil keterpurukan ketahanan pangan hingga saat ini. Soeharto mengonstruksikan beras
sebagai budaya kelas satu, dan menempatkan bahan pangan lainnya seperti jagung,
ubi, ketela, sagu, sebagai inferior.[14]
Namun bagaimana pun, tidak bisa lekang dari potret ingatan kita
betapa riang dan berseri-serinya wajah Pak Harto manakala berada di
tengah-tengah petani dan masyarakat desa. Di situ ia begitu manusiawi, jauh dari
gambaran seorang diktator.
Kesan yang juga masih melekat adalah kepemimpinannya yang tidak bimbang dan
ragu. Sekali diberi wewenang memimpin, ia menjalankannya dengan lugas dan
tuntas. Dengan pengecualian
dominasi berasnya dan KKN anak-anaknya di sektor pertanian, kita pantas
mengagumi Pak Harto sebagai jenderal yang berhasil membangun ketahanan pangan,
yang menjalankan kepemimpinannya di sektor itu sama efektifnya seperti ia
memulihkan kestabilan politik dan keamanan.***
[2] “Mentan: Saya Berutang Budi”, Suara
Pembaruan, 28 Januari 2008.
[3] “Soeharto
Berjasa Besar terhadap Pembangunan Ekonomi?”, Kompas, 9 Juni 2011
[4]
Majalah Padi, edisi 13 Tahun 2008
[5]
Fadel Muhammad, “Nasionalisme Pangan Pak Harto”, Seputar Indonesia 30 Januari
2008.
[6] Rentjana
Pembangunan Lima Tahun 1969/70 - 1973/74
[8]
Fadel Muhammad, “Tantangan Pangan ke Depan”, Suara Karya 13 April 2011.
[10]
Majalah Padi, edisi 13 Tahun 2008
[13]---,
“Saat Mencapai Swasembada Pangan”, http://www.soehartocenter.com/opini/review/data/swasembada.shtml
[14]
Daud Sinjal, “Pak Harto dan Pertanian Padi”, Agrina 1 Februari 2008.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus