Selasa, 08 Agustus 2006

Dialog Pemikiran Immanuel Kant dan Ibnu Taimiyah



Immanuel Kant (1724--1804)







"Segala tindakan yang menyangkut hak orang-orang lain yang maksimnya tak sesuai dengan kepublikan adalah tak adil." - Immanuel Kant -



Ibnu Taimiyah (661--728)









”Tuhan membantu negara yang adil meskipun kafir,
dan tidak membantu negara yang zalim meskipun beriman.”
- Ibnu Taimiyah –








Membicarakan tentang pemikiran politik Barat dan Islam seperti membicarakan kakak-beradik yang telah lama terpisah jauh. Pada awalnya mereka berasal dari rahim yang  sama, kemudian  berkembang  dalam  lingkungan  dan  tradisi  yang  berbeda,  dan berakhir dengan perjumpaan yang hangat dan saling merindukan.
Kedua budaya ini—Barat dan Islam—sama-sama mempunyai ide-ide tertentu, yang  kadang-kadang  dikemukakan  dalam  bahasa  yang  sungguh  serupaya,  lantaran warisan  yang sama  dari  monoteisme Ibrahimi dan filsafat Yunani. Tetapi, keduanya diekspresikan dalam konteks sosial dan intelektual yang sama sekali berbeda, dan dengan makna yang sangat berbeda. Islam sama sekali tidak  mengenal tradisi politik Romawi, sementara Eropa sama sekali tidak mengenal tradisi politik Indo-Iran.[1]
Dunia  Islam  melahirkan  banyak  pemikiran  yang  orisinal  dan  tajam.  Sejarah pemikiran politik Islam memperlihatkan kepada kita sebuah tradisi intelektual yang unik. Apa yang kita saksikan adalah hubungan antara agama dan politik. Islam muncul sebagai sebuah agama yang bertekad untuk menundukan dan mengubah dunia.
Di  sisi  lain,  dunia  Barat  selalu  mengagung-agungkan  rasionalitas  dan  akal. Pemikiran  politik  Barat  praktis  mendominasi  semenjak  keruntuhan  kekuatan  gereja Katholik  dengan  sebuah  endorsement  perjanjian  Westphalia  1648  yang  meletakkan kekuatan  negara-bangsa  sebagai  sandaran  loyalitas  utama  suatu  masyarakat.  Sejarah membawa  Barat  menuju  sekularisasi  besar-besaran;  secara  gradual  agama  kemudian melangkah menjauh dari ranah politik.
Kini dalam paper ini, pemikiran politik dari kedua dunia kembali berjumpa dalam sebuah dialog  pemikiran politik. Immanuel Kant (1724—1804) merupakan salah satu tokoh pencerahan Eropa pada abad ke-18. Kontribusinya pada pergerakan politik masih bisa ditemukan sampai dewasa ini. Kant berangkat dengan memperkenalkan secara filosofis martabat manusia (human dignity) atau hak sebagai manusia yang menjadi dasar dari hak asasi lainnya. Hak sebagai manusia berarti kebebasan individu dan kesetaraan. Prof. Dr. Matthias Lutz Bachmann dari Universitat  Frankfurt Am Main, Jerman, mengungkapkan:

"Dengan gagasan filosofisnya, yakni bentuk republik, federasi negara-negara merdeka, dan keramahtamahan universal (cosmopolitan right), tujuan politik Kant adalah membuat kedamaian abadi antara individu dan antarnegara,"[2]

Sementara, Ibnu Taimiyah (1263—1328) menjelaskan dengan sangat gamblang ide-ide tertentu yang mungkin secara logis dianggap sebagai inti pemikiran politik Islam. Dialah adalah satu-satunya  teoritisi politik dari wilayah bulan sabit untuk waktu yang sangat lama.[3]
Ibnu  Taimiyah  mendapatkan  banyak  pengikut di kalangan rakyat jelata. Kecaman-kecamannya menggoyahkan stabilitas publik, sehingga ia harus berkali-kali hidup di balik terali besi. Meski demikian, ia pernah diangkat menjadi juru khutbah dalam sebuah peperangan, yang di dalamnya ia secara pribadi mengorbankan perlawanan terhadap invasi Mongol di Suriah (1300—1301). Dia menghabiskan dua tahun terakhirnya di penjara (1326—1328). Kesempatan itu ia gunakan untuk menulis, sehingga sipir penjara merampas pena dan kertasnya.[4]  Karya utama Ibnu Taimiyah dalam politik adalah al-kitab al-siyasah al-syar’iyyah (buku tentang Politik Berdasarkan Syariat, ditulis pada 1311—1315).
Perbandingan pemikiran politik ini tidak hanya bertujuan untuk menarik garis perbedaan menjadi semakin lebar, tapi lebih dari itu mencari persamaan-persamaan dari kedua  pemikiran  dari  kedua  ”kakak-beradik”  yang  sudah  sudah  lama  berpisah  ini.
Perbandingan yang dimaksud didasarkan pada esai yang ditulis Kant tahun 1784, “Idea for a  Universal History from a Cosmopolitan Point of View[5] yang menyebutkan sembilan prinsip kosmopolitanisme.
Meminjam  pendapat  Antony  Black,  kita  tidak  mengerti  bagaimana  mungkin seseorang  mengklaim telah memahami sejarah  pemikiran  yang berkembang di suatu budaya padahal ia tidak meneliti apa yang sedang terjadi di lingkungan budaya lain.

”Tidak  seorang  pun  bisa  menjelaskan  suatu  fenomena  apa  pun  tanpa  merujuk  pada berbagai hal yang terjadi di luar fenomena itu”.[6]

Ringkas kata, paper ini merupakan awalan dari usaha untuk memandang lebih jernih teori ilmu politik dari kedua mata, Islam dan Barat.

Pemikiran Kosmopolitanisme Immanuel  Kant
Immanuel Kant terkenal dengan gagasan kosmopolitanisme yang berusaha menjawab permasalahan yang timbul dari kekacauan dunia yang bersekat dan distribusi sumber daya yang mandek di perbatasan Negara. Definisi sederhana kosmopolitanisme adalah kepemilikan bersama atas permukaan bumi berdasarkan prinsip-prinsip imperatif universal.
Secara umum kosmopolitanisme dapat diartikan sebagai kesetaraan nilai moral pada seluruh  manusia dan tanggung jawab moral yang tidak terbatas hanya pada garis perbatasan Negara;  perlindungan terhadap hak asasi manusia; distribusi sumber daya alam secara global, dan mewujudkan  kosmopolitan demokrasi yang dianggap sebagai demokrasi yang otentik.[7]
Kosmopolitanisme Kant dapat tergambar melalui esainya yang berjudul Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View. Pada esainya yang terkenal ini, Kant berusaha menjelaskan kosmopolitanisme sebagai akhir dari perjalanan sejarah umat manusia dalam sembilan poin.
Pertama, semua kapasitas alam diarahkan sepenuhnya untuk memenuhi akhir alam itu  sendiri.  Kedua, semua kapasitas alam digunakan oleh manusia sesuai dengan akalnya  untuk   dikembangkan  hanya  dalam  kelompok  bangsa  (race), tidak  oleh perseorangan (individual).
Dalam   mewujudkan gagasan kosmopolitanismenya, Kant masih tetap menyandarkan proyeknya pada peran Negara, tetapi dengan komitmen yang kuat untuk mewujudkan nilai-nilai kosmopolit. Menurut Ian Adams, Kant adalah salah seorang filsuf Jerman yang terpengaruh  oleh  revolusi Perancis. Ia terinspirasi oleh harapan-harapan tinggi revolusi, sementara takut dengan perjalanan peristiwanya.[8]
Kosmopolitanisme Kant  lebih  menekankan  pada  kesesuaian  antara  tindakan dengan hukum. Kant menilai tidak perlu merombak struktur institusi Negara yang sudah ada sekarang, tapi lebih menitikberatkan pada      kosmopolitanisme moral. Dengan kata lain,  Kant memandang penting peran Negara-negara dalam pengelolaan kapasitas alam dan  memilih  untuk  memperbaiki  ruh  dari  Negara-negara  agar  lebih  mengedepankan komitmen pada perlindungan hak asasi dan jaminan keamanan manusia.
Ketiga,  Alam mengharuskan manusia memproduksi berdasarkan insting kebinatangannya yang diciptakan sesuai dengan akal. Alam tidak melakukan semuanya dengan  kesia-siaan. Dia memberikan kepada manusia akal dan kebebasan berkehendak untuk mencermati tanda-tanda dari kehendak Alam itu sendiri.
Keempat, manusia dalam mengembangkan kapasitas alam melahirkan “antagonisme”. Maksudnya adalah manusia pada satu sisi merasa menjadi bagian dari kelompok itu,  sementara pada sisi lain berhasrat ingin memiliki semua kapasitas alam menjadi milik pribadinya. Sikap  seperti ini pada akhirnya, mengharuskan masyarakat yang menjunjung tinggi hukum sesama.
Kelima, permasalahan  terbesar  manusia  adalah  mencapai  masyarakat  madani secara  universal  (universal  civic society) dimana hukum mengatur mereka. 
Keenam, masalah di atas paling sulit dan akan menjadi yang terakhir diselesaikan oleh umat manusia. Kehendak alam yang paling puncak adalah masyarakat universal yang hanya bisa dicapai oleh umat manusia dengan mengorbankan semua kapasitas dan hanya bisa dicapai melalui masyaakat yang menjunjung tinggi kebebasan. Pada prinsip kelima dan keenam ini gagasan kosmopolitanisme Kant mulai  nyata. Ia berpendapat mewujudkan masyarakat kosmpolit yang universal adalah tugas purna sejarah manusia.
Ketujuh, masalah di atas sangat tergantung pada masalah hukum hubungan di antara Negara-negara dan tidak akan bisa diselesaikan tanpa solusi dari permasalahan tersebut. Kedelapan, Negara yang memiliki konsititusi sempurna adalah kondisi dimana kapasitas umat manusia dapat sepenuhnya dikembangkan dan mendorong hubungan eksternal antarnegara sampai pada akhirnya. Kesembilan, usaha filosofis harus ditempuh untuk mewujudkan sejarah universal umat manusia sesuai dengan kehendak Alam.
Kant  percaya  bahwa  esensi  kebebasan  terletak  pada  otonomi  moral,  pada kemampuan rakyat untuk hidup menurut aturan yang mereka buat sendiri. Maka untuk benar-benar bebas, tidaklah  sekedar mengejar kepentingannya sendiri, tetapi bertindak menurut  kewajiban  moral  yang  didefinisikannya sendiri,  meskipun  ia  juga  memiliki kepentingan pribadi.
Kant menyandarkan upaya mewujudkan sejarah universal kosmopolit pada ide. Ide menjadi satu-satunya pijakan dalam mengetahui bagaimana Alam bekerja, jika mata manusia terlalu buta untuk mengetahui bagaimana sistem Alam ini bekerja. Upaya-upaya perubahan  menuju  kosmopolitan  harus   ditempuh  dengan  cara-cara  filosofis  yang mengandalkan pemikiran atau ide. Sehingga semakin hari, manusia akan semakin dekat menuju cita-cita yang diidamkan dan semakin jelas mengungkap rahasia  Alam, yaitu sejarah manusia yang universal. Kant selalu mengedepankan pendekatan filosofis dalam setiap pemikirannya, pun dalam proyek kosmopolitan ini.
Secara ringkas, pemikiran Kant dalam sembilan poin Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View berusaha membantu umat manusia dalam mengenali rahasia Alam yang paling purna dan Alam menisbatkan itu sebagai tujuan akhir sejarah umat manusia, yaitu masyarakat  universal (universal  civic society). Dalam mencapai tujuan akhir itu, menurut Kant, manusia hanya bisa mencapainya melalui negara-negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai kosmopolitanisme, seperti keadilan, kebebasan, HAM, dan jaminan keamanan manusia.

Kosmopolitanisme Taimiyah
Dalam  setiap  pemikirannya,  Taimiyah  selalu  menjadikan  Al-Qur’an  sebagai landasan                utama berpikir, pun dalam kosmopolitanisme.            Untuk   gagasan kosmopolitanisme, Taimiyah kembali berpatokan pada ayat Al-Quran (Al-Anbiya: 107) bahwa Islam sebagai kebenaran haruslah menjadi kebaikan bagi seluruh alam (rahmatan lil alamin).
Dalam pemerintahan syariat yang dicita-citakan oleh Taimiyah, nilai terpenting yang harus  dijaga adalah keadilan dan mempromoskan kebaikan-mencegah keburukan (amar  ma’ruf  nahi  munkar).  Dalam  aspek  politik  dan  kenegaraan,  secara  radikal, Taimiyah lebih memenangkan  gagasan keadilan yang universal dibandingkan segala- galanya, termasuk keimanan agama seseorang. Pendapat Taimiyah yang terkenal adalah

”lebih  baik  dipimpin  oleh  pemimpin  yang  kafir  yang  adil,  daripada  dipimpin  oleh pemimpin muslim yang dzalim.”[9]

Jelas  sekali  pendapat  Taimiyah  ini  sangat  kosmopolit  dengan  memandang manusia sebagai individu yang merdeka terlepas dari agama, ideologi, asal negara, dan ikatan-ikatan tradisional lainnya.
Bermula   dari   pendapat   mengutamakan   pemimpin   yang   adil   dibandingkan keimanan ini,  Taimiyah melanjutkan lebih jauh tentang peranan Negara dalam proyek kosmopolitanisme.  Taimiyah   mengemukakan  tugas  utama  Negara  adalah  tegaknya syariat yang tidak lain demi tegaknya keadilan universal.
Pemikiran Ibnu Taimiyah  tentang  Institusi  Negara
Dalam memandang pentingnya berkelompok dalam mengelola kapasitas alam, Kant  dan  Taimiyah  bertemu  pada  titik  yang  sama.  Kant  dan  Taimiyah  sama-sama menganggap pentingnya  kelompok dalam pengelolaan kapasitas alam. Lebih jauh lagi, pengelolaan sumber daya alam harus melalui kelompok yang kemudian akan melahirkan institusi negara. Taimiyah terkenal dengan gagasan organis dalam memandang institusi. Ia menekankan dengan sangat keras pentingnya institusi dalam pengelolaan masyarakat untuk mencapai keadilan.

”Manusia pada dasarnya berwatak madaniy (suka membangun). Itulah sebabnya jika mereka berkumpul, pastilah mereka mengembangkan kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk  mewujudkan  kemaslahatan  dan  mengatasai  persoalan.  Untuk  kepentingan  itu, diperlukan  kerja  sama  yang padu  antara  pemerintah  (ruler)  dan anggota  masyarakat (ruled). Tentu saja  diperlukan ketentuan-ketentuan yang defenitif yang mengatur tugas dan ruang gerak masing-masing.”[10]

Hanya saja, Taimiyah meneruskan pendapatnya itu dengan mewajibkan lembaga di bawah kontrol negara untuk menegakkan keadilan. Lembaga yang dimaksud oleh Taimiyah adalah lembaga Hisbah yang menjadi salah satu ciri khas pemerintahan Islam dalam mengelola distribusi perekonomian  dan pasar. Lembaga Hisbah adalah lembaga negara yang memiliki wewenang yang sangat luas dalam bidang perekonomian dan pasar dan bertugas mempromosikan apa yang baik dan mencegah apa yang buruk (amar ma’ruf nahi munkar). Taimiyah menekankan prinsip keadilan sebagai penopang lembaga Hisbah dalam pemerintahan Islam. Keadilan adalah penopang pemerintahan dan syarat datangnya pertolongan Tuhan.[11]
Untuk mencegah antagonisme yang berujung pada ketidakadilan sebagaimana yang Kant  maksudkan, Taimiyah berpendapat, hukum harus ditegakkan dengan keras oleh Negara. “Menegakkan hukum adalah tugas pemerintah dan hal ini berlaku baik untuk delik meninggalkan kewajiban maupun delik mengerjakan larangan.”[12]
Selanjutnya, Taimiyah juga berbicara tentang hukum keadilan yang terintegrasi dalam pemerintahan. Menurutnya pemerintahan sebagai syarat mutlak dan fundamental dalam kehidupan bermasyarakat untuk menegakkan keadilan. Tujuan Taimiyah adalah membangun  pemerintahan   berdasarkan  syariat  (siyasah  syari’iyyah).  Syariat  dalam pemerintahan ditopang oleh dua pilar—yang juga sering disebut sebagai inti pemikiran politik Islam, yaitu keadilan dan mempromosikan kebaikan  dan mencegah keburukan (amar ma’ruf nahi munkar).

Pemimpin  menurut Taimiyah
Dalam Islam apa yang kita sebut sebagai jabatan dan aktivitas politik termasuk dalam  kategori  “amanat”  dan  “tugas  publik (waliyat)” seperti  yang dipahami  dalam syariat.  Karena  itu,  seorang  penguasa  politik  wajib  “menyampaikan  amanat  kepada pemberi amanat itu” dan untuk “menghukumi  secara adil” (QS. An-Nisa [4]: 61—62). Tujuan semua tugas publik (waliyat) adalah mewujudkan  kesejahteraan material dan spiritual manusia.
Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa posisi kepemimpinan politik (sultan, mulk,  amir) dan syariat saling melengkapi satu sama lain untuk membentuk sebuah pemerintahan yang berdasarkan syariat. Ibnu Taimiyah bersikukuh bahwa agama tidak  dapat  diamalkan  tanpa  kekuasaan  politik.  Tugas  agama  untuk  memerintahkan kebaikan   dan   mencegah   kemungkaran   benar-benar   tidak   dapat   dicapai   “kecuali kekuasaan dan otoritas pemimpin (imam).” Pendapatnya yang terkenal  adalah “agama tanpa kekuasaan, jihad, dan harta, sama buruknya dengan kekuasaan, harta, dan perang tanpa agama.”[13]
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, tegaknya keadilan tidak mungkin dapat dicapai tanpa adanya kerjasama. Manusia berkumpul dan membentuk sebuah komunitas politik, kemudian  menunjuk  salah   seorang  sebagai  pemimpin  untuk  mengorganisir  untuk mewujudkan keadilan dan kebermanfaatan bersama.
Seorang pemimpin tidak menetapkan tujuan mereka sendiri, melainkan memiliki otoritas untuk bertindak dan dipatuhi, karena mereka tengah (atau semestinya) berusaha mewujudkan tujuan-tujuan Islam.
Doktrin pemimpin dalam Islam adalah tidak lain merupakan wali, wakil, dan agen otoritas, sama sekali bukan pemilik. Inilah maksud bahwa pemimpin adalah penggembala, yang tidak memiliki hewan gembalaannya; kedudukannya seperti wali bagi anak yatim. Di sini, citra raja absolut Timur Tengah dan Iran kuno benar-benar diislamkan. Otoritas pemimpin, sesungguhnya berasal dari Tuhan; namun hal ini berarti bahwa kepentingan-kepentingan  yang  wajib  ia  upayakan  sesungguhnya   merupakan kepentingan-kepentingan rakyatnya.
Ibnu Taimiyah dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kepala negara atau raja  hanya   merupakan  mandat  dari  Tuhan  yang  diberikan  kepada  hamba-hamba pilihanNya. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah menganggap bahwa penguasa-penguasa yang korup adalah yang paling tidak bermoral dan karena itu tidak ada kewajiban untuk patuh pada mereka, dan ia juga menyalahkan para ulama dan cerdikcendikia yang mendukung penguasa-penguasa yang tidak mengindahkan agama dan melakukan penyelewengan dan membuat syari’at tidak mampu menjawab tuntutan kemanusiaan. Mereka telah dianggap mengingkari prinsip-prinsip syari’ah. Tapi di lain sisi Ibnu Taimiyah menemukan dilema ketika  dihadapkan  tentang  ada  dan  tidak  adanya  pemimpin  dalam  sebuah  negara. Menurut Ibn Taimiyah,  sebagai faktor instrumental dalam mewujudkan kesejahteraan bersama,  adanya  seorang  kepala  negara  merupakan  sesuatu  yang  niscaya  dan  tidak terelakkan. Pendapatnya yang kontroversial dalam buku As-Siyasah Asy-Syariah adalah “Lebih baik 60 tahun diperintah oleh pemimpin yang dzalim dibandingkan hidup satu hari tanpa pemerintahan.”[14]

Bentuk negara menurut Taimiyah
Cukup menarik, sekalipun Ibnu Taimiyah selalu menekankan kekuasaan politik, negara,  dan  pemerintahan  dalam  kehidupan  masyarakat,  tetapi  Taimiyah  meragukan validitas pendapat bahwa  kekhalifahan berasal dari sumber agama (Al-Quran dan As- Sunnah). Suatu pemikiran ekstrim yang  menentang arus pemikiran teori kekhalifahan yang sangat sakral pada masa itu.
Ibnu Taimiyah juga mengkritik Sunni dan Syiah. Menurut pandangannya, tidak ada dasar  dalam  Al-Quran dan  As-Sunnah tentang teori  kekhalifahan tradisional ala Sunni dan tidak ada teori imamah Syiah yang mutlak. Ia melihat Islam sebagai suatu tata sosial yang mempunyai hukum tertinggi:  hukum Allah. Oleh sebab itu, ia sama sekali tidak tertarik pada negara dan formasinya. Meskipun menerima negara itu sebagai suatu kebutuhan agama (a religious necessity). Artinya, negara Islam yang diangap memenuhi syarat  adalah  suatu  pemerintahan  yang  mendasarkan  pada  syariat  sebagai  penguasa tertinggi dan tidak memandang apakah negara itu berbentuk khalifahan, monarki, ataupun republik. Ia lebih memilih meletakkan keadilan pada setiap pemerintahan sebagai esensi kekuasaan, tinimbang meributkan bentuk negara.
Teori  politik  Ibnu  Taimiyah  (w.  1328) memiliki  kemiripan  yang  lebih  dekat kepada konsep pemerintahan modern. Dalam asal-usul negara, ia bermaksud menawarkan interpretasi sosiologis berdasarkan pada hakikat manusia yang bebas dari penjelaan agama.  Sikap tersebut tidak ditemukan pada teori klasik yang menegaskan bahwa asal-usul kekuasaan hanya berasal dari sumber agama. Dari sini kita bisa melihat pemikiran Ibnu Taimiyah ”melampaui” tradisi  berpikir para filsuf Islam tentang teori kekuasaan.15 (Jindan, 1995: 124)

Pembaharuan pemikiran oleh Taimiyah
Taimiyah   melakukan   pembaharuan   dengan   membuka   kembali   pintu   akal, daripada hanya  mengikuti pola yang sudah baku. Kepercayaan terhadap kemungkinan dan nilai pengetahuan syariah  yang independen mempunyai pengaruh yang kuat pada doktrin Ibnu Taimiyah dan merupakan  pendukung semua langkah pembaruannya yang kontroversial.
Perubahan paling penting yang menyangkut dengan metode itu adalah adanya rehabilitasi  peranan ijtihad yang sering diartikan dengan ungkapan seseorang terhadap kecakapan dan kemampuan pribadinya untuk mencapai pengetahuan. Ijtihad dimaksudkan untuk menggantikan metode taklid yang amat membeo dan kaku. Taklid sendiri berarti mengadopsi segala keputusan yang ditetapkan oleh para penguasa.
Ia tidak mendukung tafsir teks suci yang benar-benar harfiah, tetapi menggunakan analogi dan silogisme sebagai alat untuk menghubungkan contoh-contoh tertentu dengan norma-norma  legal  melalui  argument  rasional.  Dia  mendukung  penalaran  individual (ijtihad) yang dilakukan oleh seorang mujtahid  yang memenuhi syarat sebagai bantuan untuk memahami konsensus (ijmak) umat Islam. Satu  hal yang paling mengejutkan, ia mendukung “jalan tengah” (wasath)—atau rekonsiliasi—antara nalar  (metode teologi), riwayat (metode ahli hadits), dan kehendak bebas (metode sufi).
Selain    itu, prinsip-prinsip dan nilai-nilai fundamental syariah harus mempertimbangkan keadaan-keadaan baru.  Menurutnya, syariat saat ini mungkin membutuhkan banyak adaptasi. Syariat dapat memberikan bimbingan yang benar untuk setiap masalah hanya jika manusia menggunakan seluruh upayanya (berijtihad).  Ibnu Taimiyah membolehkan penguasa untuk menerapkan hukuman terhadap sesuatu urusan yang belum ditetapkan oleh syariat, misalnya hukuman untuk kesalahan administrasi, malpraktik, dan penyuapan.
Cakrawala  Ibnu  Taimiyah  semakin  terbuka  ketika  Kekhalifahan  Abbasiyah tumbang,  karena  peristiwa itu membuka jalan bagi solusi yang lebih radikal terhadap problem-problem yang sekian lama menghantui masyarakat.
Ibnu  Taimiyah  menghargai  peranan  akal  dan  membuka  pintu  ijtihad  seluas- luasnya, tetapi kedudukannya harus berada di bawah wahyu. Akal yang benar adalah akal yang beroperasi di bawah bimbingan Al-Quran dan petunjuk Nabi (As-Sunnah).

Persamaan dan Perbedaan antara Kant dan Taimiyah
Dalam memandang kosmopolitanisme sebagai akhir dari sejarah umat manusia, Kant  meletakkan  beberapa  faktor  sebagai  modal,  yakni  memahami  kehendak  Alam; institusi negara sebagai       jalan; upaya negara-negara dalam mewujudkan kosmopolitanisme; dan usaha-usaha filosofis manusia untuk mencapai kosmopolitanisme.
Sementara  Taimiyah  memiliki  pendapat  yang  serupa  dengan  mengedepankan peranan  negara   dalam  pengelolaan  sumber  daya  alam  dan  menegakkan  keadilan; memandang dengan kacamata  kosmopolit dengan mementingkan asas keadilan di atas keimanan;  dan  penyegaran  pemikiran  dengan  mengemukakan  usaha  filosofis  dalam mencari kebenaran.
Dari pemikiran kedua filsuf berbeda zaman dan dunia ini, kita sedikit banyak dapat menemukan benang merah.  Mereka  sama-sama  berbicara  kosmopolitanisme; keadilan,  distribusi  sumber  daya  secara  global,  dan  pencapaiannya  melalui  institusi negara, namun dengan warna yang berbeda.
Menariknya, pendapat Taimiyah yang kosmopolit ini dikemukakan lima abad sebelum Kant dan dari dunia yang berbeda dari dunia tempat Kant hidup. Dengan kata lain, pendapat Taimiyah ini ”melompati zamannya” dan menembus ruang dimana ia tinggal. Karena keteguhannya memegang  pendapat-pendapatnya   yang  ”melompati zaman” ini, pemikir besar Islam ini harus membayar mahal dengan merasakan tiga kali dinginnya ruangan penjara, bahkan harus menutup usia dalam penjara.
Selanjutnya perbedaan di antara keduanya. Dalam setiap kesempatan, karya Kant selalu  mempermasalahkan  Tuhan  yang  sebelumnya  dianggap  tidak  bisa  dibicarakan karena tidak tergolong  dalam kategori-kategori dan mengagung-agungkan rasionalitas. Sebagai  gantinya,  Kant  lebih   mempercayai  hukum  Alam  (dalam  “a”  besar)  yang mengatur kehidupan manusia dan menetapkan tujuan-tujuan sejarah manusia.
Sebaliknya, Ibnu Taimiyah dengan tegas selalu berpegang teguh pada hukum agama Islam  dalam setiap pemikirannya. Taimiyah menghargai akal, tetapi akal yang terbimbing oleh agama. Kekuasaan, menurut Taimiyah, adalah kekuasaan kepala negara atau raja hanya merupakan mandat dari  Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya. Taimiyah dikenal sebagai salah satu pemikir kosmopolitanisme Islam yang meletakkan pondasi keadilan dalam pemerintahan melebihi agama;  membuka  keran pemikiran Islam seluas-luasnya; distribusi sumber daya secara global; dan pencapaian keadilan melalui institusi negara. Meskipun demikian, ia tetap dikenal sebagai seorang ulama Islam yang berpengaruh dan mengkaji ilmu-ilmu agama secara mendalam.
Selain  itu  pula,  perbedaan  yang  jelas  antara  Kant  dan  Taimiyah  dalam  hal memandang  progresivitas  sejarah. Kant memandang Alam berkendak agar manusia berusaha mewujudkan sejarah universal manusia yang kosmopolit. Kant menilai inilah puncak  sejarah  manusia  yang  sempurna  dan   menjadi  tugas  terakhir  yang  harus direalisasikan sebelum Alam berakhir. Pemikiran Kant senada dengan pemikir Barat lainnya yang selalu merefleksikan progresivitas sejarah ke arah masa depan.
Akan  tetapi,  Taimiyah  berpendapat  puncak  sejarah  manusia  yang  sempurna adalah pada  zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya hidup. Setiap pemikir Islam, termasuk Taimiyah, mempercayai bahwa pencapaian sejarah manusia yang paling puncak adalah pada masa dimana Rasulullah hidup.  Sehingga  setiap  pemikir  Islam  selalu merefleksikan  tujuan  ideal  ke  belakang   dalam  proses  filosofisnya. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “Zaman terbaik adalah zamanku, kemudian sesudahnya, dan sesudahnya lagi.”***



DAFTAR PUSTAKA

Adams, Ian, (2003). ”Ideologi Politik Mutakhir, Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya”, Yogyakarta: Qalam

Black, Antony, (2001).“Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini”, Jakarta: Serambi

Brock, Gillian, (2002). World Citizenship: David Miller versus the New Cosmopolitans, 2002, diktat “Kosmopolitanisme” mata kuliah Teori Politik Internasional Fisipol Universitas Gadjah Mada

Jindan, Khalid Ibrahim, (1995).”Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam”, Surabaya: Risalah Gusti Kant, Immanuel, (1784) Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View, dalam diktat “Immanuel Kant-Perpetual Peace” mata kuliah Teori Politik Internasional Fisipol Universitas Gadjah Mada

Kompas, 20 Desember 2004

Kurniawan, Budi, (2004). “Pandangan Ibnu Taimiyah tentang Negara dan Perannya dalam Pasar”, Yogyakarta: skripsi pada program sarjana jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol Universitas Gadjah Mada

Strathern, Paul, (2001).“90 Menit Bersama Kant”, Jakarta: Erlangga

Surwandono, (2001).“Pemikiran Politik Islam”, Yogyakarta: LPPI UMY

Taimiyah, Ibnu, (1985). Public Duties in Islam, The Institution of the Hisba, London: Taimiyah, Ibnu, (2004).“Tugas Negara Menurut Islam”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar


[1] Anthony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi
[2] Kompas, 20 Desember 2004
[3] Anthony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi, halaman  297
[4] Ibid
[5] Immanuel Kant, Idea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View, 1784, dalam diktat
“Immanuel Kant-Perpetual Peace” mata kuliah Teori Politik Internasional.
[6] Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi, halaman 24
[7] Gillian Brock, World Citizenship: David Miller versus the New Cosmopolitans, 2002, diktat
“Kosmopolitanisme” mata kuliah Teori Politik Internasional, halaman 2
[8] Ian Adams, Ideologi Politik Mutakhir Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya, 2004, Yogyakarta: Qalam, halaman 27
[9] Surwandono, “Pemikiran Politik Islam”, 2001, Yogyakarta: LPPI UMY
[10] Ibnu Taimiyah, Tugas Negara menurut Islam, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[11] Ibnu Taimiyah, Public Duties in Islam, The Institution of the Hisba,1985, London
[12] Ibnu Taimiyah, Tugas Negara Menurut Islam, 2004, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[13] Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, 2001, Jakarta: Serambi
[14] Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis Ibnu Taimiyah tentang Pemerintahan Islam, 1995, Surabaya: Risalah Gusti