Kamis, 21 Februari 2013

Ekstradisi: Spesies dari Genus Hukum Pidana Internasional


RESENSI BUKU

Judul
:
Hukum tentang Ekstradisi
Penulis buku
:
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M
Penerbit
:
Fikahati Aneska
Bahasa
:
Indonesia
Jumlah halaman
:
x + 389
Tahun penerbitan
:
2011
Pembuat resensi
:
AM. Sidqi

Resensi ini dimuat di Jurnal Opinio Juris vol. 13 tahun 2013, 
terbitan Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional,
Kementerian Luar Negeri RI
Maraknya pemberitaan tentang upaya Kejaksaan Agung RI mengekstradisi Joko Tjandra, terpidana BLBI, dari Papua Nugini menghiasi media massa Februari 2013. Sebelumnya, pelarian M. Nazarudin dan Nunun Nurbaeti pada tahun 2011 lalu memunculkan perdebatan berlarut-larut tentang ekstradisi di kalangan penegak hukum, akademisi, politikus, dan masyarakat umum. Jamak dikatakan bahwa dikarenakan tidak adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura, menjadikan Negara Singa Laut itu menjadi safe haven bagi pelarian kejahatan kerah putih. Akan tetapi, meskipun Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Kolumbia, M. Nazarudin tetap bisa dibawa pulang ke Tanah Air untuk diadili. Selain itu, publik juga mengenal upaya ekstradisi yang dilakukan oleh Pemerintah terhadap terpidana penyalahgunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Hendra Rahardja dari Australia. Meskipun upaya pemerintah Indonesia untuk mengekstradisi Hendra Raharja telah mencapai tahapan akhir dengan diterbitkannya "extradition warrant" oleh Pemerintah Australia tanggal 14 Oktober 2002, tetapi dengan meninggalnya Hendra Rahardja tanggal 26 Januari 2003, maka kasus pidananya gugur demi hukum.


Perdebatan-perdebatan seputar hukum tentang ekstradisi tersebut memunculkan pertanyaan mendasar yang wajib dipahami oleh semua: apa dan bagaimana perkembangan hukum tentang ekstradisi tersebut?
Buku berjudul “Hukum tentang Ekstradisi” yang ditulis oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M ini hadir untuk mencerahkan publik perihal definisi, karakteristik, dan perkembangan pelbagai model tentang ekstradisi. Kepakaran Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M sebagai salah satu ahli dalam hukum mengenai ekstradisi tidak lagi diragukan, mengingat Romli memiliki daftar panjang pengalaman sebagai ketua delegasi pemerintah Indonesia ke berbagai konferensi PBB yang membahas kejahatan transnasional.
Cover buku Hukum tentang Ekstradisi" karya Romli Atmasasmita
Berdasarkan UU 1/1979 tentang Ekstradisi, Ekstadisi diartikan sebagai penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta penyerahan seseorang yang disangka tau dipidana karena melakukan suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena berwenang untuk mengadili dan memindananya.
Praktik perjanjian ekstradisi bagi Indonesia bukan masalah hukum baru karena setelah kemerdekaan RI, Indonesia telah mengikatkan diri ke dalam perjanjian ekstradisi dengan lima negara, yakni Malaysia, Filipina, Thailand, Australia; dua perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual legal assistance treaty), yakni dengan Australia dan RRT; dan satu perjanjian penyerahan pelanggar hukum yang melarikan diri antara Indonesia dengan Hongkong.
Pemerintah Indonesia juga telah menandatangani satu perjanjian regional dalam bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana, yaitu UU 15/2008 antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Filipina, Singapura, dan Vietnam yang telah ditandatangani tanggal 29 November 2009. Perjanjian-perjanjian tersebut merupakan perkembangan penting pasca kemerdekaan dalam bidang pencegahan dan pemberantasan kejahatan yang bersifat transnasional dan terorganisasi yang telah dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia.
Lebih jauh lagi, Indonesia telah memiliki UU 1/2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana sebagai undang-undang payung (umbrella act) untuk kerja sama dalam prosesl penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana serta perampasan asset tindak pidana. Begitu pula Indonesia telah mempunyai UU 1/1979 tentang Ekstradisi sebagai payung hukum untuk proses negosiasi membahas draf perjanjian ekstradisi dengan Negara lain. Sekalipun demikian pemerintah Indonesia dalam praktik bersikap fleksibel seperti di dalam perundingan draft teks perjanjian ekstradisi antara Repubik Indonesia dengan Republik Korea, di mana Indonesia sepakat untuk tidak menggunakan daftar kejahatan (list of crime) yang dapat diekstradisikan. Penjelasan UU 42/2007 tentang Perjanjian Ekstradisi antara Republik Indonesia dan Republik Korea menegaskan bahwa dihapuskannya system daftar kejahatan (system elective)—sekalipun UU 1/1979 tersebut menganut sistem enumeratif—adalah untuk mengantisipasi perkembangan kejahatan transnasional yang baru.
Buku yang terbit pada tahun 2011 ini disusun dalam empat bab, yakni asal-usul dan karakteristik ekstradisi (bab I); prinsip umum ekstradisi yang diakui dalam hukum internasional dan beberapa pengecualian (bab II); perkembangan praktik ekstradisi dan perbandingan model-model ekstradisi (bab III); dan pentutup yang berisi pandangan dan sikap penulis terhadap perkembangan ekstradisi dan masalah yang berkaitan dengan berbagai model hukum tentang ekstradisi (bab IV).
Pada bab I, Romli Atmasasmita mengkritik pengertian ekstradisi yang sering diucapkan banyak orang termasuk praktisi hukum, tetapi belum dipahami makna sesungguhnya dari pengertian istilah tersebut. Sering disebutkan bahwa ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi (extradition, l’extradition) berasal dari bahasa latin :”extradere”. Ex berarti keluar, sedangkan tradere berarti menyerahkan. Kata bendanya adalah extraditio artinya penyerahan. Sedangkan menurut Romli, pemaknaan pengertian istilah tersebut sangat menyesatkan karena tidak benar.

M. Nazaruddin, mantan bendaraha Partai Demokrat

Romli mendefinisikan ekstradisi secara etimologis berasal dari dua suku kata, yaitu “extra” dan “tradition”. Sehingga demikian, ekstradisi berarti suatu konsep hukum yang berlawanan dengan “tradisi” yang telah berabad-abad dipraktikan antarbangsa-bangsa. Praktik tradisi tersebut adalah kewajiban setiap negara untuk menjadi pelindung (asylum) bagi siapa saja yang memohon perlindungan, dan tradisi untuk memelihara kehormatan (hospitality) sebagai negara tuan rumah atas mereka yang memohon perlindungan tersebut. Praktik asylum yang mendahului ekstradisi menunjukan bahwa ekstradisi merupakan kekecualian dari asylum.
Hukum ekstradisi merupakan cabang dari hukum pidana internasional yang mengatur prosedur penyerahan tersangka, terdakwa, atau terpidana dari satu negara ke negara lain untuk tujuan penuntutan atau menjalani hukuman. Hukum ekstradisi dilandaskan pada asumsi bahwa negara yang meminta ekstradisi (requisting state) mempunyai itikad baik dan pelaku kejahatan yang diserahkan akan diperlakukan adil selama diadili di negara tersebut. Sesungguhnya, ekstradisi merupakan perwujudan dari asas aut dedere aut judicare, yaitu asas hukum yang menegaskan bahwa “jika negara melakukan penuntutan, ada kewajiban negara untuk mengekstradisi”.
Dalam catatan sejarah, ekstradisi telah dipraktikan sejak tahun 1280 SM antara Raja Ramses II dari Mesir dan Raja Hattusili III dari Hitites, kemudian diikuti oleh kerajaan Yunani dan kekaisaran Romawi. Model perkembangan ekstradisi abad tersebut dilandaskan untuk menjaga stabilitas politik kerajaan sehingga ekstradisi terbatas pada kejahatan politik. Dalam perkembangannya, ekstradisi pasca abad ke-20 bukan lagi semata-mata merupakan hak dan kewajiban sebagaimana dinyatakan dalam suatu perjanjian, melainkan juga bagian dari hak asasi tersangka, terdakwa, atau terpidana untuk menyatakan pendapatnya terhadap permintaan suatu negara untuk mengekstradisikan ybs. Hal tersebut pernah dipraktikan oleh Hendra Raharja yang menolak ekstradisi dirinya dari Austarlia dengan alasan Pemerintah Indonesia diskrimatif dan tahanan di Indonesia tidak menjamin keselamatan tersangka.
Dalam teori dan praktik hukum internasional, ekstradisi memiliki empat karakter, yaitu ekstradisi sebagai suatu kewajiban negara, ekstradisi tanpa perjanjian, ekstradisi dengan perjanjian bilateral, dan ekstradisi dengan perjanjian multilateral. Kembali pada perdebatan absennya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dengan Singapura yang menjadikan Singapura sebagai safe heaven bagi kejahatan kerah putih, Romli Atmasasmita membeberkan bahwa ekstradisi dapat dilakukan tanpa adanya perjanjian. Menurut Romli, UU 1/1979 tentang Ekstradisi membolehkan ekstradisi dilaksanakan dengan perjanjian ekstradisi atau tanpa perjanjian ekstradisi, tetapi cukup berdasarkan prinsip resiprositas. Atas dasar ketentuan UU tersebut, Indonesia mengakui perjanjian internasional merupakan sumber hukum, dan juga “comity” atau “arrangement” diakui sebagai sumber hukum tidak tertulis, sepanjang kedua negara dipenuhi/dijamin ditaatinya prinsip resiprositas. Namun demikian, perlu juga dicatat bahwa ekstradisi tanpa perjanjian sepenuhnya dilandaskan pada pemikiran aliran monistik mengenai hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yang banyak dianut di negara-negara penganut sistem hukum civil law dibandingkan dengan negara penganut hukum common law.
Sementara ekstradisi dengan perjanjian bilateral menempati posisi yang kuat di antara negara anggota PBB, ekstradisi dengan perjanjian multilateral lazim dipraktikan di organisasi regional, seperti Uni Eropa, Liga Arab, dan negara yang tergabung dalam Commonwealth Nations. Romli berpendapat bahwa terdapat kecenderungan di masa mendatang untuk memunculkan suatu “common law of extradition” dan suatu saat diharapkan dapat menghasilkan suatu “Universal Convention on Extradition” yang dapat dijadikan landasan hukum ekstradisi yang berlaku bagi seluruh negara anggota PBB.
Uraian khusus pada Bab II yang menarik untuk dicermati adalah perubahan pandangan masyarakat internasional terhadap pengecualian atas prinsip nasionalitas dan prinsip ne bis in idem (not twice in the same thing), terutama setelah perkembangan pemajuan hak-hak ekonomi, sosial, hak sipil dan hak politik diadopsi dan diberlakukan sebagai bagian dari hukum internasional. Perkembangan ekstradisi sejak awal kelahirannya pada abad 15—16, disepakati bahwa yang dapat diekstradisikan hanya kejahatan politik (makar) dan kejahatan penodaan terhadap agama. Perkembangan ekstradisi selama tahun 1700 dan awal 1800an, justru kejahatan politik termasuk kejahatan tidak dapat diekstradisi (non-extraditable crime) sampai dengan tahun 1830-an. Gagasan bahwa tersangka tidak dapat diekstradisikan untuk tindak pidana yang memiliki motivasi politik, dikemukakan oleh Belgia dan Perancis. Pengakuan tersebut dikuatkan di dalam MLE UN 1990 yang menegaskan bahwa, kejahatan politik merupakan kejahatan yang tidak dapat diekstradisi-kan dan bersifat wajib (mandatory obligation).
Lebih jauh lagi, pada bab ini Romli menjelaskan tentang prinsip-prinsip penolakan ekstradisi, seperti
  1. Prinsip Prinsip Kekecualian untuk Tindak Pidana Politik,
  2. Prinsip Penolakan ekstradisi atas dasar keyakinan bahwa penuntutan akan dilakukan atas dasar perbedaan ras,agama, etnis, pendapat politik, jenis kelamin, dan kebangsaan.
  3. Prinsip penolakan atas dasar kejahatan yang dimintakan ekstradisi adalah kejahatan militer
  4. Prinsip Double Jeopardy atau Non-bis in iden sebagai alasan penolakan ekstradisi
  5. Prinsip tidak meng-ekstradisi jika terhadap seseorang yang dimintakan ekstradisi telah dijatuhi hukuman in absensia di negara peminta
  6. Prinsip penolakan ekstradisi didasarkan atas imunitas dari penuntutan atau karena daluarsa (lapse of time)
  7. Prinsip Spesialitas (The Rule of Specialty)
  8. Prinsip Double Criminality (Dual Criminality)
  9. Prinsip Tidak Menyerahkan Warga Negara (Non- Extradition of Nationals)
  10. Prinsip penolakan Ekstradisi atas dasar peradilan yang tidak jujur dan perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan.


Prinsip penolakan atas dasar kejahatan politik dewasa ini semakin sirna terutama dengan peristiwa terorisme pemboman World Trade Centre di New York, Amerika Serikat. Terorisme selalu dikaitkan dengan motivasi politik dan disponsori oleh negara sehingga sulit untuk tidak mengatakan bahwa terorisme bukan kejahatan politik. Menurut Romli, prinsip ini layak dipertahankan, tetapi di sisi lain tidak perlu dipertahankan, berangkat dari pembedaan antara “kejahatan politik murni” (pure political crime) dan “kekerasan yang bermotif politik” (politically motivated violence). Namun demikian dengan perkembangan kejahatan terorisme yang merupakan “semi kejahatan internasional” maka terorisme sudah seharusnya tidak lagi ditempatkan sebagai kejahatan politik atau kejahatan yang bermotivasi politik sehingga terorisme merupakan “extraditable crime.

PM Thailand (2001--2006), Thaksin Sinawatra
Kasus ekstradisi mantan PM Thailand, Thaksin Sinawatra, merupakan contoh teranyar (2009) yang mencerminkan prinsip penolakan ekstradisi dengan alasan kejahatan politik masih menguat di dalam hubungan kerja sama internasional dalam pencegahan dan penindakan kejahatan transnasional. Kasus Thaksin mirip dengan permohonan ekstradisi mantan Presiden Peru Alberto Fujimori. Permohonan Peru kepada Chile untuk mengekstradisi Fujimori tidak begitu terkendala, karena pengadilan Chile melihat dakwaan terhadap Fujimori murni didasarkan pada pelanggaran korupsi dan pelanggaran HAM.



Presiden Peru (1990--2000), Alberto Fujimori

Untuk memperoleh perkembangan terkini mengenai ekstradisi, pada bab III diuraikan praktik ekstradisi negara Uni Eropa yang dideklarasikan pada tahun 2002 dan berlaku efektif pada tahun 2004. Model ekstradisi di Uni Eropa yang dikenal dengan istilah “surrender” merupakan contoh aktual dan relevan bagi ASEAN baik dilihat dari sisi geografis, cultural, maupun dari sisi sistem hukum yang berlaku.
Perkembangan terkini, alasan kejahatan politik dihapuskan di banyak negara dan syarat-syarat prinsip penolakan ekstradisi telah banyak dikurangi. Kecenderungan pelaksanaan ekstradisi saat ini adalah memberikan hak yang lebih banyak kepada seseorang yang diminta untuk diekstradisi dan juga dijadikan bahan pertimbangan bagaimana orang ybs diperlakukan atau dihukum di negara Peminta. Persyaratan dimaksud antara lain tidak boleh dilaksanakan atas dasar gender, ras, kebangsaan, asal etnis atau paham politik. Kecenderungan lain dari perkembangan pelaksanaan ekstradisi adalah mengurangi prosedur yang tidak perlu termasuk komunikasi langsung dan prosedur (ekstradisi) yang disederhanakan.
Prinsip penolakan ekstradisi atas dasar nasionalitas merupakan prinsip yang mutlak dan menyulitkan efektivitas ekstradisi. Jika prinsip ini dipertahankan setidak-tidaknya dapat dituntut dan diadili di negara asal warga negara ybs. Perkembangan terkini, banyak negara yang diminta membolehkan ekstradisi dilakukan terhadap warga negara sendiri dengan syarat jika setelah dituntut dan diputus oleh pengadilan di Negara yang Meminta, dapat dikembalikan ke negara asalnya untuk melaksanakan hukuman, sebagaimana telah dilaksanakan antara Belanda dan Perancis. Prinsip penolakan ektradisi atas dasar nasionalitas juga tidak dianut lagi antara Thailand dan Amerika Serikat, dan antara Negara-negara yang tergabung dalam “Commonwealth Nations”.
Bab IV berisi pandangan dan sikap penulis terhadap perkembangan ekstradisi. Perjanjian-perjanjian dan perundang-undangan tentang ekstradisi serta terlibatnya dua negara atau lebih dalam suatu kasus ekstradisi, menunjukkan bahwa ekstradisi dapat dipandang sebagai bagian hukum internasional dan juga sebagai bagian hukum nasional. Oleh karena itu ekstradisi sebagai suatu pranata hukum secara resmi telah diakui dan diatur dalam hukum internasional dan hukum nasional. Akan tetapi, perkembangan ekstradisi sebagai “spesies dari genus hukum pidana internasional” yang sangat telah lambat memunculkan bentuk kerja sama internasional lainnya, seperti bantuan hukum timbal balik dalam masalah pindana, transfer terpidana, transfer proses beracara, dan investigasi bersama. Meskipun demikian, pelbagai bentuk kerja sama internasional dalam bidang hukum tersebut tetap tidak cukup mampu mengimbangi dan menyertai kecepatan modus operandi kejahatan internasional.
Meskipun perjanjian ekstradisi bagi Indonesia bukan masalah hukum baru, buku mengenai hukum ekstradisi merupakan substansi yang relatif baru dalam kepustakaan hukum Indonesia. Romli Atmasasmita mengemukakan bahwa niat menulis buku ini semakin menguat ketika mengamati pemahaman keliru beberapa pejabat tinggi pemerintah yang belum dapat memahami tentang pengertian, lingkup, serta objek ekstradisi dalam hukum internasional; dan ekstradisi sebagai sarjana hukum untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemberantasan (penindakan) kejahatan yang bersifat lintas batas territorial dan kejahatan transnasional. Masih ada yang keliru menyamakan ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana (mutual legal assistance in criminal matters) baik di kalangan pejabat tinggi pemerintah maupun para sarjana hukum. Dengan terbitnya buku ini, maka diharapkan dapat menguatkan pemahaman para sarjana hukum, terutama yang menggeluti hukum internasional, dalam bidang ekstradisi.