dimuat di "Jurnal Diplomasi" terbitan Pusdiklat Kementerian Luar Negeri RI Vol. 3 No. 2 Juni 2011 |
Abstract
The fright of Islamists coming to power has long been an obstacle to democratisation in authoritarian states of the Muslim world. Islamists have been, and might be continue to be, the best organised and most credible opposition movements in many of these countries. They are also commonly, if not always correctly, assumed to be in the best position to capitalise on any democratic opening of their political systems.
The Great Arab Revolution or Arab Spring—also commontly called the Revolution of 25 January in Egypt—put an end to three decades of the Mubarak regime and more people also enthusiastic about participating in politics despite concerns, include the Muslim Brotherhood. Muslim Brotherhood in Egypt, since its birth in 1928 and banned in 1954, operating as a semi-secret movement under varying degrees of pressure from the state, grew become a genuine opposition in non-democratic political system in Egypt.
Post- the Revolution of 25 January, Muslim Brotherhood that has slogan “Islam is solution” finally decide to join the “non-Islamic” political system and build a political party named Justice and Freedom Party that will run for election in September 2011. Interestingly, the Justice and Freedom Party formed a coalition with the Wafd Party, known as a secular party and have uneasy relations with the Brotherhood.
The goal of this paper is to re-examine some of the assumptions about the revolution in Egypt not only bring change for Egypt itself and the region, but also might be taken as the inspiration for the ideology and activism of Islamism in the other regions. This paper also would review the other Islamism movement in Turkey, Adalet ve Kalkınma Partisi (Justice and Development Party), that might be inspire Muslim Brotherhood and other Islamism movement, how to adaptive and win the election within the secular political system.
Pendahuluan
Kekuatan jejaring sosial seperti facebook dan twitter telah menyebarkan “revolusi” di Tunisia ke kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara. Tumbangnya rezim Ben Ali telah diikuti dengan lengsernya Presiden Mubarak yang kemudian diikuti dengan merebaknya gejolak sosial di negara-negara lain di Dunia Arab melahirkan, apa yang disebut oleh para pengamat internasional dan media, Arab Spring atau The Great Arab Revolution. Pada umumnya perubahan sosial politik tersebut dipicu oleh keinginan dari kelompok menengah, intelektual, dan muda yang terintegrasi melalui jejaring facebook dan twitter sehingga memiliki gerak politik yang lebih bebas.
Menurut A.M. Fachir[1] penyebab lahirnya Arab Spring, dikarenakan adanya ketidakseimbangan pembangunan, antara pembangunan ekonomi dan pembangunan politik, terutama pengabaian hak-hak sipil, pelanggaran HAM serta kesenjangan ekonomi, mengarahkan kepada ketidakadilan sosial yang akhirnya berujung pada revolusi (people power). Penguasa otoritarian tidak memiliki monopoli informasi, terutama pada dunia digital, seperti halnya monopoli penguasa pada kekuasaan dan ekonomi. Kekuatan reformis memanfaatkan celah ini untuk menggalang masa demonstrasi hingga meledakkan Arab Spring.
Demonstrasi "Arab Spring" di Tunisia |
Terbit di Tunisia, Arab Spring menemukan momentum terbaiknya di Mesir. Mesir sebagai negara Arab menjadi rujukan politik dunia Arab dan memiliki akses strategis geopolitik yang menentukan masa depan kawasan, tidak luput dari gelombang perubahan itu. Dengan tergulingnya Presiden Mubarak, maka era transisi demokratisasi Mesir pun dimulai dan memancing banyak pihak untuk terlibat, baik kekuatan politik domestik maupun internasional.
Tidak terkecuali Ikhwanul Muslimun (Muslim Brotherhood/Persaudaraan Muslim)[2] yang sering disebut sebagai organisasi bawah tanah paling rapi dan kekuatan oposisi terbesar muncul membentuk partai politik untuk ikut bersaing pada pemilu September 2011. Sejak dinyatakan terlarang pada 1954, Ikhwanul Muslimun tumbuh sebagai “mitos” kekuatan besar bawah tanah yang belum pernah teruji kebenarannya melalui prosedur demokrasi hingga hari ini.
Akan tetapi, pasca-revolusi Mesir, Ikhwanul Muslimun memiliki perhatian yang tinggi untuk meraih kekuasaan melalui sistem politik dan membuktikan asumsi serta kontroversi tentang kekuatannya di Mesir. Hanya sepuluh hari setelah (mantan) Presiden Mubarak digulingkan pada 11 Februari, Ikhwanul Muslimun mengumumkan niatnya untuk mendirikan partai politik, meskipun konstitusi Mesir melarang pendirian partai politik berdasarkan agama.[3]
Keterlibatan resmi Ikhwanul Muslimun, sebagai gerakan Islamisme yang memiliki pengaruh luas di dunia, pada sistem politik Mesir merupakan gejala menarik bagi perkembangan mutakhir ideologi dan aktivitas Islamisme. Terutama setelah partai politik bentukan Ikhwanul Muslimun membangun koalisi dengan partai-partai ultra sekuler.[4]
Lambang Ikhwanul Muslimin dan pendirinya Hassan al-Banna |
Tulisan ini mencoba untuk menganalisis gejala perubahan pada ideologi Islamisme melalui aktivitas terbaru Ikhwanul Muslimun yang kompromistis dan mencoba beradaptasi dengan sistem politik non-Islam, seperti yang telah lebih dahulu dilakukan oleh Adalet ve Kalkınma Partisi (Partai Keadilan dan Pembangunan, AKP) di Turki yang kembali memenangkan pemilu 2011.
Pergeseran Ideologi Islamisme
Islamisme pertama kali dicetuskan oleh Jamaludin Al-Afghani (1838—1897) sebagai paham politik alternatif dalam menyatukan negara-negara termasuk di daerah jajahan Inggris yang mempunyai akar budaya dan tradisi yang berbeda dengan budaya dan tradisi Arab, kemudian dikembangkan dan dikenal pula sebagai Pan Islamisme.
Islamisme atau Politik Islamisme dapat didefinisikan sebagai seperangkat ideologi yang mempercayai bahwa Islam bukan hanya agama, tetapi juga mencakup sistem hidup yang lengkap, termasuk politik, ekonomi, sosial, dan budaya dan muslim harus bersatu di bawah sistem Islam; panduan utuh dalam kehidupan sosial dan politik sebagaimana juga panduan kehidupan pribadi[5]; ideologi yang memandu masyarakat secara utuh dan harus ditegaskan dengan syariah Islam[6]; dan gerakan politik yang berupaya menyelesaikan segala permasalahan politik modern dengan referensi kitab suci[7]. Ideologi Islam memiliki peranan berarti, karena ideologi ini dipandang—secara benar atau keliru—telah menyuguhkan nilai-nilai yang berlawanan dengan nilai-nilai Barat.[8] Beberapa pengamat juga menyebutkan Islamisme dapat didefinisikan lebih longgar, yaitu dalam bentuk politik identitas atau dukungan untuk identitas, keaslian, revivalisme regionalisme, dan revitalisasi komunitas.[9]
Hasan al-Banna, pendiri Ikhwanul Muslimun, mendefiniskan Islamisme sebagai visi Islam yang komprehensif, yang meliputi kehidupan politik, sisial, dan ekonomi. “Islam adalah iman dan ritual, negara (wathan) dan kebangsaan, agama dan negara, spiritual dan amal, al-Quran dan pedang”.[10]
Anthony Bubalo dkk[11] meneliti dan membandingkan tiga gerakan Islamisme di negara-negara dengan demokrasi yang tumbuh, yakni Indonesia, Turki, dan Mesir. Dimulai dengan Ikhwanul Muslimun di Mesir, sebuah gerakan yang berkomitmen untuk reformasi, tetapi bergerak dalam konteks politik non-demokratis. Dilanjutkan dengan Partai Keadilan Sejahtera, yang banyak mengadopsi model aktivitas Ikhwanul Muslimun dengan iklim berdemokrasi yang baru dan belum matang di Indonesia. Akhirnya, Bubalo mengkaji kasus Adalet ve Kalkınma Partisi (Partai Keadilan dan Pembangunan, AKP) sebuah partai “pasca-Islam” yang bergerak di Turki di mana sistem politik demokrasi yang cukup tua, tetapi belum komplit.
ki-ka: PKS (Indonesia), Ikhwanul Muslimin (Mesir), AKP (Turki) |
Hasil studi tersebut menghasilkan penemuan yang mengejutkan, bahwa ideologi dan aktivitas Islamisme menunjukan pergeseran-pergeseran yang cukup konsisten sebagai manifestasi dari pergerakan organisasi dari konteks non-demokratis ke konteks yang lebih demokratis.
Pertama, pergeseran dari negara syariah ke nilai syariah. Gerakan Islamis menunjukan pergeseran yang konsisten dari penegakan syariah Islam yang menuntut institusi negara (negara atau sistem Islam) menjadi fokus pada syariah sebagai seperangkat nilai atau prinsip yang diberlakukan melalui proses politik. Ini merupakan konklusi logis dari keputusan taktis untuk mencapai tujuan melalui partisipasi politik daripada revolusi, tetapi perubahan ini juga menuntut konsekuensi yang serius, karena berpotensi mengubah tujuan historis ideologi Islam untuk membentuk negara Islam. Dengan kata lain, negara Islam sebagai faktor mengislamkan masyarakat menjadi kurang penting untuk gerakan Islam masa kini.
Kedua, pergeseran dari pemerintahan Islam ke “tata pemerintahan yang baik” (good governance). Studi kasus dari ketiga gerakan tersebut menunjukan sekularisasi terhadap agenda kebijakan Islam. Namun bukan berarti bahwa mereka meninggalkan agenda agamis atau menerima kebijakan yang bertentangan dengan prinsip Islam. Konsistensi atas interpretasi mereka tentang Islam tetap penting, tetapi dalam konteks ini ketelibatan mereka dalam isu-isu yang sangat luas, memaksa mereka untuk menggunakan kata “Islam”sesedikit mungkin. Dan terkadang sulit untuk menunjukkan kepada para pendukung bagaimana solusi Islami yang ditawarkan gerakan ini atas permasalahan yang dihadapi. Hal ini tercermin dari, misalnya, pendekatan kebijakan ekonomi telah bergeser dari fokus historis Islamisme pada kesetaraan sosial kepada pendekatan yang lebih neo-liberal. Pergeseran ini selain dapat merespon permasalahan, sekaligus juga dapat memenuhi tujuan politik, yaitu menarik pendukung baru.
Ketiga, pergeseran dari pesan moral ke moralitas para utusan. Melengkapi pergeseran sebelumnya, titik diferensiasi menjadi kurang bersifat ideologis dan berpesan moral, tetapi lebih menekankan pada personal representasi pergerakan. Hal ini sejalan dengan tujuan historis Islamisme yang berusaha menawarkan ideologi untuk sosial, ekonomi, dan reformasi politik, sekaligus contoh pribadi berperilaku Islami dan tidak mementingkan diri sendiri. Karena daya tarik pribadi wakil partai inilah, gerakan memenangkan dukungan lebih banyak sehingga konstituen mempertimbangkan kembali ideologi dan agenda kebijakan.
Keempat, pergeseran atas keberagaman anggota. Pergeseran pada ide-ide dan aktivitas gerakan Islamis mendorong dan merefleksikan perubahan dalam keanggotaan dan partai. Sebagai gerakan sosial-keagamaan, Islamis biasanya membatasi keanggotaan mereka untuk orang-orang dengan kriteria khusus—biasanya laki-laki, muslim, atau seorang “muslim spesial”yang memegang kemampuan tafsir ajaran Islam dan berperan strategis di masyarakat. Akan tetapi, sebagai partai politik dalam konteks demokrasi adalah penting untuk memperluas basis keanggotaan, terutama untuk menarik kemampuan politik dari berbagai lapisan. Perluasan keanggotaan ini menghasilkan ketegangan, bahkan perubahan identitas, meskipun dilakukan secara bertahap.
Kelima, regenerasi. Kecenderungan gerakan Islamis mengikuti arus demokrasi sering sekali dihambat karena kurangnya demokrasi di kalangan internal. Keterlibatan gerakan dalam aktivitas politik sering kali memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk, dalam beberapa kasus, melewati hirarki internal. Hal ini terjadi pada Ikhwanul Muslimun di Mesir; meskipun pada akhirnya kedisiplinan internal dapat ditegakkan dengan mengorbankan dinamika dan perdebatan internal. Sebaliknya pada kasus PKS dan AKP, menunjukan ketersediaan lebih banyak ruang politik yang demokratis serta peluang yang lebih besar untuk munculnya kaum muda yang lebih berpikiran terbuka, berwawasan global, dan aktivis lapangan.
Keenam, osilasi (oscillation) bukan moderasi. Gejala pergeseran yang tampak pada gerakan Islamis adalah osilasi daripada moderasi. Artinya, dalam konteks politik yang lebih terbuka terdapat kesempatan yang lebih besar bagi dinamika ideologi atau osilasi pada dua hal. Pertama, ketegangan antara faksi puritan dan pragmatis membuat orientasi ideologi gerakan menjadi lebih kuat. Kedua, dalam kerangka ketegangan ini, setiap sisi gerakan akan meraih kemenangan pada satu isu tertentu. Misalnya, pada satu isu tertentu, partai akan lebih dekat pada prinsipnya, sementara pada isu lain akan lebih terlihat pragmatis. Dengan kata lain, partai Islam, seperti kebanyakan partai, tidak akan menjadi sangat moderat (atau menjadi lebih ekstrim), tetapi akan terus menghadapi ketegangan internal yang mengharuskan terus berosilasi, sehingga setiap faksi partai akan terus berupaya mempengaruhi posisi dan keputusan partai.
AKP: Partai Post-Islamisme Meraih Kemenangan di Negara Sekuler
Pada 1924, Majelis Nasional Turki membubarkan kekhalifahan Islam terakhir di dunia, sebuah institusi yang mengklaim sebagai penerus kepemimpinan Dunia Islam sejak Rasulullah Muhammad tiada. Republik Turki melarang segala bentuk pemikiran, aktivitas public, lembaga, dan simbol Islam, seperti madrasah, pengadilan syariah, tarikat, ziarah, haji, dan organisasi berlandaskan Islam sejenis. Masjid dibawah kontrol negara dan para imam merupakan pegawai negeri di bawah Direktorat Urusan Agama yang baru dibentuk. Pada 1928, Islam dihapuskan dari agama negara dan semua simbol-simbol Islam seperti bahasa dan tulisan Arab dilarang dan digantikan dengan aksara Latin, termasuk pada acara keagamaan. Republikan percaya bahwa kehidupan Eropa akan menghantarkan Republik Turki meraih kemajuan setara dengan bangsa-bangsa Eropa. Untuk itu, Ataturk berkeliling ke pedesaan-pedesaan untuk memberikan ceramahnya yang terkenal “ini adalah topi” yang menjelaskan tentang kehidupan “modern” Eropa dan mengapa mereka harus menggunakan topi bergaya Eropa pengganti penutup kepala tradisional (fez). Islamisme dalam segala bentuk direpresif oleh sistem sekularisme Turki bentukan Ataturk.
Pendiri Republik "sekuler" Turki Kemal Ataturk berpakaian dan bertopi ala Barat |
Namun seiring dengan perubahan demografis dan ekonomi sejak 1980-an, semakin tegas pula perkembangan politik di Turki, di mana terdapat difusi kekuasaan antara elit sekuler dan pemimpin agamis. Pada saat yang bersamaan, para elit sekuler semakin menikmati legitimasi popular dalam sistem rezim sekuler. Kemenangan Partai Refah (1996), kemunculan Erdogan dan Abdullah Gul (2001), dan kemenangan Adalet ve Kalkınma Partisi (Partai Keadilan dan Pembangunan, AKP) berturut-turut pada pemilu 2002, 2007, dan 2011 merefleksikan dan keseimbangan politik baru dari peluang dan keterbatasan sistem politik Turki. Keseimbangan ini membuktikan teori Robert Dahl[12] “poliarkhi”, yaitu difusi kekuasaan di seluruh lokus kekuasaan, yang menurutnya adalah prasyarat penting untuk demokrasi yang bernilai.
Presiden Gull (tengah) dan PM Erdogan saat menghadiri acara kenegaraan Turki |
Pengawal sekularisme Turki memahami bahwa mereka tidak dapat lagi memaksakan semua nilai sekularisme di seluruh negeri. Pada sisi lain, AKP juga menyadari nilai-nilai Islamisme membuatnya tidak dapat bertahap hidup di sistem politik sekuler. Runtuhnya partai Islamis Necmettin Erbakan dan kemenangannya dengan mengakomodasi pragmatisme telah membuat AKP tetap bertahan dengan pendekatan yang konservatif dalam sistem politik.
Akan tetapi, AKP pun menyadari gagasan dan aktivitas provokatif ala Erbakan dapat memancing militer keluar dari barak dan memasuki sistem politik untuk mengamputasi demokrasi. Untuk itu, AKP tetap mempertahankan konservatisme dan pragmatism dengan tetap membuktikan prestasi pembangunan dan menjamin keberpihakannya pada sistem sekuler warisan Ataturk.
PM Erdogan di ruangan kerjanya berlatar belakang lukisan Ataturk, menegaskan keberpihakannya pada sekularisme Turki |
AKP sebagai kekuataan post-Islamis partai berspirit Islam, tetapi bisa berselaras dengan nilai-nilai sekulerisme, demokrasi, reformasi, dan modernitas. Bahkan AKP bisa menciptakan kemajuan dan pembangunan yang mengagumkan serta mensejajarkan Turki dengan Eropa, dalam banyak hal.
Ikhwanul Muslimun dan Partai Politik-nya
Eksperimen konservatisme-pragmatisme AKP dengan sistem sekulerime Turki dipandang banyak pihak dapat menginspirasi model Politik Islamisme yang popular dan dapat diterima oleh public yang lebih luas. Pasca Revolusi Mesir, para pengamat politik Mesir mendorong agar Ikhwanul Muslimun menerapkan strategi AKP di Mesir. Terbukti, hanya sepuluh hari setelah (mantan) Presiden Mubarak digulingkan pada 11 Februari, Ikhwanul Muslimun mengumumkan niatnya untuk mendirikan Partai Keadilan dan Kemerdekaan (al-Hurriyat wal Adalah’)[13] untuk berkompetisi pada pemilu November 2011 dengan target separuh kursi parlemen.
Pemimpin Partai Keadilan dan Kemerdekaan, Mohammed al-Mursi yang juga anggota politbiro Ikhwanul Muslimun, mengatakan partainya akan “bebas dari Ikhwan, tetapi akan berkoordinasi dengannya”, “bukan partai Islam dalam pengertian lama, bukan teokratis”, dan “merupakan partai sipil.” Hingga saat ini, konstitusi Mesir melarang partai berdasarkan pada agama, golongan, atau kedaerahan.
Mohammed al-Mursi konferensi pers pendirian Partai Kemerdekaan dan Keadilan |
Pemimpin Partai Keadilan dan Kemerdekaan, Mohammed al-Mursi yang juga anggota politbiro Ikhwanul Muslimun, mengatakan partainya akan “bebas dari Ikhwan, tetapi akan berkoordinasi dengannya”, “bukan partai Islam dalam pengertian lama, bukan teokratis”, dan “merupakan partai sipil.” Hingga saat ini, konstitusi Mesir melarang partai berdasarkan pada agama, golongan, atau kedaerahan.
Melalui keterlibatannya secara resmi dalam sistem politik, Ikhwanul Muslimun berusaha menghilangkan citra menakutkan yang dipersepsikan oleh rezim penguasa selama 57 tahun dalam pelarangan. Ikhwanul juga mengatakan mereka ingin bekerjasama dengan kelompok-kelompok sekuler pada pemilihan mendatang, sementara berjanji untuk tidak mengajukan calon presiden pada pemilihan November mendatang.[14]
Pernyataan untuk bekerja sama dengan kelompok oposisi dibuktikan oleh Partai Keadilan dan Kemerdekaan dengan menjalin koalisi bersama Partai Wafd dan 11 partai politik oposisi lain era Mubarak. Koalisi ini menunjukan gejala perubahan ideologi dan aktivitas Islamisme Ikhwanul Muslimun sejak 1928. Partai Keadilan dan Kemerdekaan, yang mengusung berslogan Islam adalah solusi (al-islam huwa al-hall), berkoalisi dengan Partai Wafd ultra-sekuler liberal, yang berslogan “agama urusan privat dan negara adalah untuk semua (al-din li al-fard wa ad-daulah li al-jami’).
Lambang Partai Kemerdekaan dan Keadilan bentukan IM |
Koalisi tersebut dipandang banyak pihak sebagai koalisi oportunistik, mengingat Ikhwanul Muslimun memiliki hubungan yang buruk dengan Wafd di masa lalu. Perselisihan Ikhwanul Muslimun dengan Wafd dimulai dengan pendiri dan Sekretaris Jenderal Ikhwanul Muslimun, Ahmad As-Sukari, menyatakan keluar dari Ikhwanul Muslimun dan bergabung dengan Wafd. Setelah bergabung dengan Wafd, Ahmad As-Sukari menyerang balik Ikhwanul Muslimun dan banyak menulis di media massa tentang keburukan-keburukan Ikhwanul Muslimun. Setelah sukses menumbangkan monarki lewat revolusi 1952, Gamal Abdul Nasser memilih berkoalisi dengan Wafd untuk memimpin Mesir dan menenggelamkan Ikhwanul Muslimun. Wafd juga yang mendorong larangan atas Ikhwanul Muslimun hingga saat ini.
Namun, keputusan Partai Keadilan dan Kemerdekaan untuk berkoalisi dengan Wafd menunjukan pergeseran Ikhwanul Muslimun, seperti AKP yang menerima hidup dalam sistem sekularisme. Ikhwanul Muslimun, sebagaimana AKP, telah “memaafkan” konflik masa lalu untuk meraih masa depan. Kompromistis Ikhwanul Muslimun dengan “mantan” musuh hanya dapat dilakukan dengan melihat sebanyak-banyaknya persamaan, tanpa melupakan perbedaan.
Meskipun memiliki ideologi yang berseberangan, Ikhwanul Muslimun dan Wafd memiliki banyak persamaan yang memungkinkan kedua pihak tersebut duduk dalam satu koalisi. Pertama, Ikhwanul Muslimun dan Wafd mengalami masa sulit di bawah kontrol rezim respresif Mubarak selama 30 tahun.
Kedua, Wafd adalah partai politik pertama di Mesir yang didirikan Saad Zaghloul. Zaghloul, pada 1919, meledakkan revolusi menuntut lepasnya kontrol Inggris atas Mesir. Begitu pun Ikhwanul Muslimun, tahun 1928 berdiri oleh Hassan al-Banna, berorientasi sebagai jamaat sosial-kemasyarakatan Islamisme untuk memajukan Mesir dan melepaskan Mesir dari "jajahan" Inggris. Ikhwanul Muslimun dan Wafd lahir dari satu semangat yang sama, yaitu semangat kebangsaaan. Bedanya, Wafd lahir di iklim perkotaan Kairo dan berpengikut kalangan terdidik, sementara Ikhwanul Muslimun lahir di pedesaan Ismailiyah, serta berpengikut kalangan pedesaan.
Ketiga, Wafd dan Ikhwanul Muslimun bekerja sama dengan Perwira Merdeka (Nadi Dhubbat al-Ahraar/Free Officer) pimpinan Gamal A. Nasser untuk meledakkan revolusi 1952, yang sukses mengakhiri sistem monarki Raja Farouk dan mendirikan Republik Mesir. Meski pada perjalanannya, Ikhwanul Muslimun kemudian menjadi "musuh" pemerintahan Nasser. Keempat, pada masa perang Arab-Israel, aktivis Ikhwanul Muslimun dan Wafd bersama-sama mengangkat senjata untuk membela tanah air mereka dan membebaskan Palestina. Koalisi Ikhwanul Muslimun dan Wafd memiliki sejarah yang panjang, meski masing-masing pihak memiliki akar ideologi yang sangat jauh berbeda.
Penutup
Apakah pergeseran-pergeseran yang dilakukan Ikhwanul Muslimun lewat Partai Keadilan dan Kemerdekaan akan meraih kemenangan seperti AKP di Turki? Kita memang belum mengetahui. Namun gejala pergeseran Ikhwanul Muslimun ini memperkokoh argumen bahwa Islamisme menerima sistem demokrasi dan menyetujui aturan main kompetisi dalam demokrasi.
Pergeseran-pergeseran dan kisah sukses gerakan Islamis di Turki sedikit banyak turut menginspirasi Ikhwanul Muslimun untuk turut terlibat secara resmi pada sistem politik Mesir pasca-revolusi 25 Januari. Dengan membentuk Partai Keadilan dan Kemerdekaan, Ikhwanul Muslimun--sebagai salah satu organisasi Islamis modern yang paling tua serta memiliki pengaruh dan jejaring luas di Dunia--telah mengakhiri alienasinya dengan sistem demokrasi yang menyebabkan pergeseran-pergeseran pada gerakan dan aktivitas organisasi Islamisme tidak hanya di Mesir, tetapi mungkin juga menginspirasi pergerakan Islamisme di kawasan lain.
Gejala pergeseran Ikhwanul Muslimun mengukuhkan Islamisme untuk memperhatikan masalah-masalah masyarakat dan kebangsaan dalam skala besar di negara tempat organisasi itu bergerak. Islamisme harus mampu menerjemahkan keindahan kitab suci dalam administrasi pemerintahan dan kepemimpinan untuk membangun negara, masyarakat, dan dunia di sekitar mereka. Islamisme harus mampu meyakinkan dunia luar, bahwa ideologinya tidak datang dari dunia yang lama, anti-modernitas, baik secara pemikiran dan aktivitas, tanpa harus teralienasi dari prinsip-prinsip agama. Islamisme hanya dapat dibuktikan khasiatnya sejauh mana ia dapat memberikan kontribusinya bagi rakyat (ummat) bukan hanya janji-janji surga tanpa implementasi dan bukti.
Gejolak politik di Mesir mirip dengan reformasi Indonesia 1998 |
Dalam konteks hubungan internasional, pergeseran Islamisme ini dapat memperkokoh hubungan bilateral Indonesia dan Mesir. Indonesia memiliki posisi strategis untuk dapat men-share pengalaman karena Indonesia yang relatif berhasil dalam proses transisinya ke full pledge democracy sejak tahun 1998. Selain itu, Indonesia juga memiliki kesamaan dalam persoalan politik yang dihadapinya di tahun 1998, dengan Timur Tengah (khususnya Mesir) di tahun 2011. Lebih lagi, terdapat kesamaan antara Indonesia dan Mesir baik dari segi agama, political history dan aspirasi kebijakan luar negeri. Ke depan, Mesir akan memiliki banyak kemiripan dengan Indonesia yang tengah berjuang menjadi negara maju dengan mengkombinasikan Islam moderat, demokrasi dan pembangunan. Tidak berlebihan jika kita mengatakan, tiga serangkai: Indonesia, Mesir, dan Turki sebagai negara “demokrasi” dengan mayoritas penduduk muslim merupakan rujukan kehidupan politik di Dunia muslim.***
DAFTAR PUSTAKA
A.M. Fachir, ”Gerakan Rakyat untuk Perubahan: Pembelajaran dari Timur Tengah”, dipresentasikan pada Pertemuan Kelompok Ahli Perubahan di Timur Tengah dan Afrika Utara: Pengaruh dan Interdependensinya pada Tatanan Global, Kementerian Luar Negeri. Jakarta, 30 Mei 2011.
Anthony Bubalo et al, Zealous Democrats: Islamism and Democracy in Egypt, Indonesia, and Turkey, New South Wales: Longueville, (2008)
Berman, S, "Islamism, Revolution, and Civil Society, Perspectives on Politics", Vol. 1, No. 2, June 2003, American Political Science Association.
Black, Antony, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Dahl, Robert A. Dilemmas of pluralist democracy. New Haven, Yale University Press, 1982.
Fred Halliday, “The Left and the Jihad”, Open Democracy 7 September 2006.
Fuller, Graham E., The Future of Political Islam, Palgrave MacMillan, 2003.
Mitchell, Richard P., The Society of Muslim Brothers. Oxford, Oxford University Press, 1969.
Shepard, W. E. Sayyid Qutb and Islamic Activism: A Translation and Critical Analysis of Social Justice in Islam. Leiden, New York: E.J. Brill., 1996.
“13 Parties unite to form 'National Coalition for Egypt”, Al-Ahram Online, http://english.ahram.org.eg/News/14330.aspx
“Ikhwanul Muslimin di Mesir bentuk parpol”, BBC Indonesia, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/04/110430_im_mesir.shtml
“The Muslim Brotherhood seeks public approval to go political in Egypt”, Al-Ahram Online, http://english.ahram.org.eg/News/11978.aspx
“The Muslim Brotherhood seeks public approval to go political in Egypt”, Al-Ahram Online, http://english.ahram.org.eg/News/11978.aspx
[1] A.M. Fachir, ”Gerakan Rakyat untuk Perubahan: Pembelajaran dari Timur Tengah”, dipresentasikan pada Pertemuan Kelompok Ahli Perubahan di Timur Tengah dan Afrika Utara: Pengaruh dan Interdependensinya pada Tatanan Global, Kementerian Luar Negeri. Jakarta, 30 Mei 2011.
[2] Pada Maret 1928 di sebuah kota pelabuhan Ismailiyah Mesir, Hassan al-Banna mendirikan “Ikhwanul Muslimun” dengan hanya beberapa pengikut. Pada akhir 1930an, Ikhwanul Muslimun memiliki cabang di setiap provinsi Mesir dan kini tumbuh menjadi organisasi Islamisme yang paling berpengaruh di dunia[2]. Di bawah moto “al-Quran adalah konstitusi kami,” IM bertujuan kebangkitan Islam melalui khutbah-khutbah dan menyediakan pelayanan dasar masyarakat termasuk sekolah, masjid, dan pelatihan-pelatihan.
[3] “The Muslim Brotherhood seeks public approval to go political in Egypt”, Al-Ahram Online, http://english.ahram.org.eg/News/11978.aspx
[4] “13 Parties unite to form 'National Coalition for Egypt”, Al-Ahram Online, http://english.ahram.org.eg/News/14330.aspx
[5] Berman, S, "Islamism, Revolution, and Civil Society, Perspectives on Politics", Vol. 1, No. 2, June 2003, American Political Science Association, p. 258
[6] Shepard, W. E. Sayyid Qutb and Islamic Activism: A Translation and Critical Analysis of Social Justice in Islam. Leiden, New York: E.J. Brill., (1996). p. 40
[7] Fred Halliday, “The Left and the Jihad”, Open Democracy 7 September 2006.
[8] Black, Antony, Pemikiran Politik Islam dari Masa Nabi hingga Masa Kini. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006, p. 18
[10] Mitchell, Richard P., The Society of Muslim Brothers. Oxford, Oxford University Press, (1969), p. 233
[11] Anthony Bubalo et al, Zealous Democrats: Islamism and Democracy in Egypt, Indonesia, and Turkey, New South Wales: Longueville, (2008)
[13] “The Muslim Brotherhood seeks public approval to go political in Egypt”, Al-Ahram Online, http://english.ahram.org.eg/News/11978.aspx
[14] “Ikhwanul Muslimin di Mesir bentuk parpol”, BBC Indonesia, http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/04/110430_im_mesir.shtml
Tidak ada komentar:
Posting Komentar